SEBUAH lagu reggae dari King Masmus itu terdengar di meja DJ sedang diremix oleh 444 Kaum dalam acara “Ceng-Cet Riddim” yang diagendakan oleh Kolektif Gegap Gemilang di Kedai Kopi DeKakiang, Minggu, 20 April 2025.
420 adalah kode Hari Ganja Internasional. 4 (empat) diambil dari bulan April dan 20 diambil dari tanggal di bulan itu. Ada banyak versi yang dikaitkan dengan angka 420—yang konotasinya merujuk pada tokoh politik, lagu, dan atau penggunanaan cannabis sativa tadi.
Semisal, ada yang mengatakan jika 420 adalah diambil dari tanggal kelahirannya Adolf Hitler. Ada juga yang mengaitkannya dengan lagu Bob Dylan berjudul “Rainy Day Women #12 & 35”, yang mana jika 12 dikalikan dengan 5 akan menghasilkan 420.
Tapi yang lebih populer secara cerita, juga mendekati, kode 420 itu di dasari oleh kisah Geng Waldos yang beranggotakan 5 orang remaja dari SMA San Rafael di California pada kisaran tahun 1971. Kelima remaja itu adalah Steve Rafel, Dave Reddix, Jaffrey Noel, Larry Schwartz, dan Mark Gravich.

Suasana pada Acara “Ceng-Cet Riddim” di Kedai Kopi DeKakiang, Singaraja-Bali | Foto: tatkala.co/Son
Untuk menghisap ganja atawa nyimeng itu, 420 diambil dari jam 16.20 sore, sebagai waktu berkumpul mereka. Kelimanya bertemu di sebuah patung ahli mikrobiologi Prancis Louis Pasteur sepulang sekolah. Kebiasaannya menghisap mariyuana di patung itu, berawal ketika suatu waktu mereka mendengar kabar ada ladang ganja terbengkalai di Point Reyes milik seorang penjaga pantai.
Dan akhirnya sebuah petualangan mencari kebun itu pun direncanakan mereka. Sebelum pergi, menghisap ganja seperti sudah menjadi ritual yang menyenangkan. Pencarian kebun itu tak pernah sukses walaupun sudah berminggu-mingu dilakukan.
Tapi kebiasaan mereka bertemu di patung di jam yang sama, masih terus dilakukan hanya untuk menghisap daun itu. Alhasil, kode 420 dikenali sebagai waktu yang asik untuk nyimeng. Dan bagaimana kode itu hingga merebak ke seluruh dunia—hingga saat ini, adalah berkat kakak dari Dave ketika mengenalkannya ke Phil Lesh, yaitu basis Grateful Dead.
Dan Band itu kemudian menggunakan 420—sebagai kode ajakan nyimeng berjama’ah kepada penggemarnya di seantero dunia. Kabar 420 itu akhirnya menyeruak lebih serius, setelah salah satu wartawan dari majalah AS High Times tahu dan menyiarkannya lebih luas lagu dalam bentuk berita. Hingga kemudian meresmikan 20 April sebagai Hari Ganja Internasional.

Acara “Ceng-Cet Riddim” di Kedai Kopi DeKakiang, Singaraja-Bali | Foto: tatkala.co/Son
Dan Putu Mahardika sebagai ketua pelaksana acara “Ceng-Cet Riddim” di Kedai Kopi DeKakiang itu, menjelaskan akhirnya 4:20 identik dengan waktu sore-sore nyimeng ganja. Tapi dalam acara “Ceng-Cet Riddim” yang digagasnya itu—jangan salah—bukanlah acara untuk nyimeng.Tetapi hanya sekadar menikmati musik reggaenya saja di waktu sore.
“Menggunakan jam 4:20 sore itu sebenarnya hanya untuk gimmick saja, kami rayainnya dengan musik reggae yang dimixing DJ, ya, untuk chill saja,” kata Putu Mahardika yang di acara itu juga ia menjajakan beberapa botol arak dan menyediakan beberapa jajanan gratis.
Alternatif—Kreatif
Dan penampil dalam acara itu tidak hanya datang dari 444 Kaum, tetapi juga ada Nend, Ekaput, Irama Utara, dan Devs menjadi penampil pada malam itu. Mereka dari Buleleng. Acara ini dimulai pada kisaran jam 5 sorean dari yang direncanakan di jam 4:20 itu, diulur karena ditimpa hujan. Tidak apa, katanya. Musik terus berlanjut dimulai setelah hujan reda.

Acara “Ceng-Cet Riddim” di Kedai Kopi DeKakiang, Singaraja-Bali | Foto: Saka
Di meja DJ yang di depannya beberapa orang sedang berjoget, terbentang bendera Jamaica di meja itu. Dan beberapa orang itu terus berjoget seakan mengikuti tempo musiknya yang slow, menikmati lagu Vegan Vegetarian yang di mixing dj itu seakan sedang terbang—alias fly. Ya, arak membuatnya mabuk. Dan musik dj itu agaknya berhasil membuat siapa saja yang hadir dan larut kedalamnya—enjoy.
Acara merayakan 4:20 semacam ini sepoertinya baru kali pertama dilakukan oleh Kolektif Gegap Gemilang. Antusiasme orang-orang untuk hadir mendengarkan lagu reggae dengan space kedai yang sejuk di bawah pohon mangga rindang daun-daunnya itu, membuat suasana pengunjung terasa intim dan betul-betul dirasakan tambah chill ketika musik diperdengarkan.
Orang-orang hadir memesan kopi, lalu duduk. Orang-orang saling duduk berhadapan dengan teman sebaya atau pacarnya masing-masing. Mereka mengobrol sambil sesekali meliukan tubuhnya. Sebagaimana genre reaggae dengan rhythm musiknya yang khas, yang mendamaikan dan menjogetkan bahu seseorang.
“Ya, ini untuk mempertemukan orang-orang untuk bertemu dan ngobrol juga sih,” kata Putu Mahardika.

Acara “Ceng-Cet Riddim” di Kedai Kopi DeKakiang, Singaraja-Bali | Foto: tatkala.co/Son
Musik asal Pulau Karibia, Jamaika, ini dapat dibilang banyak pemianatnya bukan hanya karena musiknya yang enak didengar, tetapi wacana kedamaiannya juga terasa menyecap di jiwa. Musiknya bisa dinikmati secara musik dan liriknya. Hal itu bisa dilihat dari makna mendalam dari warna benderanya, seperti warna hijau, emas, dan hitam.
Negara ini barangkali satu-satunya negara yang tidak mengandalkan warna merah untuk mempresentasikan jiwa semangat dan optimis. Warna hitam dilambangkan sebagai kekuatan dan kreativitas rakyat Jamaika, sedang emas melambangkan sinar matahari dan kekayaan alam, dan warna hijau melambangkan harapan dan kekayaan pertanian mereka.
“Ganja itu kan tumbuhan. Banyak pula manfaatnya, tapi karena dilarang di negara kita, alternatifnya kita gunakan arak atau kopi untuk enjoy, yang penting sensasinya adalah reggae, kedamaian,” kata Putu Mahardika.
“Tidak lebih dari itu, hanya untuk chill. Acara ini betul-betul hanya sekadar untuk mendengar musik, dan bagaimana orang-orang datang dan mengobrol. Itu saja.” lanjut lelaki itu di sela gulung kabel selesai acara.

Acara “Ceng-Cet Riddim” di Kedai Kopi DeKakiang, Singaraja-Bali | Foto: Saka
Bagi Kolektif Gegap Gemilang, acara semacam itu pula dijadikannya sebagai bentuk latihan diri membuat event kreatif tanpa mesti menyentuh pelanggaran hukum. Dan mencari alternatif adalah kreatif.
Kolektif ini baru dibentuk oleh Putu Mahardika sendiri. Dan tidak hanya untuk menyoal acara reggae dalam merayakan 4:20—kecil-kecilan, katanya. Kolektif atau komunitas ini juga membuka diri untuk kolaborasi dengan komunitas lain dalam hal membuat event yang lain, semacam menjadi Event Organization (EO). [T]
Repoter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: