5 Februari 1922, di kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibualbuali, 38 kilometer ke arah utara dari Padangsidempuan, Ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, anak keenam dari keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama, lahirlah seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Lafran Pane.
2 tahun setelah Lafran Pane lahir, sang ibunda meninggal dunia. Lafran Pane mempunya lima saudara kandung, di antaranya adalah: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Arminj Pane (kakak kandung Lafran Pane), Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Ali Hanafiyah, Lafran Pane, dan dua orang saudara se ayah yaitu, Nila Kusuma Pane dan Krisna Murti Pane.
Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, adalah seorang tokoh Partai Indonesia (PARTINDO) di daerah Sumatera Utara. Ia berprofesi sebagai seorang wartawan dan penulis. Selain itu, Sutan Pangurabaan juga seorang pengusaha yang menjabat sebagai Direktur Oto Dinas Pengangkutan (ODP) Sibualbuali yang berdiri tahun 1937 berpusat di kota Sipirok, begitu yang tertulis dalam tulisan Hariqo Wibawa Satria.
Agussalim Sitompul, dalam buku Sejarah Perjuangan Himpunan menuliskan bahwa, Sutan Pangurabaan Pane juga termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Sedangkan kakek dari Lafran Pane adalah seorang ulama bernama Syekh Badurrahman. Karena tidak mengalami kasih sayang ibu kandung sebagaimana mestinya dan tidak puas dengan asuhan ibu tiri, akhirnya Lafran Pane mengalami hidup penuh derita yang mengakibatkan dirinya mudah dihinggapi penyakit rasa rendah diri lalu menimbulkan suatu kompensasi berupa kenakalan yang luar biasa. Jalan pikirnya susah dimengerti termasuk oleh ayahnya sendiri.
Sebelum Lafran Pane memasuki bangku sekolah atau pesantren secara formal, terlebih dahulu jika keagamaannya sudah diisi dengan belajar “sifat dua puluh”, seperti : Wujud, Qidam, Baqo, Mukholafatuhu Lilhawadis, dst, yang diiringi dengan artinya. Lafrran Pane juga belajar yang dalam bahasa Tapanuli disebut “Alif-Alif”, yakni mempeljari membaca huruf-huruf abjad Alquran, sebagai jenjang untuk dapat membaca Alquran dengan tertib, teratur serta sempurna.
Kedua macam pendidikan atau pelajaran ini diperolehnya dari seorang guru terkenal di kampung Pangurabaan, namanya almarhum Malim Mahasan. Berkat didikan almarhum Malim Mahasan tersebut, Lafran yang masih kecil itu sudah terisi jiwa keagamaannya, dan inilah yang membekali hidupnya secara mendasar dalam masalah bimbingan keagamaan yang sangat prinsipil dalam hidup dan kehidupan seorang manusia.
Situasi perang menyebabkan pendidikan Lafran Pane tidak ada garis lurus yang menjurus. Pendidikan di bangku sekolah dimulai di Pesantren Muhammadiyah (kini namanya Pesantren KH. Ahmad Dahlan) Sipirok, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Desa 3 (tiga) tahun, semuanya tidak tamat, lalu pindah ke Sibolga, Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah, 126 kilometer dari Sipirok.
Di kota ini Lafran masuk sekolah HIS Muhammadiyah. Setelah itu ia kembali lagi ke kampung halamannya Sipirok, masuk Ibtidaiyyah diteruskan ke Wustha. Dari Wustha pindah ke Taman Antara Taman Siswa Sipirok, selanjutnya pindah ke Taman Antara dan Taman Dewasa di Medan.
Pendidikan Lafran Pane memang tidak baik-baik saja. Di Deli, garis kehidupannya semakin merosot, belum tamat dari Taman Siswa sudah dikeluarkan dari sekolah, lantas meninggalkan rumah tempat tinggalnya. Ia pergi ke rumah kakak kandungnya, Nyonya dr. Tarip, dan menjadi petualang di sepanjang jalanan di kota Medan. Tidur tidak menentu, kadang-kadang sudah menggeletak di kaki lima, di emperan toko, sambil menjadi penjual karcis bioskop, main kartu, menjual es lilin sebagai penyambung hidup.
Pada tahun 1937, atas permintaan abang kandungnya Armijn Pane dan Sanusi Pane, Lafran pindah ke Batavia. Di kota yang dulu bernama Sunda Kelapa yang kemudian dirubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 itu—yang oleh pemerintah Belanda diubah menjadi Batavia—Lafran memulai sekolah di kelas 7 (tujuh) HIS Muhammadiyah, menyambung ke Mulo Muhammadiyah, ke AMS Muhammadiyah, kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II.
Desember 1945, ibukota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Tidak lama berselang, pada tanggal 4 Januari 1946 Presiden dan Wakil Presiden pindah ke Yogyakarta, lantas menjadi ibukota Republik Indonesia. Karena sebab itulah, Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula ada di Jakarta, juga ikut pindah ke Yogyakarta.
Supardi (dkk), dalam buku berjudul Setengah Abad UII: Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia, STI sendiri didirikan di Jakarta pada 27 Rajab 1364 H, atau bertepaatan pada tanggal 8 Juli 1945. Sedangkan di Yogyakarta STI secara resmi dibuka pada 10 April 1946 dengan beberapa fakultas di antaranta fakultas Agama, Hukum, Pendidikan dan Ekonomi. Pada tanggal 10 Maret 1948 STI dirubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) sampai sekarang.
Kepindahan STI ke Yogyakarta, berdatanganlah para mahasiswa ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah, salah seorang di antaranya adalah Lafran Pane yang usianya pada waktu itu sudah menginjak 23 tahun. Selain kuliah, untuk memenuhi makan sehar-hari, ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Departemen Sosial.
Di STI, perkembangan wawasan intelektual Lafran Pane semakin berkembang. Dosen-dosennya, KH. Abdul Kahar Muzakir (anggota panitia sembilan), Hussein Yahya (pernah menjadi Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga—sekarang UIN), H.M Rasyidi (Menteri Agama Pertama dalam sejarah republik Indonesia). Lafran Pane sangat tekun membaca berbagai buku tentang agama Islam, sehingga apa yang dipikirkannya sebelum masa kesadarannya, kini telah ia dapatkan dengan pengamatan dan penyelidikan sendiri. Ia bertambah yakin dan mempunyai pendiriannya juga semakin teguh, bahwa Islam merupakan pedoman hidup yang sempurna.
Semasa berkuliah di STI, Lafran Pene menjadi ketua III Senat Mahasiwa STI di samping Janamar Azam dan Amin Syakhir. Di PMY Lafran Pane juga ikut sebagai pengurus mewakili mahasiswa STI. Tidak mengherankan apabila Lafran Pane banyak bergaul dengan mahasiswa dan mengerti seluk-beluk kehidupan mereka sehari-hari.
Pada tanggal 5 Februari 1947, Lafran Pane memprakarsai dan mendirikan organisasi mahasiswa Islam yang dikenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan: “Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.”
***
Rencana pendirian HMI oleh Lafran Pane dimulai dengan mengumpulkan sejumlah pemuda di daerah Kauman Yogyakarta—hal ini diceritakan oleh Tabrani Rab atas cerita dari Lafran Pane sendiri saat makan pagi di Inderapura Hotel—, kemudian Lafran Pane mulai membicarakan gagasannya tentang pendirian HMI pada November 1946 dengan mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta, baik yang ada di Sekolah Tinggi Islam (STI), Sekolah Teknik Tinggi (STT) maupun yang di Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada untuk menghadiri rapat, guna membicarakan maksud pendirian HMI.
Rapat ini dihadiri kurang lebih 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat pengurus PMY dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan belum membawa hasil, karena ditentang oleh PMY—pengurus PMY didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang berorientasi paham sosialis, di antaranya Milono Ahmad dan Yosef Simanjutan—dan GPII, bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak hanya menentang, tapi juga mengejek pemikiran Lafran Pane.
Namun demikian, bagaimanapun besarnya tantangan, ejekan, kritikan, baik yang datang dari luar Islam maupun dari dalam, semakin besar juga keinginan Lafran Pane untuk mendirikan HMI. Lafran tidak pantang mundur. Tidak patah semangat. Ia semakin bertambah semangat ketika beberapa mahasiswa STI mendukung ide tersebut.
Dalam buku Sejarah Perjuangan HMI, karya Agussalim Sitompul menuliskan, sebelum menyampaikan pemikirannya kepada rekan-rekan mahasiswa, Lafran Pane mengadakan tukar pikira (diskusi) dengan Prof. Abdul Kahar Muzakkir (Rektor STI saat itu). Prof. Kahar setuju dengan pertimbangan organisasi yang akan didirikan Lafran Pane tidak terlalu mencampuri urusan polik. Peringatan Prof. Kahar cukup beralasan karena situasi politik yang tidak menentu saat itu, apalagi STI secara kelembagaan belum kokoh.
Lafran semakin bersemangat untuk mewujudkan mimpinya, apalagi gagasan tersebut sudah terlanjur tersebar di kalangan mahasiswa STI. Lafran segera menyiapkan Rencana Anggaran Dasar dan nama organisasi yang akan ditawarkan, yakni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Tekad itu semakin kuat. Mulailah ia mencari mahasiswa di luar STI yang mendukung gagasan tersebut. Lafran sering duduk di serambi masjid, terutama di serambi masjid Kauman menjelang shalat jumat. Bilaman ia bertemu dengan mahasiswa yang akan shalat, maka dengan segera Lafran memperkenalkan diri seraya mengajak masuk ke dalam organisasi yang akan dibentuk.
Lafran mengenal hampir seluruh mahasiswa STI, karena di STI Lafran menjabat sebagai Ketua III Senat Mahasiswa STI urusan kemahasiswaan, di samping itu Lafran juga menjadi pengurus PMY seksi STI bersama Amin Syahri dan Suyono.
Setelah mengalami berbagai macam hambatan-hambatan yang cukup berat selama lebih kurang 3 bulan, detik-detik kelahiran organisasi mahasiswa Islam akhirnya datang juga. Lafran Pane berijtihad mencari jalan keluar. Lafran mengatakan: Siapa yang mau menerima berdirinya organisasi mahasiswa Islam ini, itu sajalah yang diajak, dan yang tidak setuju biarlah mereka terus menentang, toh tanpa mereka organisasi itu akan bisa berjalan.
Pada saat itu, adalah hari-hari biasa mahasiswa STI datang sebagaimana biasanya untuk mengikuti kuliah, tanpa diduga dan memang sudah takdir Tuhan, mahasiswa-mahasiswa yang selama ini menentang keras kelahiran STI tidak hadir mengikuti perkuliahan. Pada saat kuliah Tafsir dari Bapak Hussein Yahya, Lafran kemudian meminta izin kepada beliau, mengetahui Lafran selaku Ketua III Senat mahasiswa STI, Hussein Yahya memberikan izin walau beliau sendiri belum mengetahui secara pasti maksud dari pertemuan tersebut, namun beliau tetap berkenan untuk menyaksikan persitiwa tersebut.
Maka dengan tekad yang kuat dan persiapan yang matang, pada hari Rabu Pon 1878, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947, pukul 16.00 WIB, bertempat di salah satu ruangan kuliah STI, Jalan Setyodiningratan (sekarang Jln Pangeran Senopati No.30), masuklah Lafran Pane, langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat, dalam prakatanya Lafran mengatakan: Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Islam, karena semua persiapan dan perlengkapan sudah beres.
Begitulah kilas HMI dan Lafran Pane. Terkait dengan latar belakang berdirinya HMI, lain kali akan saya tuliskan.
***
Presiden Joko Widodo, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017, atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional kepada Ayahanda Lafran Pane.
Tidak berlebihan saya pikir, ketika pemerintah Indonesia menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional kepada Lafran Pane. Atas jasa-jasanya, pengabdiannya kepada negara ini, sangat pantas Lafran Pane menjadi Pahlawan Nasional.
Saya adalah salah satu mahasiswa yang begitu mengidolakan sosok sederhana dan bersahaja itu. Kebersahajaan itu dapat dibuktikan salah satunya pada Kongres XI HMI di Bogor pada 1974, Lafran menolak untuk dikatakan sebagai satu-satunya pendidiri HMI karena ada beberapa nama lain yang turut andil. Misalnya, Kartono Zarkasy, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal, Soewali, Yusdi Gozali, dll.
Siti Hadiroh Ahmad, salah satu kerabat Ayahanda Lafran Pane menurutkan, semasa hidupnya Lafran dikenal sebagai sosok yang sederhana dan bersahaja. Hadiroh merupakan teman dekat istri pertama Lafran yang bernama Dewi. Ketika Dewi meninggal dunia, Lafran memanggil Hadiroh. Lafran memberi Hadiroh yang aktif di organisasi Aisyiah, harta peninggalan istrinya berupa pakaian, perhiasan, tas dan Tabanas senilai Rp. 1,1 juta.
Bukti kesederhanaan Lafran Pane lainnya adalah selalu memakai bus kota sebagai alat transportasi. Pernah, ia menunggu bus kota dan ditawari temannya untuk membonceng sepeda motor, Lafran menolak dan memilih untuk tetap menggunakan transfortasi umum.
Terkait jasa-jasa beliau kepada negara ini, silakan Anda mencarinya sendiri, jujur, pada saat saya menulis tulisan ini, hati saya mengharu-biru. Jari-jari saya gemetar. Bahkan saya tidak bisa menuliskan kapan beliau meninggal dunia. Sebab bagi saya, beliau masih tetap hidup dalam sanubari kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam di seluruh Indonesia. Begitu saja. (T)