DARI sekian banyak film yang pernah saya tonton, adegan akhir “Dead Poets Society” masih terus terpatri di alam bawah sadar saya selama waktu lama. Adegan terakhir ini muncul kembali ke alam sadar, ketika mengetahui Rumah Belajar Mahima, akan memutar film luar biasa ini pada awal Maret depan.
Lama saya merenung dan memutar kembali film itu pada pikiran saya, sambil menatap deburan ombak pantai Lovina, sementara anak perempuan saya sedang bermain pasir. Lamunan itu terbaca olehnya, ketika air mata saya basah.
“Ada apa, Pah?” katanya membangunkan lamunan saya.
Saya langsung menunjuk sebuah sampan yang berlayar. Anak perempuan saya melihat sejenak dan kembali bermain pasir.
Yang saya renungkan adalah bagaimana ketika ayah saya, Agus Sadikin Bakti, dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah saat masa-masa kritisnya. Saya membayangkan bagaimana para perawat yang muda belia, yang terjebak dalam sebuah rutinitas ruang Gawat Darurat. Mereka adalah ujung tombak yang punya relasi khusus dengan malaikat di atas sana.
Dari tangan-tangan itulah, hidup mati para pasien bergantung. Kalau dokter karena terlalu sibuk, hanya akan datang suatu saat saja. Tangan-tangan para perawat yang dituntun dengan cekatan mengganti cairan infus, membersihkan luka, menuliskan tekanan darah, denyut nadi, mengontrol saturation dan segala macam hal. Mereka adalah ujung tombak yang mewakili malaikat untuk menenangkan keluarga pasien yang memang berada di antara kata hidup atau sebaliknya.
Pertanyaan saya terhadap para perawat yang tentu mempunyai segudang cita-cita dan tuntutan hidup itu, yang berhubungan langsung dengan film “Dead Poets Society” adalah, apakah mereka membaca sastra? Di mana mereka menempatkan sastra? Pertanyaan inilah yang membuat saya termenung lepas.
Jangannyakan membaca sastra, membaca koran pun mungkin mereka jarang. Mudah-mudahan saya salah.
Sastra, teater, film, kata-kata inilah yang kemudian ditekankan oleh Mr Keatings, guru pendobrak tradisi kuno sekolah Welton, dalam film garapan Peter Wier ini. Sistem pelajaran yang ada di Indonesia, bahkan mungkin di sebagian besar negara di dunia, hanya terpatri pada sebuah nilai semata. Semua berlomba untuk menjadi yang terpintar dan tujuan pendidikan hanyalah mencetak orang-orang yang siap dalam bekerja, tidak siap untuk mencintai pekerjaan.
Dalam dunia dimana ekonomi adalah barometer, semua ingin menjadi lulusan yang bisa langsung dipinang oleh perusahaan besar. Mereka terfokus pada kitab-kitab ilmu pengetahuan, sementara bacaan sastra dikesampingkan. Tidak berguna.
Membaca sastra, membaca sesuatu yang tertimbun dalam alam bawah sadar. Alam bawah sadar mempunyai hubungan ke hati, empati. Mengetuk hati itulah yang diajarkan oleh Mr Keatings, kepada murid-muridnya dengan cara yang tidak biasa. Cara orang yang tak percaya dengan kurikulum kaku.
Di sini ditekankan bagaimana pentingnya pelajaran Drama, dan membaca sastra untuk murid-muridnya. Sesuatu yang tak lagi tersentuh bagi kebanyakan pelajar saat ini. Saya teringat ketika, Bapak Sunaryono Basuki Ks yang tulisan-tulisannya banyak dipublikasikan di media massa dan novelnya banyak dicetak, dirawat di rumah sakit Sanglah Denpasar. Menurut beliau, dari sekian banyak dokter, hanya satu yang mengenal tulisannya. Ini tentu sangat melegakannya.
“Oh Captain My Captain” sebuah capaian jenius dunia perfilmkan. Kekuatan skenario yang tak habis dipercaya. Adegan ini begitu menusuk. Sebuah pemberontakan akan segala hal yang kita pelajari. Mungkinkah apa yang selama ini kita pelajari, adalah sesuatu yang salah? Bagaimana jika semuanya benar, dimanakah kita menempatkan diri kita?
Dalam urutan peringkat pendidikan di Asia, universitas yang bagi kita di Indonesia begitu masyur, Universitas Indonesia, dan ITB, hanya menduduki peringkat di luar 200. Sementara tetangga kita, Singapura, dengan Univesity of Singapore-nya menduduki peringkat pertama. Apakah ada yang salah dengan pendidikan kita? Lalu dimana letak peringkat universitas-universitas Indonesia lainnya?
Beberapa universitas ternama di dunia, mewajibkan mahasiswanya membaca novel, mentelaah sastra. Ini untuk melatih alam bawah sadar yang punya hubungan khusus dengan hati mereka. Melatih alam bawah sadar hanya bisa dilakukan dengan bermain drama, membaca sastra, mendiskusikan sastra. Ini mungkin yang absen di dunia pendidikan kita.
Seperti ini pula yang absen, saat ayah saya berpulang, tak ada satu perawat, dokter rumah sakit pun yang menguatkan saya. Hanya bau duren yang samar-samar tercium. Padahal saya yakin, kalau mereka pembaca sastra, mereka pasti akan bersikap lain.
“Oh Captain, My Captain”. Rumah Belajar Mahima sekali lagi menegaskan arti sebuah pendidikan bawah sadar. Selamat meneteskan air mata yang segar untuk adegan yang itu dan mari kita sama-sama menjadi pemberontak, pemberontak terhadap diri sendiri yang “selama ini biasa-biasa saja”. (T)