TIDAK banyak Lembaga Non Pemerintah (NGO : Non Government Organization) yang peduli pada dunia pendidikan. Di antara yang tidak banyak itu, Plan International Indonesia (selanjutnya disebut Plan) adalah salah satunya.
Plan menjadi inisiator dalam Pendidikan Pencegahan dan Penanggulangan Kebencanaan di Indonesia menyasar sekolah-sekolah di bawah Pemerintah Daerah Provinsi. Dua Provinsi yang dijadikan pilot project oleh Plan adalah Provinsi Bali dan DIY.
Di dua provinsi ini, Plan memiliki masing-masing 100 sekolah binaan sebagai Pilot Project yang diberi nama Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

Suasana Workshop Penyusunan Suplemen Modul Ajar Kebencanaan bersama Plan International Indonesia di Four Star by Trans Hotel Renon Denpasar | Foto : I Nyoman Tingkat
Menarik juga dicermati pilihan Plan terhadap sekolah di Provinsi Bali dan Yogyakarta.
Pertama, kedua provinsi ini memiliki kesamaan secara kultural dan kuat memegang kearifan lokal untuk urip-nguripi. Memahayu Hayuning Bawono di DIY identik dengan ritual Mapahayu Jagat dengan tradisi mapelem di Bali.
Kedua, baik Bali maupun DIY memiliki keistimewaan secara historis. Bali yang dulu disebut Provinsi Sunda Kecil adalah reprensentasi dari Jawa Kecil karena memang pulaunya kecil bin mungil. Oleh karena itu tradisi Sugian Jawa dipersepsikan sebagai pembersihan terhadap alam makrokosmos (buana agung), dan Sugian Bali dipandang sebagai pembersihan alam mikrokosmos (buana alit). Sementara itu, keistimewaan DIY bukan saja nama provinsinya istimewa karena pernah menjadi ibu kota Negara masa Revolusi Kemerdekaan, melainkan juga keistimewaan lain (orangnya, budayanya, kotanya) hingga kini melekat dan layak dipertahankan sebagai bentuk penghormatan.
Ketiga, baik DIY maupun Bali kental dengan daerah tujuan pariwisata. Barang siapa yang pernah menginjakkan kaki di Yogyakarta, selalu rindu untuk kembali. Begitu, juga dengan Bali. Siapa pun yang pernah ke Bali, selalu rindu kembali ke Bali. Dewata memanggilnya kembali. Tidak berlebihan bila Guruh Sukarno Putra memikat dengan lagu, “Kembalikan Baliku”.
Oleh karena pendidikan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah SMA, SMK, dan SLB, maka ketiga jenis satuan Pendidikan itu pun disasar secara proporsional dan profesional. Secara proporsional artinya sekolah yang disasar sesuai dengan jumlah secara berimbang sehingga sebaran 100 sekolah pilot project itu merata antara SMA, SMK, dan SLB.
Proporsi itu sesuai dengan prinsif pendidikan yang inklusif, merata, setara, demokrasi dan nondiskrimasi. Secara profesional artinya dalam mengeksplorasi materi kebencanaan Plan menggandeng ahli sekaligus praktisi di bidang kurikulum dan pembelajaran sehingga berterima bagi guru sekaligus dapat diaplikasikan di kelas.
Kesan itu saya rasakan ketika mengikuti Workshop Penyusunan Modul Ajar yang diinisiasi Plan selama dua hari (14 -15 April 2025) di Four Star by Trans Hotel Jalan Raya Puputan Renon Denpasar. Plan menghadirkan Dyah Tri Palupi dari Analis Kebijakan Disdikpora Yogyakarta dengan latar belakang pengalaman di Pusat Kurikulum selama puluhan tahun. Pengalaman itu membuat Dyah Tri Palupi lihai menempelkan materi kebencanaan dalam setiap mata pelajaran, baik dilakukan secara intrakurikuler (terintegrasi dalam mata pelajaran), kokurikuler (penguatan kegiatan intrakurikuler), maupun secara terpisah dalam kegiatan ekstrakurikuler (di luar mata pelajaran secara terpisah).


Suasana Workshop Penyusunan Suplemen Modul Ajar Kebencanaan bersama Plan International Indonesia di Four Star by Trans Hotel Renon Denpasar | Foto : I Nyoman Tingkat
Dengan pengalaman Menyusun Suplemen Modul Ajar Kebencanaan DIY, Dyah Tri Palupi lihai membawakan materi seperti penari yang lincah bergerak dari topik ke topik. Laksana penari yang bergerak dengan pergantian gerak yang lihai tidak terasa berubah gerak dengan irama musik yang memukau. Memang begitu seharusnya guru mengajar karena semua guru pada hakikatnya adalah seniman. Namun, “Di dunia nyata apa yang terjadi, buah semangka berdaun sirih,” kata Broeri Marantika dalam lagu berjudul, “Aku Begini, Kau Begitu”.
Begitu pula, dengan dunia keguruan kita hari ini. ‘Tidak semua guru mampu menjadi seniman dalam pembelajaran karena tipe kelahiran guru yang bermacam-macam. Ada yang lahir alami karena panggilan jiwa, ada yang lahir karena tiada pilihan, ada pula karena motif ekonomi semata. Lalu, ada pula yang lahir secara caesar sehingga hari lahirnya pun direkayasa. Bahkan kadang-kadang dengan hari dan tanggal istimewa. Begitulah, kompleksitas dunia pendidikan dari dulu hingga kini tidak banyak berubah.
Mengikuti kegiatan Penyusunan Modul Ajar selama dua hari bersama Plan saya mendapat wawasan baru. Setiap guru apapun mata pelajaran yang diampu, dapat menyelipkan materi kebencanaan dalam mata pelajaran masing-masing secara kontekstual baik sebagai bahan apersepsi maupun bahan ice breaking. Ini tentu saja bergantung pada kejelian dan kepekaan guru memanfaatkan isu kebencanaann terkini. Ini diperlukan guru yang literat dan mampu mengeksplorasi materi pembelajaran dengan isu terkini, seperti gempa Myanmar dan Thailand, pada Jumat, 28 Maret 2025.
Dalam Mata Pelajaran Geografi misalnya, muatan suplemen kebencanaan SMA selain memang menjadi topik substansi dalam Kurikulum, guru dapat menambahkan isu terkini kebencanaan sehingga materi yang tertera di buku teks wajib tetap terasa baru dengan situasi kebencanaan terkini, entah itu banjir, tanah longor, angin puting beliung baik dalam skala lokal, regional, maupun global. Dengan demikian, substansi pembelajaran menjadi meluas dan mendalam sesuai dengan semangat deef learning.
Tidak hanya Mata Pelajaran Geografi dengan gurunya yang dapat berkontribusi dalam mengembangkan suplemen modul ajar kebencanaan, tetapi juga Mata Pelajaran Bahasa (Indonesia, Inggris, Jepang, Daerah) sangat mungkin mengembangkan melalui beragam teks (narasi, eksposisi, narasi).
Pilihan teks menempatkan pembelajaran bahasa berorientasi pada wacana yang berkembang dalam konteks kekinian dan kedisinian yang oleh ahli linguistik menyebutnya, here and now. Dengan begitu, pembelajaran tetap membumi di tangan guru yang kreatif, inovatif merespon wacana kebencanaan yang sedang hangat. Efek pengiring dari pilihan itu adalah terbangunnya rasa simpati dan empati kepada korban dan tidak tertutup kemungkinan munculnya ide membuka dompet duka kepada korban bencana.
Jika itu sampai terjadi, guru telah membelajarkan murid sampai pada tahap hubungan kemanusiaan universal sebagai warga dunia, selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Hanya guru yang cinta belajar dapat mengganti jam kesedihan dengan jam kesenangan, sebagaimana diletupkan oleh Montesquio.

Dyah Tri Palupi dari Disdikpora DIY memandu kegiatan penyusunan Suplemen Modul Ajar Kebencanaan | Foto : I Nyoman Tingkat
Indonesia yang kaya raya juga memiliki potensi besar bencana yang tidak pernah terduga memang perlu menyiapkan diri mengantisipasinya. Sebagai mana dipaparkan oleh Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Bali, IBG Widnyana Putra, “Bencana datang tanpa peringatan, tetapi kesiapan adalah yang terbaik untuk melindungi kehidupan”.
Ditambahkan pula, hasil survey Rajib Shaw (2012) di Kobe City, Jepang sebanyak 97 % korban selamat dari bencana karena penyelamatan diri berbasis komunitas. Oleh karena itu, komunitas lebih-lebih di sekolah sangat perlu diberikan pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana. Bencana dikenali untuk antisipasi penyelamatan.
Terkait dengan itulah, Gubernur Bali mengeluarkan Keputusan Nomor 434/04-G/HK/2021 menetapkan setiap tanggal 26 sebagai Hari Simulasi Bencana Provinsi Bali.
Dengan regulasi itu, kehadiran Plan mengedukasi sekolah-sekolah di Bali melalui Program SPAB berjalan seiring dan sejalur dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Bali. Itu juga sesuai dengan prinsif bahwa bencana itu tanggung jawab bersama dalam penyelamatan terlebih pasca bencana yang meninggalkan trauma secara psikhis perlu dukungan kolaboratif saling menguatkan, seperti harapan Ketua Sekber SPAB Provinsi Bali, A.A. Bagus Suryawan, A.P., MAP.
Bersyukurlah, Provinsi Bali menjadi pilihan Plan dalam mengedukasi warga sekolah agar terhindar dari bahaya bencana yang tidak terduga. “Sedia payung sebelum hujan” adalah pesan yang kontekstual segala zaman dan relevan dalam penguatan komunitas sekolah mengantisipasi bencana. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT