Senja hari Rabu, tanggal 16 April 2025, perempatan agung di Ibu Kota Kabupaten Gianyar, tepatnya di sisi barat alun-alun kota, orang-orang mulai berdatangan untuk menyaksikan perhelatan akbar tahunan di kota seni itu. Wimbakara Baleganjur Remaja Kabupaten Gianyar, dalam rangka HUT Kota Gianyar yang ke 254 tahun 2025, sesuai jadwal di gelar tepat pada jam 7 malam.
Menurut informasi yang saya dapat, para kontingen dari masing-masing kecamatan (ada 7 Kecamatan) sudah mulai proses persiapan dari jam 2 siang. Semuanya berkumpul di area panggung Balai Budaya lantai dua yang sebenarnya tidak cukup untuk menampung ratusan orang (peserta dan crew) dengan segala atribut yang dibawa. Tapi semuanya bisa berjalan lancar karena seniman-seniman Bali memang sudah biasa tidak disediakan tempat yang nyaman (green room standar) untuk pre-concert preparation (persiapan sebelum pentas red.).
Dilansir dari sumber Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar, kegiatan Wimbakara ini adalah “upaya memberikan wahana dan ruang aktualisasi seni kepada masyarakat untuk melaksanakan pengembangan kesenian tradisional.” Misi ini kemudian di turunkan menjadi tolak ukur penilaian yang difokuskan pada bentuk garapan Baleganjur. Dari sini, kemudian dituangkan dalam kriteria penilaian lomba Baleganjur di Gianyar ini, yang pada intinya berbunyi:
“Garapan Baleganjur yang telah dikembangkan (dikreasikan) dari tradisi Baleganjur yang dimiliki daerah masing-masing, variasi dan atraksi yang disesuaikan dengan tema dan judul garapan yang mencerminkan garapan baleganjur tingkat remaja. Sentuhan inovasi menjadi tolak ukur kreativitas, pola struktur lagu dikemas menjadi satu kesatuan yang utuh tidak dipisahkan” (Sumber Kriteria Wimbakara Baleganjur Remaja Kabupaten Gianyar 2025).
Kata kunci yang didapat dari kutipan tersebut adalah “dikembangkan/dikreasikan,” Inovasi,” dan “Kreativitas,” tiga hal pada ranah intelektual yang memang menjadi penentu keberhasilan pencapaian sebuah produk baru (khususnya di Seni Pertunjukan). Sayangnya, upaya memberikan wahana dan ruang aktualisasi ini menjadi terkendala karena minimnya kegiatan pembinaan dari Dinas Kebudayaan bersama Majelis Kebudayaan Bali tingkat Kabupaten yang menyasar pada ranah intelektual. Pembinaan ke masing-masing Kecamatan dilaksanakan terasa semata-mata untuk melihat kesiapan tampil dari masing-masing peserta.
Berdasarkan pengamatan saya di beberapa pembinaan tersebut, walaupun ada usaha untuk memberikan masukan pada tataran intelektual, namun belum berani secara tegas menjelaskan sejauh mana batas pengembangan/kreasi, inovasi, dan kreativitas bisa dilakukan. Saya kira, ini mungkin saja merupakan dampak dari ketidaktegasan butir-butir yang tertuang pada kriteria Wimbakara tersebut atau [mungkin] Tim Pembina Kabupaten yang belum begitu mengetahui perkembangan musik gamelan Bali (khususnya Baleganjur) di jaman sekarang? Mudah-mudahan itu hanya terkaan saya saja, karena tim pembina seharusnya terdiri dari orang-orang yang kredibel dan memiliki pengalaman berkomposisi pada bidang yang dilombakan.
Sore itu, saya sudah bersiap dari rumah jam 6 sore untuk bisa sampai di Alun-alun kota Gianyar sebelum jam 7, dan bisa menyaksikan perhelatan lomba yang dipakai sebagai ajang seleksi duta Gianyar pada PKB 2026 ini. Tiba-tiba saya mendapatkan pesan di WhatsApp yang menyatakan bahwa secara mendadak, acara Wimbakara dimajukan 30 menit (rencananya mulai jam 7 malam, tapi diputuskan untuk dimulai jam 6:30 malam).
Saya tidak menanyakan alasannya apa, tetapi sudah pasti saya tidak akan bisa menyaksikan perhelatan lomba ini sedari awal. Dan sudah pasti mencari tempat untuk parkir akan sulit karena penonton dari masing-masing Kecamatan sudah pasti akan memenuhi area inti dari kota Gianyar. Untung saja semua peserta sudah ada di lokasi dari siang harinya, jadi walaupun dimajukan 30 menit, tidak akan menjadi masalah besar bagi para peserta dan juga tata Kelola perhelatan ini.

Wimbakara Baleganjur Remaja Kabupaten Gianyar 2025
Benar saja, sesampainya saya di alun-alun, situasi sangat ramai dan mencari parkir pun sulit. Alhasil saya baru bisa menonton pertunjukan pada saat nomer undi 3 (Duta Kecamatan Gianyar) sudah tampil di panggung. Pandangan ke paggung juga sangat sulit karena penonton kebanyakan berdiri pada sisi utara panggung, dan tepat di tengah-tengah, ada tenda FOH (front of house) yang malam itu juga difungsikan sebagai tenda untuk para juri.
Nah berbicara tentang Juri, saya terkejut Ketika mengetahui siapa-siapa saja yang dinobatkan sebagai juri pada lomba kali ini. Terlepas dari siapa yang terpilih sebagai juri, sebenarnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan juri.
Pertama, seorang juri itu adalah seorang estetikawan yang bertugas untuk mengukur dan mengapresiasi sebuah karya seni, lalu memberikan penilaian berupa angka. Pada ranah ini, seorang juri menanyakan apa yang membuat karya ini menjadi karya seni, apa hal yang membuat karya seni ini bisa disebut “indah”? apa hal yang memungkinkan suatu karya bisa dikatakan indah dalam perspektif estetika tertentu? berapa “nilai” keindahannya, bila dibandingkan dengan karya-karya lainnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian diwujudkan kedalam form penilaian yang nantinya bisa dipertanggungjawabkan dengan baik secara sadar.
Kedua, seorang juri harus mengerti teknik pembuatan Karya Seni. Dalam konteks ini, seorang juri biasanya sudah memiliki pengalaman dalam penciptaan karya seni yang sesuai dengan bidang yang dia nilai. Juri harus mengetahui banyak metode atau rumus teknik yang dimiliki oleh komposer-komposer yang ada di dunia (tidak hanya di daerah kelahirannya saja). Jadi idealnya, juri itu tau membuat komposisi dengan metode komposer A – Z . Dan idealnya pula, seorang juri tidak bisa memberikan pernyataan bahwa suatu karya itu bagus atau tidak bagus, menjadi juara atau tidak, hanya didasarkan pada suka dan tidak suka, atau hal-hal abstrak lainnya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara sadar.
Ketiga, seorang Juri harus mampu memberikan pernyataan Observasional. Pernyataan ini didapatkan dari hasil observasi secara holistik terhadap variable dan indikator yang dipersiapkan untuk melakukan penilaian. Jadi, pernyataan observasional merupakan sebuah kesimpulan yang didasarkan pada penelitian dan pengkajian dengan perspektif multidisiplin yang dimiliki seorang juri.
Dan yang terakhir, keempat, adalah bersedia/membuka diri untuk dialektika. Juri harus bersedia untuk berdiskusi, dan bahkan berdebat dengan juri lain (juga peserta). Dalam konteks ini, juri harus menyadari bahwa ada berbegai macam pandangan estetis, ada berbagai macam perspektif dalam melihat sebuah karya, dan ada banyak kemungkinan yang bisa menyatakan sebuah karya itu memiliki bobot/nilai. Bukan hanya mengandalkan selera, suka/tidak suka, enak/tidak enak, senang/tidak senang. Tahap pertama yang diperlukan adalah taraf intelektual, yaitu mengerti atau tidak mengerti. Karena sering kali seorang juri akan menganggap karya itu tidak baik karena dia tidak mengerti dengan metode penciptaannya, dengan elemen-elemen yang dipakai didalamnya, dan dengan estetika yang disuguhkan. Kemudian secara sepihak (menurut seleranya) menyatakan bahwa dia tidak suka karena tidak dirasakan enak. Janganlah menjadi seorang juri jika masih membawa seleranya dalam konteks penilaian yang bersifat professional.
Mudah-mudahan keempat point tersebut dijadikan tolak ukur dalam pemilihan juri pada Wimbakara Baleganjur Kabupaten Gianyar pada tgl 16 April 2025 kemarin. Dengan perhelatan yang bisa dibilang bergengsi seperti ini, kredibilitas juri betul-betul diuji. Lebih-lebih, hasil dari penilaiannya akan dipakai sebagai pedoman untuk penentuan duta Kabupaten Gianyar pada ajang Wimbakara di Pesta Kesenian Bali tahun 2026 mendatang. Bagi sebagain besar dari peserta dari masing-masing Kecamatan, menjadi juara pertama adalah target yang harus dicapai. Persiapan Latihan sudah pasti dilaksanakan secara rutin dan intens. Support dari semua lapisan masyarakat sudah pasti menjadi pondasi perjalanan menuju Jayanti. Disinilah kredibilitas juri dipertaruhkan: tidak hanya sekedar menilai dengan pertimbangan selera semata atau berdasarkan apa yang diketahui dan apa yang disukainya.
Dari pengamatan yang saya lakukan selama ini, ada satu Kecamatan yang memang dengan tekun bergulat pada ranah pengembangan/kreasi, inovasi, dan kreativitas—tiga pilar inti yang tertera dalam kriteria lomba. Duta Kecamatan Ubud kali ini, Desa Kedewatan, secara tegas mengusung tema pengembangan-inovasi-kreativitas. Komposer mendapat dukungan penuh dari penabuh dan juga seluruh lapisan masyarakatnya. Tidak dipungkiri bahwa Ubud memang dari dulu terkenal dengan inovasi di segala bidang, dan memang sering melahirkan seniman-seniman yang memiliki ciri khas (authenticity) dan kebaruan (novelty). Terlepas dari tingkat intelektualitas para juri dan penonton dalam ruang apresiasi pada saat lomba, Ubud sedari awal memang sudah tidak mematok target juara. Ini sejalan dengan misi utama pada Wimbakara yang mengusung misi “memberikan wahana dan ruang aktualisasi seni” kepada komposer dan seniman Ubud untuk berkreasi, berinovasi, dan berkreativitas seluas-luasnya.

Ulun Pangkung, Duta Kecamatan Ubud
Duta kecamatan Ubud ini membuka paradigma baru dalam musik Baleganjur dengan tetap menggunakan teknik-teknik permainan dasar yang melekat pada tradisi Baleganjur itu sendiri. Dengan mengusung tema Ulun Pangkung, sebuah tafsir terhadap ruang kendali untuk memantik kesadaran kuasa terhadap tubuh—bagaimana diri kita (sebagai individu) memahami sifat ketubuhan yang dimiliki secara alami, segala bentuk inovasi musikal dituangkan pada lokus (Pangkung itu sendiri) dengan inti (Ulu[n]) perjalanan musikal yang ditata secara konseptual.
Dari hasil wawancara dengan Kadek Janurangga (komposer gending Baleganjur duta Kecamatan Ubud), didapatkan bahwa secara musikal, konsep Ulun Pangkung terimplementasi kedalam lima sub bagian komposisi, yang merupakan penggambaran proses perjalanan tubuh manusia menuju kesadaran diri. Bagian-bagian tersebut meliputi Ketimpangan, Kesadaran, Kendali, Kuasa dan Mempertanyakan.
Ketimpangan merupakan tafsir bentuk ketidakseimbangan yang terjadi dalam emosional manusia. Dalam konteks musikal, ketidakseimbangan dipandang sebagai sebuah kekuatan. Seperti halnya pola ikatan batu bata pada bangunan yang tersusun secara zig-zag memberi kekuatan tersendiri terhadap bangunan tersebut. Matra diatur secara pasti sehingga interelasi antar instrumen dirasa kuat dan saling mengikat. Dalam penerapannya, ketidakseimbangan diinterpretasi pada pengolahan ukuran dan sistem jalinan pada masing-masing instrument.
Kesadaran menjadi kunci dasar bagi manusia untuk memahami semesta pada tubuhnya. Sadar akan ketidakseimbangan justru menjadi penguat dalam diri. Sadar akan kuasa terhadap tubuh semakin membuat manusia terjaga dengan tubuhnya. Begitu juga terhadap ekosistem sekitarnya, manusia sebagai kendali atas kesadaran tersebut. Dalam kesadaran, terdapat penjagaan, kepedulian, kehati-hatian dan koneksi. Keadaan ini terproses melalui pengolahan divisi dengan merubah perasaan dari pola garap bagian sebelumnya. Diawali dengan memainkan pola garap kebyar yang mewakili makna pemantik kesadaran.
Kesadaran pada konteks musikal juga direpresentasikan kedalam pola permainan kajar yang difungsikan sebagai navigasi terhadap interaksi antar instrument. Pada salah satu bagian terdapat pengolahan geguletan kendang dengan divisi yang berlawanan dari instrument lain. Bukan hanya itu, pola garap kendang juga menghadirkan motivasi baru dalam penerapan jagul. Jagul merupakan interaksi yang dilakukan oleh sepasang pemain kedang. Menarik pemaknaan terhadap keadaan interaksi tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya interaksi lain yang melibatkan lebih dari dua elemen. Maka dari itu, karya Baleganjur ini menawarkan motivasi baru pada konteks jagul yang melibatkan lebih dari dua elemen, yaitu dua pasang kendang lanang wadon dan lima orang pemain ceng-ceng.
Kendali merupakan implementasi ketubuhan manusia yang memiliki kesadarannya masing-masing terhadap segala hal yang dikendalikan melalui pikiran. Pengendalian merupakan praktek menejemen aktif yang secara sadar dilakukan untuk memahami tubuh, baik tubuh secara fisik maupun tubuh secara jiwa. “kendali adalah bentuk nyata dalam merawat kesadaran.” Dalam koneksi musikal, hal ini tergambar pada pengkomposisian instrument kolotomik dalam perspektif pengolahan masa kini. Secara tradisi instrument kolotomik pada gamelan Bali seperti gong, kempur, kempli dan bende memiliki fungsi untuk mempertajam dan penanda ruas-ruas gending. Hal ini dijadikan sebagai motivasi awal penggarapan pola-pola baru dengan menetapkan instrument kolotomik sebagai pemegang kendali. Selain itu, Janurangga juga mengeksplorasi kendali lain yang coba diterjemahkan dengan merombak sistem orkestrasi baleganjur.

Ulun Pangkung, Duta Kecamatan Ubud
Setiap manusia memiliki kuasa terhadap tubuhnya. Berusaha memahami diri adalah salah satu bentuk kuasa terhadap tubuh. Melalui kendali terhadap kesadaran, manusia akan menguasai tubuhnya dalam menghadapi berbagai hal. Lantas apa perbedaannya dengan kendali? Kuasa adalah sebuah kendali yang tak nampak. Dalam kuasa terdapat “keterpengaruhan.” Kuasa juga dimaknai sebagai puncak kendali yang diperoleh setelah melalui proses kekacauan, pencarian kesadaran dan pemahaman terhadap diri. Kekuasaan yang terbentuk bukan hanya dalam dimensi eksternal, tetapi juga bagaimana ketika individu memahami dirinya setelah melewati fase-fase sebelumnya. Pada penerapan musikalitasnya setiap instrument memiliki kekuasaan terhadap ruang garapnya. Pergerakan kekuasaan tersebut dijabarkan pada perspektif manipulasi poliritme. Kompleksitas penggarapan ritme juga diolah dengan membentuk sel-sel yang dijadikan sebagai dasar pijakan komposisi.
Memilih adalah salah satu hal yang sering kali ingin dihindari manusia. Hanya saja memilih merupakan salah satu rangkaian proses dalam menuju tujuan hidup. Dalam kuasa tubuh, memilih untuk memiliki kuasa terhadap tubuh adalah jalan menemukan norma-norma ketubuhan. Setiap manusia punya tindakan dan pilihan terbaik bagi tubuhnya. Menghindari tubuh untuk dikuasai hal lain juga merupakan pilihan dalam menjaga norma-norma yang telah disadari. Sebagai manusia yang memiliki kesadaran, kendali, dan kuasa atas tubuh, sudah seharusnya mempertanyakan kembali apakah fase tersebut merupakan yatra (jalan) untuk menuju titik keharmonisan yang telah terbentuk? Atau justru hanya sebuah siklus yang akan kembali kedalam kekacauan setalah kuasa itu di dapatkan?
Deskripsi konseptual diatas menjadi dasar penciptaan gending Baleganjur Ulun Pangkung dengan semangat baru dalam kancah komposisi musik baru untuk gamelan Baleganjur. Ini bukan kali pertama duta Kecamatan Ubud melakukan gebrakan baru pada ranah musik baru untuk gamelan Baleganjur. Pada tahun 2022, Ubud sebagai duta Kabupaten Gianyar sudah pernah membuat penonton panggung Ardha Chandra terdiam: entah mereka bisa memahami dan menghayati, atau malah kebingungan akan tampilan yang tidak biasa tersebut.
Yang jelas, strategi paradigma baru tersebut terbilang sukses karena setelah pementasan di PKB tersebut, banyak pembicaraan tentang WoS (singkatan judul Baleganjur Wave of Spring) terjadi, dan komposer WoS sering kali di undang dalam seminar-seminar akademik untuk memaparkan konsep dan metode penciptaannya. Dunia akademik internasional pun menjadi tertarik terhadap segala bentuk kebaruan yang ditampilkan Wos. Walaupun tidak mendapatkan juara pada ajang Wimbakara Baleganjur PKB 2022, karya WoS sampai sekarang masih dibicarakan, dan dianalisis oleh peneliti-peneliti akademik karena otentisitas dan novelty yang terkandung didalamnya. Bukankah sebuah karya yang berhasil itu adalah karya yang mendapatkan apresiasi dan perhatian dari banyak pihak?
Layaknya makanan, setiap manusia memerlukan proses untuk bisa menikmati makanan asing/aneh yang dihidangkan kepada kita. Kita harus membuka diri dan berani mencoba makanan ‘aneh’ tersebut untuk bisa mengenali rasanya, dan akhirnya bisa memahami kenikmatannya. Begitupula pada musik-musik yang tidak biasa kita dengar (aneh), diperlukan proses pengenalan terhadap elemen-elemen musiknya sebelum bisa memahami rasa musikalnya.
Dalam apresiasi musik, ada tiga tingkatan apresiasi yang menjadi tolak ukur: sensorik, afektif, dan intelektual. Sensorik berhubungan dengan kategori enak atau tidak enak, dan merupakan tingkatan paling dangkal dalam mendengarkan musik. Afektif merupakan tingkat mendengarkan musik yang setingkat lebih tinggi dari mendengar secara sensorik. Tingkatan ini berhubungan dengan kategori suka atau tidak suka. Misalnya, orang bisa suka dengan musik yang tidak sepenuhnya enak didengar, atau sebaliknya. Tahap ketiga adalah mendengarkan musik secara mendalam atau mendengarkan secara intelektual. Ini berhubungan dengan kategori mengerti atau tidak mengerti. Misalnya orang yang memahami musik klasik, akan suka dengan musik klasik tersebut, dan bisa melihat enak atau indahnya musik klasik tersebut.
Dalam konteks tersebut, kebanyakan penonton di ajang lomba merupakan orang umum yang awam terhadap pemahaman tentang musik. Mereka umumnya masih berada pada tahap mendengarkan secara sensorik. Jadi jika musik itu bisa menyentuh sensor mereka, mereka akan merasakan enaknya musik yang dimainkan, dan biasanya, musik-musik yang sudah biasa didengarlah yang mempu memberikan sentuhan sensorik kepada penonton awam tersebut. Hal ini sah karena kewajiban penonton tidaklah memberikan penilaian terhadap karya seni yang ditampilkan. Namun akan sangat tidak layak jika seorang juri mengandalkan tahap sensorik dalam mendengarkan musik. Seorang juri, yang notabene seorang estetikawan dan menguasai bermacam metode penciptaan serta rumus-rumus teknik komposisi, seharusnya bisa memberikan apresiasi pada tingkat intelektual. Sehingga bobot penilaiannya menjadi terukur dan bisa berdialektika terhadap hasil penilaiannya.
Disisi lain, sudah menjadi kebiasaan bahwa faktor utama pada penilaian lomba Baleganjur adalah kualitas teknik penabuhnya. Yang dilihat biasanya: bagaimana kilitan ceng-cengnya? Bagaimana teknik pukulan kendang dan geguletannya? Ubit-ubitan reongnya bagaimana? Dan seterusnya. Keutuhan penampilan (apakah ada kesalahan yang dilakukan atau tidak?) dan suara gamelan juga dijadikan tolak ukur kedua setelah teknik permainan. Sehingga jarang sekali penilaian tersebut ditujukan pada ranah konseptual penciptaan karya. Sehingga konsep kekaryaan menjadi hal sekunder. Apakah hal ini terjadi karena kurangnya kemampuan para juri untuk menjangkau tatanan konseptual? Atau apakah tatanan konseptul itu tidak menjadi poin utama dalam penilaian? Kalau demikian, lebih baik dibuatkan kriteria khusus yang mengharuskan setiap peserta untuk memainkan satu komposisi yang sama (tidak perlu membuat komposisi baru) supaya bisa menilai dan membandingkan teknik permainan, penampilan, dan suara gamelan dari semua peserta dengan transparan (seperti halnya lomba bapang barong dan mekendang tunggal atau lomba-lomba sejenis lainnya).
Selain itu, “Nyebun” (lit. sarang, sebagai analogi bahwa semua penabuh berasal dari satu wilayah) menjadi salah satu kriteria pada Wimbakara tahun ini. Dijelaskan dalam kriteria bahwa, “Setiap kecamatan mengirimkan 1(satu) sekaa/sanggar/kemunitas/Yayasan seni Baleganjur sebunan di tingkat Desa (Kelurahan).” Gagasan ini muncul karena kebanyakan karya-karya yang lahir pada lomba di ajang PKB menjadi sulit untuk dimainkan kembali karena pamainnya tidak berasal dari satu daerah. Saya pernah mewawancarai salah satu kurator dan beliau menyatakan pentingnya sekaa gong yang mewakili lomba itu nyebun, karena karya yang dilatih berbulan-bulan tersebut bisa dimainkan kembali di masyarakat, terutama pada acara ritual keagamaan. Menurut saya hal ini memang penting kalau situasi di Desa yang mewakili memang memiliki pemain lengkap.
Bagaimana kalau Desa yang ditunjuk untuk mewakili kekurangan pemain yang bagus? Jelas ada dua cara: pertama melakukan pelatihan yang intensif untuk bisa mencetak pemain bagus supaya bisa memenuhi kriteria nyebun (langkah ini memerlukan proses Panjang), dan kedua adalah mencari pemain dari luar Desa yang bisa mengisi kekurangan pemain tersebut sesuai kualitas yang diinginkan (langkah ini tidak memerlukan proses panjang). Lebihnya lagi, kalau alasannya supaya gending bisa dipakai lagi setelah lomba dilaksanakan, saya kira itu alasan yang kurang relevan. Pertanyaannya: gending itu mau dimainkan dimana? Dalam konteks lomba Baleganjur, gending memang sengaja diciptakan untuk mengikuti ajang lomba. Sudah tentu, gending tersebut tidak akan relevan jika dipakai untuk mengiringi upacara melasti atau kegiatan ritual keagamaan dan adat lainnya. Jadi kriteria nyebun tersebut perlu dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria yang sifatnya mengikat.
Pada akhirnya, Wimbakara Baleganjur Remaja Kabupaten Gianyar merupakan ajang bergengsi bagi kalangan seniman di seluruh Gianyar. Kajian secara holistik sangat perlu untuk dilakukan guna menyempurnakan perhelatan akbar ini. Terlebih, Gianyar dijuluki sebagai kota seni. Sudah sepantasnya menjadi pusat pengembangan, inovasi, dan kreatifitas tanpa batas—seperti apa yang telah dilakukan oleh para seniman besar Gianyar pada masa lampau. Jangan hanya terikat pada pola-pola penyelenggaraan lomba terdahulu semata. Sudah saatnya untuk melakukan peremajaan disegala lini untuk bisa menghasilkan karya-karya baru yang melampaui jamannya (bukan lagi mengikuti jamannya). [T]
Ubud, 17 April 2025
Penulis: Wayan Sudirana
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain tentang BALEGANJUR