PADA suatu sore yang muram saya berbincang sambil minum teh dengan Joko Pinurbo di teras rumahnya. Entah bagaimana tiba-tiba dia berbicara tentang berita surat kabar sekian tahun silam, yakni kisah seorang penarik becak bernama Sukardal yang bunuh diri karena becaknya disita oleh petugas ketertiban kota Bandung.
Sebelum mati Sukardal menulis surat wasiat kepada anak sulungnya, seorang gadis, meminta mayatnya dikubur berdampingan dengan mendiang sang istri yang telah meninggal lebih dulu. Malangnya sang anak bersama tiga adiknya yang tinggal di bedeng kumuh empat kali empat meter, tidak sanggup memenuhi wasiat itu karena tidak punya ongkos untuk membawa jenazah sang ayah ke Majalengka.
Dalam berita itu terdapat komentar beberapa orang yang mengatakan bahwa tindakan Sukardal adalah sebuah dosa besar sementara seorang pejabat menyebut-nyebut ulah pihak ketiga sebagai biang keroknya. Tak jelas siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga itu.
Sekitar dua minggu kemudian Joko Pinurbo menulis puisi berikut ini:
SENANDUNG BECAK
Ada becak melenggang sendirian di sebuah gang.
Pemiliknya, katanya, telah mati di tiang gantungan.
Ada becak hanyut di sungai.
Sungainya keruh, mengalir ke laut yang jauh.
Orang-orang berkumpul di atas jembatan,
mengira si pemiliknya telah mati tenggelam.
Tapi ada yang berbisik kepada saya:
“Akulah yang menghanyutkannya
dan ternyata kalian amat suka menontonnya.”
Ada juga yang berkata:
“Sesampainya di laut, becak itu akan menjelma
sebuah perahu yang harus bertarung sendirian
melawan badai, ombak dan malam.”
(1990)
Apa boleh buat. Si Tukang Cukur yang telah menghancurkan kedamaian asali untuk membangun peradaban itu terus melaju sembari menyingkirkan segala hal yang akan menghalangi proyeknya. Setelah memangkas habis rambut, lentik bulu mata dan daun telinga semua orang, kini ia juga memaksa Sukardal bunuh diri lalu menghanyutkan becaknya ke sungai. Bukan hanya becak Sukardal tapi juga membersihkan ribuan becak karena dianggap sampah yang mengotori proyek besarnya untuk membangun hotel, restoran dan rumah ibadah di kotanya.
Celakanya, sebagian orang yang berkerumun menyaksikan peristiwa itu menyangka bahwa Sukardal ikut tenggelam bersama becaknya, sementara sebagian yang lain justru melihat dengan santai, bahkan asyik-asyik sambil merokok atau menggoda cewek-cewek yang lewat.
Tapi untunglah ada seseorang yang mengingatkan bahwa becak itu akan menjadi perahu yang akan bertarung di lautan. Meski Sukardal telah tiada, becaknya akan menemukan dunia baru di seberang kematian, barangkali di dunia mimpi yang resah, melawan badai, ombak dan malam.
Di sini tiba-tiba saya teringat sebuah sajak Sapardi Djoko Damono yang berkisah tentang anak kecil yang membuat perahu dari kertas lalu menghanyutkannya ke sungai dan kelak perahu itu ditemukan terdampar di sebuah bukit setelah dipakai oleh seseorang, barangkali bernama Nuh, untuk menyelamatkan makhluk hidup dari banjir besar.
Tentu, cerita perihal anak kecil dan perahu Nuh dalam sajak Sapardi itu merujuk kisah tua dalam kitab-kitab kuno, sedangkan kisah becak Sukardal itu justru secara langsung menunjuk pada nasib rakyat jelata yang mengalami nasib buruk dan tersingkir dari gemerlapnya kota.
Jokpin memberi tahu bahwa kisah dalam kitab-kitab tua itu bukan sesuatu yang berada nun jauh di perbatasan antara mitos dan dongeng sebelum tidur melainkan ada di sekitar kita, di sini pada saat ini.
Ya. Dunia baru yang dibangun si Tukang Cukur adalah malapetaka demi malapetaka bahkan huru-hara. Hal itu diceritakan oleh Jokpin dalam sajak lain yang berjudul “Mei” (2000), dengan sub judul “Jakarta 1998”.
Sajak itu berkisah tentang gadis Tionghoa bernama Mei yang mati hangus terbakar, boleh jadi setelah diperkosa dalam kerusuhan bulan Mei tahun 1998. Ia mengalami nasib tragis meski tak memiliki kesalahan apa-apa, dan jika dapat disebut nasib sial lahir dan hidup di negeri ini, adalah putih-kuning kulit dan sipit matanya.
(Sekali lagi Jokpin menggunakan petanda tubuh bukan sekadar wadah eksistensi – dengan tubuh seseorang menjadi ada – sekaligus dengan tubuhnya seseorang memiliki identitas, tapi justru karena tubuh itu pula seseorang justru kehilangan eksistensinya).
Di situ, tubuh ternyata telah menjelma kutukan. Tukang Cukur yang datang entah dari mana itu kini datang dalam bentuk amuk massa bersama api yang menghancurkan tubuh cantik si Mei. Dan setelah tubuh tersebut hancur, maka “Tak ada lagi yang mempertanyakan / Nama dan warna kulitmu, Mei”.
Ajaib. Mei benar-benar menjadi “manusia” justru ketika tubuhnya dihancurkan. Si Mei hanya bisa terbebas dari “kutukan” justru setelah tubuh itu jadi hangus. Ia menjadi ada karena justru tak ada lagi mempertanyakan status maupun warna kulitnya. Ini adalah semacam antagonisme ekstrem dalam nada yang benar-benar sarkastik.
Tapi, sejujurnya saya kurang puas dengan sajak “Mei” ini karena permainan semantik pada judul “Mei”, subjudul “Jakarta 1998” (yang merujuk pada huru-hara di Jakarta pada bulan Mei tahun 1998) dan kisah gadis bernama “Mei” tampak kelewat eksplisit. Akibatnya rangkaian cerita yang bertautan dengan makna referensialnya di luar teks cenderung berfungsi sebagai pembungkus deskripsinya saja. Permainan semantik seolah hanya diperalat demi meonjolkan pesan belaka.
Artinya, penanda yang sudah terbangun oleh penjajaran metafora tubuh dengan kemungkinan pembebasan kutukan atas identitas fisik itu, sebagai aspek material dari gagasan yang hendak ditampilkan, tidak dapat didorong ke petanda mental di baliknya.
Suasana atau situasi yang biasanya membayang di balik peristiwa menjadi mentah kembali dan yang terbaca kemudian melulu kisah perihal tubuh si Mei sebagai daging, tulang dan darah manusia, bukan berbagai suasana tragis manusia perempuan yang terkandung dalam penanda tersebut. Dengan kata lain, sajak tersebut adalah cerita perihal tubuh dengan format yang berlawanan dengan tubuh sebagai penanda pada sajak “Tukang Cukur”.
Selain itu, pada sajak “Mei” saya tidak mendapati permainan “ulang-alik” antara penanda utama di awal sajak dengan kalimat segel di akhir sajak yang terjalin dengan kuat sehingga rantai metaforik dalam unit-unit cerita yang biasanya terjalin dengan baik dari bait demi bait pun menjadi terputus.
Halnya berbeda dengan sajak berikut yang juga menggunakan tubuh sebagai petanda utama di mana tautan rantai cerita, kalimat awal dan kalimat segel di akhir sajak terkait dengan bagus.
KAIN KAFAN
Kugelar tubuhku di atas ranjang
seperti kugelar kain kafan yang telah dibersihkan.
Siapa yang tidur di atas kain putih ini semalam?
Kutemukan bercak-bercak darah: gambar wajah
yang kesakitan dan luka lambung yang belum disembuhkan.
Kulipat tubuhku di atas ranjang, seperti kulipat kain kafan
yang kujadikan selimut tadi malam.
(2000)
Dalam permainan idiom kain kafan, tubuhku, tubuh selain tubuhku – mungkin tubuh Yesus -, ranjang, maut, gambar wajah, dan malam, berlangsung proses-ulang alik antara aspek material sebagai penanda tekstualnya dengan makna referensialnya yang berjalin berkelindan sedemikian rupa sehingga batas-batas di antara keduanya tampak saling tembus.
Tentu ketimbang sajak “Mei” saya lebih suka dengan sajak “Kain Kafan” ini karena saya tiba-tiba disorong ke dalam suasana atau situasi liminal yang mencekam pada saat drama tentang maut itu tampil begitu nyata, seolah-olah dapat disentuh dengan ujung jari kemanusiaan sebagaimana kain kafan yang menjadi selimut di atas ranjang.
Kembali pada ingatan tentang surga yang dihancurkan sebagai wahana membangun kota, sesekali Jokpin masih menyisakan memori atas kisah lama sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab tua. Yakni memori tentang sebuah pohon “pengetahuan” yang tumbuh merimbun sepanjang waktu.
Tentu, pohon itu adalah juga pohon sejarah. Dan mernurut sang penyair, pohon itu ternyata berjenis kelamin perempuan. Yaitu “Pohon Ibu” yang ternyata juga berdiri tegak di mana-mana. Ya, boleh jadi memang si Tukang Cukur itulah yang menanam pohon di seantero kota yang telah ia bangun.
POHON PEREMPUAN
Pohon perempuan itu masih berdiri anggun di tengah kota
Walau sudah sangat tua umurnya.
Teman-temannya sudah tumbang dan roboh semua
tapi ia masih tegar di sana
Aku ingin mencicipi sepasang buahnya yang indah
yang selalu tampak segar dan basah.
Tapi kata orang itu buah keramat
dan tak seorang pun boleh memetiknya.
Pohon keramat itu selalu ramai dikunjungi peziarah
yang datang untuk memohon berkah dan tuah.
Dan kata orang hanya yang kudus dan bersih hidupnya
boleh ke sana. Sedang aku seorang pendosa
yang ketika lahir saja sudah tega menyiksa
dan melukai seorang wanita.
Tadi siang aku melihat
seorang tiran ditangkap,
ditelanjangi, diarak keliling kota
kemudian digantung di pohon itu
sampai melet lidahnya
dan mendelik matanya.
Sebelum nyawanya oncat
ia sempat mendengar
pohon perempuan itu berkata:
“Minumlah tetekku, hai anak durhaka”.
(1999)
Itulah pohon kutukan. Boleh jadi kutukan bagi si bocah yang telah terbujuk dan takluk lalu justru berkongsi dengan si Tukang Cukur, atau bahkan ia telah menjelma menjadi Tukang Cukur itu sendiri. Ia telah menjadi anak durhaka. Ia kemudian menjadi tiran yang akhirnya digantung sampai menjulur lidahnya.
Tapi kenapa sang pohon “keabadian” itu berkelamin perempuan dan si pendosa adalah laki-laki? Bagaimana pula kemudian muncul si tiran?
Tentu, itu pertanyaan-pertanyaan konyol yang tak membutuhkan jawaban dalam bentuk apapun. Sajak tersebut hanya memberi tahu bahwa sumber “kesucian” yang tumbuh dalam dongeng tentang firdaus dulu adalah pohon “perempuan” sehingga siapapun harus menghormatinya sebagai tempat segala yang kudus berasal meski buah yang dihasilkannya adalah buah yang terlarang.
Ya, inilah paradoksnya: justru karena suci maka ia harus terlarang.
Boleh jadi sajak ini juga hendak mengingatkan saya tentabg hubungan gender antara laki-laki dan perempuan itu mula-mula memang berakar jauh pada kisah-kisah tua yang menempatkan perempuan sebagai sumber problem. Bahkan dalam kisah-kisah devosional agama-agama tertentu telah menginternalisasi kisah-kisah itu ke dalam darah dan daging sejarah yang ditopang lembaga-lembaga utamanya.
Dari para pemikir feminis radikal diketahui bahwa pembentukan lembaga-lembaga regilius merupakan bagian dari pengukuhan hegemoni kaum lelaki dan wacana yang membentuk pikiran serta tubuh kebudayaan sebagai manifestasi kekuatan patriarkis tersebut. Serta-merta saya terpancing untuk melihat aspek konseptual semacam itu.
Dalam sajak “Pohon Perempuan” itu agaknya dia hendak melihat dari arah sebaliknya: bahwa sumber problem bukan pada pihak perempuan melainkan pada patriarki itu sendiri. Peradaban yang dibangun oleh Si Tukang Cukur ternyata adalah representasi dari peradaban laki-laki yang pongah dan brutal dan mereka adalah sejenis para pendosa yang pantas untuk ditangkap, ditelanjangi dan diarak keliling kota untuk kemudian digantung di pohon itu. Sebelum si pendosa itu mampus, sang pohon pun berkata: “Minumlah dari tetekku, hai anak durhaka”.
Ketika saya bertanya lebih jauh kepada sang penyair, dia hanya tertawa sembari menyulut rokok filter berbungkus merah. Tentu jika saya mendesaknya, sebagaimana biasanya dia akan bilang bahwa puisi bukan filsafat. Saya setuju.
Sejak itu saya jarang bertemu Jokpin. Belakangan dia pindah rumah di permukiman yang lebih padat dalam gang yang lebih sempit dan tentu dia lebih banyak bertemu macam-macam orang di dunia ramai. Sejak itu pula dia nyaris tidak pernah bercerita tentang memori kedamaian surga asali melainkan kisah-kisah dalam kehidupan sehari-hari.
Begitulah. Beberapa hal dapat saya temukan ketika dulu sering beranjangsana sore hari ke rumah sajak Jokpin. Saya senang mengunjungi penyair ini karena selalu mendapat berbagai kisah, mulai dari kisah tentang delman, ibu tua yang termangu-mangu di depan lampu minyak dan merasuk dalam kantuk abadi, perihal bocah yatim yang dilupakan oleh hari Natal, perihal seseorang yang bertelur di kamar mandi, perihal celana dan raja yang bertahta di dalamnya, dan seterusnya dan seterusnya.
Saya merasa betah mengunjungi rumah puisinya karena Jokpin begitu lancar bertutur dengan bahasa yang mudah dicerma. Saking lancarnya kadang kisah-kisah itu datang kepada saya seperti sesuatu yang diucapkan, semacam dongeng yang mudah ditangkap hanya melalui indera pendengaran saja. Saya pun senang menyaksikan Jokpin membacakan puisi-puisinya di atas panggung meski dengan irama yang datar, dan bukannya dengan gaya yang dramatis.
Pada sajak-sajaknya yang digubah setelah tahun 2000, seringkali saya mendapati humor yang segar. Tentu jika dibaca sepintas seringkali humor itu justru menutup suasana dan situasi liminal di balik gagasan yang diangkat. Tapi jika saya baca berkali-kali humor tersebut tidak hanya memancing tawa melainkan justru membuat saya seperti berdiri di tengah situasi ambang dalam keremangan senja tanah, seperti warna daun yang menguning abu-abu menua lalu mati dan perlahan-lahan melayang jatuh ke pekarangan di dekat sumur mati.
Beberapa kali saya menemukan aroma maut di ranjang yang putih, sisa-sisa sakit pada daging-daging layu, bayi yang lebih suka ngendon di dalam kulkas ketimbang keluar ke dunia ramai, seseorang yang membeli celana baru hanya untuk nampang atau mejeng sendirian di kuburan, waktu yang mengerut menyusut pada seonggok pakaian bekas.
Atau orang yang membunuh orang lain dan kemudian si korban justru ingin merasuk ke tubuh pembunuhnya, orang yang terbangun lalu serta-merta mendapati dirinya dalam keadaan telanjang. Juga kisah tentang perias jenazah yang selalu berlama-lama menatap wajah cantik mayat-mayat yang diriasnya dan sebagainya dan sebagainya.
Pada saat-saat seperti itu saya jadi enggan mengunjungi puisi-puisi Jokpin karena satu alasan: bahwa di rumah sajak-sajaknya humor dan kuburan kadang tampak begitu dekat. Dan setahun silam , 27 April 2024, penyiar ini telah menemukan kuburnya, kembali dalam kedamaian surga asalinya yang merimbun sepanjang waktu. [T]
Penulis: Wicaksono Adi
Editor: Adnyana Ole
- BACA ARTIKEL BAGIAN 1
- BACA JUGA: