“Ingat, kamu jangan sampai lupa. Sebut nama Allah … Allah … Allah … ketika kamu sedang mengerjakan ujian. Semalam kamu sudah belajar toh?” kata Mak Kaeh kepada Samsul saat pemuda itu hendak berangkat ke kampus.
“Sudah, Mak Kaeh,” jawab Samsul sambil mengangkat jempol kanannya.
“Bagus. Yang menentukan kamu lulus atau tidak adalah belajar. Berusaha sambil diiringi dengan berzikir menyebut asma Allah. Jika kamu telah berusaha, serahkan hasilnya kepada Allah,” ujar Mak Kaeh menjelaskan.
Mak Kaeh adalah sebutan orang-orang Madura kepada ulama yang dituakan di kampung, bila di Pasaman Barat atau Sumatra Barat disebut Abuya. Biasanya mereka tidak hanya mengajar anak-anak kampung mengaji Al Qur’an, namun juga mendidik mereka sesuai dengan akhlaknya nabi. Selain itu pula, Mak Kaeh juga sering menyampaikan nasihat kepada siapa pun yang berbuat salah. Beliau sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut nama orang yang bersalah atau menghinanya di depan orang lain. Beliau selalu berkata lemah lembut sehingga membuat orang segan dan menaruh hormat padanya.
“Tapi, Mak Kaeh, kenapa masih saja banyak orang yang menggunakan media dari dukun untuk mendapatkan hasil yang bagus?” tanya pemuda yang tidak lain adalah cucu Mak Kaeh itu.
“Sudah. Jangan mengurus apa yang dilakukan oleh orang lain. Urus saja dirimu sendiri. Itu urusan mereka dengan Gusti Allah,” ucap Mak Kaeh dengan tegas.
Merasa salah ucap, pemuda itu segera meminta maaf, sembari mengucapkan istighfar kepada Allah. Dia telah mengghibah orang lain yang sama sekali bukan urusannya.
“Sekarang berangkatlah. Nanti kamu kesiangan.”
“Baik, Mak Kaeh.” Pemuda itu mengangguk. “Saya berangkat dulu, Mak Kaeh.”
Pemuda itu mencium punggung tangan orang tua itu dengan penuh takzim.
“Semoga berhasil.”
“Amin.”
Setelah itu, pemuda bernama Samsul itu menyambar sepedanya yang disandarkan begitu saja pada dinding pagar halaman depan rumah mereka. Lalu, dia berangkat bersama temannya yang sudah biasa menjemputnya. Mereka berdua melewati jalanan kampung yang naik turun. Kampung mereka memang berada di punggung lereng gunung. Tentu saja itu sangat membahayakan jiwa mereka jika suatu saat terjadi gempa atau longsor. Tetapi, mereka telah mengantisipasi bencana terlebih dulu dengan menanam pohon di sepanjang jalan dan lereng gunung sehingga akar kayu pohon tersebut mampu mengikat tanah. Selain itu, sungai yang mengalir di kampung tersebut dibuat sangat dalam sehingga air tidak bisa meluap. Setelah melewati jalan kampung, mereka kini berada di jalan panjang yang kanan kirinya adalah hutan. Tidak ada siapa-siapa di sana selain suara monyet dan burung yang meningkahi perjalanan mereka.
“Bagaimana persiapanmu, Dul?” tanya Samsul membuka percakapan.
“Selama seminggu aku telah mengisi kisi-kisi ujian, Sul.”
“Hebat.”
“Aku berharap bisa lulus ujian.”
Kalau tidak salah, mereka hampir menempuh jarak 30 km untuk sampai ke kampus negeri satu-satunya di bawah lereng gunung kabupaten paling selatan itu. Kampus negeri itu tidak begitu jauh dari SMA negeri di mana mereka dulu menimba ilmu. Jadi, setiap hari mereka telah menempuh jarak 60 km pulang pergi selama tiga tahun. Karena begitu bersemangat sekolah, mereka sama sekali tidak pernah mengeluh meskipun harus mengayuh sepeda ontel. Berbeda dengan teman-teman mereka yang mengendarai sepeda motor. Mereka tidak pernah meminta dibelikan sepeda motor kepada orangtua mereka meski orangtua mereka adalah petani yang sukses. Tapi lain hal dengan Samsul, dia tidak pernah meminta sepeda motor karena kakeknya hanyalah seorang kiai kampung yang nyambi menjadi buruh tani. Agar bisa membeli hape android dia harus bekerja menjual buku-buku lama yang masih bagus kepada teman-temannya. Dia biasanya harus pergi ke Jogja untuk berburu buku-buku cuci gudang itu. Mumpung harganya murah. Dengan begitu dia bisa menabung untuk keperluan biaya sekolahnya dan sisanya dia belikan handphone.
Sesampai di kampus, mereka memarkirkan sepedanya. Tampak anak-anak SMA seusia mereka berjubel di halaman kampus yang tidak begitu luas. Kampus ini dibangun secara modern dengan seiringnya majunya dunia. Padahal, sepuluh tahun yang lalu bangunan gedung-gedung jurusannya sangat sederhana. Di sana, tidak hanya anak-anak dari kampung saja yang kuliah, namun juga anak-anak dari kota, bahkan anak-anak dari kabupaten sebelah. Tidak sedikit alumni kampus ini yang sudah sukses. Dan di antaranya ada yang telah menjadi pejabat, pebisnis, profesor, guru dan penulis terkenal.
“Setelah lulus nanti, kamu bercita-cita menjadi apa, Sul?” tanya Abdul kepada Hasan saat mereka duduk di bawah pohon mangga.
“Entah. Aku sendiri juga belum tahu,” jawab Samsul.
“Bukannya selama ini kamu telah berbisnis buku, Sul? Kenapa kamu tidak membuka toko buku saja? Siapa tahu usaha toko bukumu bisa sukses macam Togamas?”
Membuka toko buku? Sebuah ide yang sangat cemerlang! Itu bisa jadi pilihan pekerjaan yang paling utama setelah lulus kuliah nanti.
“Atau, bisa juga kamu membuka penerbitan buku? Cari koneksi atau kenalan orang Jakarta yang bisa kamu ajak untuk bekerjasama membiayai buku-buku yang akan diterbitkan,” ujar lagi Abdul menimpali.
“Idemu sangat bagus, Dul.”
Akhirnya, mereka memasuki ruang ujian yang telah disediakan oleh pihak kampus. Ruangan itu sangat dingin karena dilengkapi dengan AC. Kursi peserta ujian tampak ditata dengan rapi. Lalu, ada satu meja dan kursi untuk pengawas. Samsul dan Abdul duduk di kursi yang agak berjauhan sesuai dengan nomor ujian yang tertera di kartu ujian mereka. Inilah hari penentuan untuk merubah masa depan mereka. Manusia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merubah nasib. Sedangkan hasilnya, Tuhanlah yang menentukan. Asal manusia mau berusaha, Tuhan tentu akan mengizinkannya.
Di sebelah kanan kursi Samsul duduk seorang gadis berambut panjang dengan muka yang sangat cantik. Kulitnya putih, hidungnya tidak begitu mancung, bibirnya indah, dan memakai kacamata. Kecantikan yang dimiliki oleh gadis itu sangat cukup untuk membuat tubuh Samsul gemetar. Gadis itu tampaknya sangat kesulitan saat mengerjakan soal yang ada di kertas ujian. Dia menoleh ke kanan kiri untuk mencari bantuan. Berbeda dengan Samsul yang kelihatan sangat tenang saat melingkari jawaban yang dia anggap paling benar. Dan itu sudah pasti dia bisa mengatasi soal sesulit apa pun. Sebab dia sudah melahap banyak buku bacaan. Bahkan, di rumahnya koleksi buku lawasnya banyak. Tidak seperti peserta lainnya, Samsul mampu menyelesaikan ujian hanya dalam waktu 35 menit 2 detik. Karena waktunya masih sangat lama, dia pun berpura-pura mencoret jawaban agar tidak menjadi perhatian pengawas. Tapi, saat bel tanda ujian berakhir dan para peserta diminta untuk mengumpulkan kertas ujian, baru Samsul bangkit dari kursinya. Sayang, di saat bersamaan, gadis berambut panjang itu menghadangnya dengan berdiri tepat di depannya. Tubuhnya juga mepet dengan tubuh Samsul sehingga membuat jantung pemuda itu berdegup kencang dan keringat dingin berjatuhan. Tanpa harus meminta izin terlebih dulu pada pemuda itu, gadis itu segera merampas kertas ujian dari tangan Samsul. Kemudian, dia membawanya ke kursinya. Samsul hanya mematung saat itu. Sementara gadis itu menyalin semua jawaban yang ada di kertas ujian pemuda itu ke kertas ujian miliknya. Tak membutuhkan waktu lama untuk menjiplaknya. Sebelum Samsul berkedip, gadis itu telah selesai mengerjakan soalnya, lalu memberikannya kembali pada Samsul yang masih bengong.
“Terima kasih,” katanya dengan lembut seraya tersenyum. Sebuah senyuman yang sangat manis sehingga memperlihatkan kedua lesung pipinya.
Samsul tak bisa berkata apa pun. Lidahnya kelu sehingga tak mampu berbicara. Dan dia menjadi salah tingkah. Gadis cantik itu bak seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan. Sebelum pergi dari hadapan Samsul, gadis itu memberikan sesuatu dan pemuda itu menerimanya.
“Sampai ketemu lagi, Sayang.”
Dan, gadis itu pun pergi.
Tanpa Samsul sadari, ternyata ada seseorang yang menangkap momen itu dengan kamera handphone miliknya.
Sepanjang jalan pulang, pikiran Samsul tak bisa melepaskan wajah, lesung pipi, senyuman dan kalimat ‘sayang’ yang diucapkan oleh gadis itu sehingga membuat temannya menggeleng-geleng karena sudah menganggap Samsul sudah tidak waras.
“Ternyata virus merah jambu itu bisa membuat orang sakit parah ya?” Abdul tertawa terpingkal-pingkal.
“Tapi, penyakit ini sungguh mengasyikkan,” ujar Samsul sambil menggurat wajah gadis yang tidak dia ketahui namanya itu di awan-awan.
***
“Apa ini?!” kata Mak Kaeh dengan suara bergetar. Kedua matanya menyala merah bagai memancarkan api. Wajahnya juga terlihat sangat marah. Tidak biasanya orangtua itu murka seperti itu. Di tangannya dia menggenggam sesuatu.
Samsul yang baru pulang dari kampus untuk melihat namanya lulus ujian pun kaget seketika. Kebahagiaannya yang sejak tadi membuncah sejak namanya lulus dengan mendapat nilai paling tinggi menguap seketika saat melihat kakeknya berubah menjadi macan kelaparan.
“Maaf, Mak Kaeh, ada apa ya?” tanya Samsul dengan kedua kaki yang gemetar seperti ranting mawar yang lemah karena tertiup angin kencang.
“Duduk!” perintah Mak Kaeh. Tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya murka selain apa yang telah dilakukan oleh seseorang yang melanggar norma-norma kehidupan. “Kamu kenal gadis yang ada di dalam foto ini?”
Mak Kaeh memperlihatkan gambar gadis yang ada di dalam foto bersamanya itu. Bah, kok bisa? Siapa yang telah membidik momen itu? Siapakah orang yang telah mencari kesempatan untuk memfoto sesuatu yang membuat dunia akan heboh itu? Dan Mak Kaeh yang sama sekali tidak tahu bagaimana kejadiannya langsung menjadi marah dan murka.
“Apakah kamu telah lupa apa yang aku nasihatkan kepadamu selama ini?”
“Jangan mendekati perempuan yang bukan muhrim,” jawab Samsul dengan menundukkan kepalanya ke lantai. Dia sama sekali tidak berani mengangkat apalagi menatap wajah kakeknya di saat orangtua itu sedang marah.
“Tapi, kenapa kamu malah melanggarnya?”
“Mak Kaeh, itu sama sekali tidak seperti Mak Kaeh duga. Saya sama sekali tidak melakukan apa pun dengan gadis itu. Demi Allah,” Samsul mencoba meluruskan kesalahpahaman itu. Tapi, pembelaannya itu sia-sia.
“Sudah jelas gadis itu nempel di dadamu masih saja membela diri! Itu tidak boleh, Samsul! Perempuan ini bukan istrimu!” Kata-kata Mak Kaeh bagai petir yang menyambar dada Samsul. “Kamu tidak boleh mendekati gadis ini!”
“Mak Kaeh, tolong beri saya kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Itu sama sekali tidak benar. Saya tidak pernah menyentuh apalagi memeluk perempuan itu. Tapi ….”
Mak Kaeh langsung memotong,
“Sudah, sudah, aku tidak mau mendengarkan lagi apa pun alasanmu. Foto ini sudah sangat jelas kalau kamu sudah berbuat salah.”
Orangtua itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang tafakkurnya, sebuah mihrab kecil yang berada di tengah rumah. Samsul yang jengkel hanya diam. Dia marah terhadap selembar foto yang ditinggalkan oleh Mak Kaeh di atas meja. Dia berpikir, siapa tangan jahil yang telah membuat dirinya menjadi sasaran kemarahan kakeknya.
Melihat foto itu dia jadi teringat dengan kejadian lima tahun yang lalu. Saat itu, sepupunya yang datang dari kota sebelah untuk menyambangi Mak Kaeh. Selain rindu pada orangtua itu, sepupunya juga rindu ingin memakan buah durian yang diambil dari ladang kecil milik Mak Kaeh. Sebutlah nama sepupunya itu Fitri. Fitri adalah anak dari pamannya Samsul, adik dari almarhum ayahnya. Ayahnya Samsul meninggal dunia saat usia Samsul masih lima tahun. Sedangkan ibunya menikah lagi. Sejak ayahnya meninggal dan ibunya kawin dengan laki-laki lain, Samsul yang sebatang kara diasuh dan dididik oleh Mak Kaeh. Jadi, dia sudah menganggap kakeknya itu seperti orangtua kandungnya sendiri.
Saat itu, Fitri mengajak Samsul pergi ke ladang durian milik kakek mereka. Fitri yang kala itu berusia 15 tahun sudah menampakkan tanda-tanda kecantikannya. Kulitnya putih, hidungnya mancung, dan rambutnya yang ikal panjang. Dengan berjalan kamu, mereka berdua pergi ke ladang durian. Di sana mereka menemukan durian yang sudah jatuh sejak semalam. Keduanya pun makan buah durian di gubuk. Selesai makan, Samsul mengajak sepupunya itu mandi di sungai. Sungai di sana airnya sangat jernih. Kemudian, Fitri mengeluarkan sebuah handphone dan meminta kepada seorang pemuda desa untuk mengabadikan kebersamaannya dengan Samsul. Parahnya saat itu, Fitri hanya mengenakan kain sarung sehingga bagian bahu dan dadanya kelihatan telanjang.
Melihat foto tersebut, wajah Mak Kaeh seperti besi panas. Matanya menyala. Dari mulutnya keluar kata-kata yang menusuk dada. Fitri yang dimarahi menangis dan langsung minta dijemput malam itu juga. Ayahnya juga tak bisa menghindar dari kemarahan Mak Kaeh karena dianggap tidak bisa mendidik anak. Sementara Samsul yang menjadi santapan kakeknya pun hanya diam dan tidak bisa berkutik. Dia merasa bahwa dirinya memang salah. Sejak itu, dia sudah tidak pernah bertemu dengan sepupunya itu. Padahal, keduanya sudah sama-sama cocok satu sama lain.
“Aku heran sama cara pandang kakekmu itu, San,” kata Abdul ketika mereka berdua duduk di ruang teras rumah Abdul.
“Sama,” jawab Samsul.
“Semua perempuan dia anggap petaka dan sesuatu yang sangat berbahaya. Aku yakin dia pasti telah membaca suatu pendapat dari salah seorang ulama yang dianggapnya sebuah hadits. Sebenarnya ini adalah pendapat seorang ulama dari Arab yang mengatakan bahwa perempuan adalah setan.”
“Aku pun merasa seperti itu,” timpal Samsul.
“Kenapa bisa perempuan disamakan dengan setan? Bukankah nafsu manusia itu sama? Sama-sama ada tujuh di dalam diri? Soal zina atau tidak itu kan urusan cara berpikir manusia? Kalau manusia tidak bisa mengendalikan diri atau membuang jauh-jauh pikiran buruknya, mana bisa manusia akan melakukan zina? Perbuatan itu terjadi karena manusia selama ini hanya meyakini tentang adanya Tuhan tapi tidak mengenal Allah,” tambah Abdul.”
“Hei, pemikiranku kok luas begitu? Dari mana kamu belajar seperti itu?”
Abdul malah menyikapi rasa kekaguman kawannya itu dengan mengulum senyum.
“Aku hanya pernah membaca sebuah buku berwarna biru milik ayah, tapi tidak sampai habis. Karena baru membaca bab awal saja otakku langsung ngehang. Kata ayah, itu bukan buku biasa seperti buku yang dijual di toko buku.”
“Berarti itu buku yang sangat langka?”
“Ya, itu adalah buku yang sangat langka. Tidak banyak orang yang memilikinya.”
“Tapi, aku penasaran dengan orang yang sengaja membidik gambar saat gadis itu dalam posisi sedang menempel di depanku, Dul,” Samsul mengembalikan topik pembicaraan.
“Jangan hiraukan orang tak bertanggung jawab itu. Saat ini yang penting kamu harus bisa meluruskan dengan baik-baik kesalahpahaman ini kepada Mak Kaeh,” ujar Abdul berpendapat.
“Percuma, Dul. Percuma. Dia tidak akan mungkin mendengarkan kata-kataku.”
“Hei, jangan berprasangka buruk dulu kepada Allah. Siapa tahu apabila amarah Mak Kaeh mereda, dia mau mendengarkan mu.” Abdul menepuk-pundak Samsul.
Maka, dengan menyebut asma Allah, Hasan duduk di depan kakeknya. Sementara Mak Kaeh saat itu sedang memangku mushaf Al Qur’an dan membacanya dengan merdu. Dulu, Mak Kaeh memang dikenal sebagai santri yang bersuara emas dalam melantunkan ayat-ayat suci.
“Mak Kaeh, bolehkah saya berbicara?” Samsul meminta izin.
“Mau ngomong apa kamu?”
“Mak Kaeh, apa yang Mak lihat di foto itu tidaklah seperti itu kejadian yang sebenarnya.”
“Lalu?”
Kemudian, Hasan menjelaskan kronologi kejadian yang sebenarnya. Awalnya, dia saat itu sudah selesai mengerjakan soal ujian. Karena waktunya masih lama, maka dia berpura-pura mengerjakan soal. Namun, saat dia hendak mengumpulkan kertas ujian, tiba-tiba gadis itu menghadang dirinya. Dia sendiri tidak berkutik ketika gadis itu menempelkan tubuhnya. Saat itulah gadis itu menyambar kertas ujian dari tangan Samsul.
“Begitulah cerita sebenarnya, Mak Kaeh,” kata Samsul.
“Benar begitu?”
“Demi Allah, Mak Kaeh. Buat apa saya berbohong.”
“Baiklah. Tapi, tahukah kamu apa alasan Mak Kaeh melarangmu untuk mendekat dengan perempuan mana pun? Mak Kaeh tidak melarangmu jatuh cinta dengan perempuan mana pun. Mak Kaeh juga tidak mengekangmu untuk menikahi gadis mana pun,” suara Mak Kaeh jauh lebih lembut sekarang setelah mendengarkan penjelasan itu.
“Apa itu, Mak Kaeh?”
Lalu, Mak Kaeh menceritakan tentang masa lalunya. Saat beliau seusia Samsul, dia pernah jatuh cinta dengan seorang santriwati. Gadis itu sangat cantik dan menjadi idola semua santri laki-laki. Gadis itu tidak menolak santri laki mana pun kecuali Mak Kaeh. Dia sangat tidak suka kepada Mak Kaeh. Padahal, wajah Mak Kaeh tidak jelek. Tapi, meski gadis itu telah menolak cintanya, Mak Kaeh masih berharap bisa melamarnya. Bahkan, Mak Kaeh telah mempersiapkan diri untuk meminang gadis itu. Sayangnya, saat beliau hendak meminang gadis itu, justru gadis itu bertunangan dengan orang lain. Hati Mak Kaeh hancur berkeping-keping. Pikirannya juga kosong. Saat itulah timbul pikiran jahat yang tiba-tiba muncul dari kepalanya. Lantas Mak Kaeh pun melakukan kejahatan.
“Tapi, Gusti Allah sangat sayang kepada Mak Kaeh. Allah mempertemukan Mak Kaeh dengan seseorang yang sangat bijak. Orang itu membimbing Mak Kaeh untuk mengenal Allah. Sejak itu, cara berpikir dan cara pandang Mak Kaeh kepada manusia dan dunia berbeda,” tutur Mak Kaeh menjelaskan.
***
“Mas Samsul!” Gadis berambut panjang itu menyapa Samsul.
Hasan terpaku. Dia mencoba mengingat-ngingat gadis itu.
“Siapa kamu?”
“Ya Allah, masak Mas Samsul lupa?”
“Aku Mila. Nikmatul Millah.”
“Nikmatul Millah?”
“Iya. Dulu, kakeknya Mas Samsul pernah menolong mobil ayah yang bannya masuk ke jalan yang berlubang. Meski hujan dan usia yang sudah tidak muda, tapi kakek Mas Samsul tetap peduli untuk menolong sesama manusia,” gadis itu mencoba mencongkel ingatan Samsul.
Setelah itu Samsul baru ingat bahwa dulu dia dan kakeknya pernah menolong seorang bapak-bapak yang ban mobilnya terjebak dalam lubang jalan sehingga mereka berdua harus mengangkatnya. Mak Kaeh menggunakan tali tambang yang diikatkan pada ban depan dan ban belakang. Lalu, dia menyuruh orang itu agar menghidupkan mesin mobilnya dan ternyata berhasil.
“O … kamu anaknya Pak Abbas.?”
Samsul sudah ingat nama ayah gadis itu.
“Nama saya Abbas, Pak Tua,” kata ayah gadis itu dulu pada Mak Kaeh.
“Apa kabar, Mas?”
“Baik.”
“Maaf ya Mas, aku terpaksa merampas kertas jawaban soalmu saat ujian tempo hari. Aku khilaf.”
“Tidak apa-apa.”
“Soalnya, jika aku tidak lulus ujian masuk kampus, maka ayahku akan menikahkan aku dengan anak sahabatnya yang tidak aku kenal. Jadi, tidak pilihan lagi selain merampas kertas ujianmu. Sekali lagi saya minta maaf.”
Sepulang dari kuliah, Samsul mengajak gadis itu ke rumahnya untuk menemui Mak Kaeh agar kesalahpahaman ini semakin terang-benderang. Gadis itu pun menceritakan masalah yang sedang dia hadapi pada orangtua itu.
“Apakah kamu mau jika saya nikahkan dengan cucu saya?”Mak Kaeh berceletuk.
Gadis itu tidak menjawabnya malah tersenyum dengan pipi merona merah. [T]
Penulis: Khairul A. El Maliky
Editor: Made Adnyana Ole