PULAU Bali milik siapa? Apa syarat disebut orang Bali? Semakin saya pikirkan, semakin ragu. Di tengah era yang begitu terbuka, apakah Bali sudah terbuka mengakui diri. Atau, justru masih menutup pintu bagi sebagian orang yang hidup dan tumbuh di dalamnya?
Barangkali memang tak ada jawaban yang benar atas pertanyaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan ini hadir setelah saya membaca buku karya Abdul Karim Abraham. Nama yang asing bagi saya. Penulis dari Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, sisi barat Bali Utara. Buku setebal 188 halaman ini awalnya hanya saya diamkan di pojok meja kantor.
Saya tidak terbiasa membaca buku dalam waktu yang cepat, apalagi menuliskannya dalam ulasan dengan segera. Namun setelah seminggu berlalu, saya mulai membacanya, separuh terpaksa, di sela jam istirahat kantor.
Saya pikir isinya akan membosankan. Tiga puluh tujuh tahun saya tinggal di Bali—saya merasa sudah cukup mengenalnya. Apa lagi yang bisa diceritakan oleh “orang pinggiran”?
Namun dugaan saya keliru. Buku ini justru berhasil menahan perhatian saya. Tanpa terasa, tiga jam saya habiskan untuk membaca dan menyelesaikan seluruh isinya. Gaya penulisannya yang bercerita membuat saya setia dan sukarela menyingkirkan ponsel kemudian tenggelam dalam kisah-kisah yang dibagikan.
Buku ini menghadirkan ingatan, pertanyaan, dan bahkan perasaan yang lama saya pendam sebagai penduduk Bali yang hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang budaya dan agama
Buku ini cukup berani, menceritakan sisi lain tentang Bali. Abdul Karim Abraham adalah seorang Muslim Bali yang tumbuh dari Desa Pejarakan. Butuh waktu mendekati dua jam untuk sampai di desa itu dari Kota Singaraja.
Buku ini berisi 38 tulisan yang dikumpulkan dari tahun 2012 hingga 2023, sejak penulis masih mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang, mengisisasi pendirian Asosiasi Mahasiwa Krama Bali (AKRAB), menjadi aktivis PMII, hingga menjabat Ketua GP Ansor Buleleng. Ia membagikan cerita personal, kritik sosial, serta respons terhadap berbagai peristiwa penting di Bali—baik berskala lokal maupun nasional.
Dalam tulisanya ia menegaskan dirinya bagian dari golongan “Nyama Selam”
Nyama Selam” (Nyama: saudara, Selam: Islam) istilah ini digunakan di Bali untuk menyebut masyarakat Muslim yang telah menjadi bagian dari budaya Bali. Bahkan telah mempraktikkan berbagai tradisi dan kebiasaan Bali dalam kehidupan sehari-hari.
Di Desa Pegayaman, misalnya, warga Muslim tak segan menyisipkan nama-nama khas Bali seperti Wayan, Nengah, hingga Ketut. Mereka tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga membaur secara budaya.
Penulis peka dalam menangkap persoalan-soalan besar yang terjadi di Bali. Seperti kedatangan Gusdur di Bali yang tidak pernah biasa. Sampai pada dampak jangka panjang peristiwa penting Bom Bali tahun 2002 dan 2005, yang bukan hanya perkara hilangnya ratusan nyawa.
Termasuk kekalahan pertama kali calon kepala daerah dari PDIP di Bali, tahun 2013 oleh I Made Mangku Pastika, tak luput dari perhatiannya. Nama Mangku Pastika mulai hangat diperbicangkan ketika mampu menangkap pelaku Bom Bali. Kala itu ia masih menjabat Kapolda Bali 2003-2005.
Buku ini juga bercerita tentang pertemuan singkat penulisnya dengan I Wayan Suardana atau akrab dikenal Gendo. Aktivis yang getol menyuarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa.
Hal-hal menarik yang terjadi di Buleleng yang berkaitan dengan Islam juga diamati. Tidak melulu isu Bali yang menasional. Pun juga soal isu yang ada di desa. Khususnya desa yang dekat dengan kelahiran penulis. Mulai sejarah berdirinya Desa Sumberklampok, penguasaan tanah di Desa Sumberkima, sampai pada fakta makam pahlawan di Desa Pejakaran.
Buku ini juga berani menyuarakan kritik terhadap narasi besar seperti “Ajeg Bali”, yang dinilai telah melenceng dari makna awal. Kemudian penulis yang mempertanyakan status branding Singaraja sebagai Kota Pendidikan. Serta mengkritik sebagian umat Islam yang dianggap mengeksploitasi makam Wali Pitu di Bali. Semua disampaikan dengan bahasa yang santun, namun tetap tajam dan reflektif.
Menjadi minoritas tentu tidak mudah, apalagi ketika identitas dan keberadaan terus dipertanyakan. Namun Abdul Karim Abraham terlihat tidak menjadikan itu sebagai keluhan, melainkan sebagai kekuatan. Ia tetap mencintai Bali, meskipun sering dianggap sebagai “nak jawa”. Dirinya memberi semangat bagi siapa pun yang merasa berada di pinggiran.
Buku ini bukan hanya cocok bagi aktivis atau mereka yang berada di dunia pergerakan, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin memahami Bali secara lebih utuh—Bali yang bukan hanya milik mayoritas, tetapi juga mereka yang tumbuh dan mencintainya dari pinggiran.
Bagi mereka yang merasa menjadi minoritas, baik karena agama, latar budaya, atau posisi sosial, buku ini bisa menjadi pengingat. Toleransi tidak hanya soal menerima, tetapi juga keberanian mengakui keberadaan orang lain secara setara. [T]
Penulis: Gading Ganesha
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: