— Catatan Harian Sugi Lanus, 8 Mei 2025
ORANG Bali percaya bahkan melakoni keyakinan bahwa nenek-kakek buyut moyang lahir kembali di keluarga kita. Artinya leluhur lahir kembali di Bali, bahkan spesifik di masing-masing keluarga mereka.
Pertanyaannya:
Jika kita akan lahir kembali di masa depan di keluarga kita, maka artinya kita lahir di Bali atau di ratau keluarga orang Bali? Lalu Bali macam apa yang akan kita lihat dan hadapi di masa depan?
Jika Bali terus bermasalah, keluarga-keluarga Bali makin kehilangan tanah dan hilang sawah serta kalah saing dengan pendatang yang mengambil alih bisnis dan pulau ini, maka kelahiran kita kelak akan “nampedang” kerusakan Bali yang kita biarkan sekarang?
Jika anak-anak di Bali dan lingkungan di Bali kehilangan arah dan tidak kita perjuangkan sekarang, maka bukan anak cucu kita yang akan menanggung beban. Tapi kita yang akan lahir kembali akan menuai masalah yang kita ciptakan sekarang?
Ini mengandung pesan: Jika orang Bali sekarang banyak jual tanah sawah, bahkan keluarga-keluarga baru tidak punya tegak karang, belum mampu membeli rumah karena mahalnya tanah dan perumahan di Bali tidak terjangkau penghasilan keluarga Bali, maka kita akan lahir kembali dalam keluarga orang-orang Bali yang tidak punya tegak karang. Kita akan lahir di Bali yang tidak ada subak dan kehabisan tanah tegak karang?
Ajaran dan keyakinan bahwa orang Bali akan terlahir kembali di keluarganya sendiri di masa depan, mengandung pesan bahwa orang Bali harus memikirkan masa depan Bali bergenerasi-generasi ke depan, hidupnya sekarang bukan untuk sekarang saja, tapi memikirkan Bali masa depan, sampai kelahiran berulang-ulangnya nanti mengantar orang Bali mencapai moksa.
Artinya, orang Bali “dilarang berpikir pendek”. Dilarang sekedar mikir kesenangan hari ini. Dilarang merusak dan membiarkan alam Bali rusak. Lewat ajaran ini kita diminta untuk berpikir membangun peradaban lintas generasi. Menciptakan keluarga dari generasi ke generasi makin terdidik dan berpendidikan memadai sehingga menjadi pondasi atau ruang terdidik yang makin ideal memberikan tempat dan kesempatan kepada ruh leluhur atau ruh kita yang akan lahir kembali di garis keluarga kita.
Orang Bali harus mendidik anak dan cucu secara baik. Ajaran kembali lahir di masa depan di keluarga sendiri adalah ajaran berkesadaran penuh pertimbangan menata hidup dan peradaban lintas generasi.
Ajaran ini adalah ajaran bagaimana manusia Bali harus berpikir membangun peradaban lintas generasi. Menciptakan keluarga dari generasi ke generasi makin terdidik dan berpendidikan memadai sehingga menjadi pondasi atau ruang terdidik yang makin ideal memberikan tempat dan kesempatan kepada ruh leluhur atau ruh kita yang akan lahir kembali. Sinambung secara pendidikan. Sinambung dalam keterdidikan antar generasi.
Jika kita menghasilkan generasi punyah, maka kita akan terlahir di keluarga punyah. Jika kita melahirkan generasi koplo, maka kita akan terlahir dalam keluarga koplo. Jika mayoritas anak cucu menjadi generasi koplo, maka pulau Bali akan menjadi pulau koplo. Jika kita membesarkan anak-anak sebagai penjudi dan culas dalam politik atau prilaku sosial yang curang, maka kita akan membuka kubangan sendiri terlahir dalam keluarga penjudi dan keluarga curang-culas.
Orang Bali akan terlahir kembali dalam keluarga macam apa, tergantung bagaimana mereka sekarang mendidik atau membentuk keluarga. Bagaimana prilakunya sekarang menentukan keluarga tempatnya terlahir kembali. Jika Anda penjudi, menurunkan anak penjudi, Anda akan lahir kembali di keluarga penjudi yang turunan penjudi.
Jika Anda pemabuk, Anda akan lahir di keluarga yang turunan pemabok. Jika Anda pemalas dan hanya senang senang untuk hari ini tanpa pertimbangan masa depan, maka Anda akan lahir di keluarga penuh kekurangan dan tidak berdaya di masa depan.
Ada ungkapan orang Bali salahang leluhur! Jangan-jangan ini mengandung pesan bahwa kesalahan dalam kehidupan Anda yang sekarang Anda petik buahnya dari kehidupan sebelumnya. Bukankah Anda adalah leluhur yang lahir kembali? Andalah leluhur yang salah arah atau kurang bijak di masa lalu yang menjelma kembali. Jadi bukan orang lain yang kita sebut sebagai leluhur itu. Kitalah leluhur itu sendiri yang memetik buah karma masa lalu di kehidupan kita sekarang. Kitalah leluhur yang harus menghadapi dan menjalani sepenuhnya semua tanggung jawab karma masa lalu di kelahiran kita sekarang. [T]
Penulis: Sugi Lanus
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis SUGI LANUS