RENCANA BERMAIN
angin begitu liar
membentur tanah. di pusat bayang
langit menyalak
kilatan bunyi. dalam kebisuan
pohon-pohon tua menebar gelagat
lewat denting ranting dan tepuk daun-daun
di sepanjang jalan
jarum-jarum hujan merajut selimut
di bawahnya kesunyian
berkerumun serupa anak-anak
merencanakan permainan
menuju tempat-tempat rahasia
PADA NYALA SEBILAH PEDANG
siapakah perempuan itu. kepalanya terlepas
setelah sinar timur mengasah nyala
sebilah pedang
bunga-bunga putih doa-doa
bermekaran di atas
genangan darah
bukankah tuhan ada di mana saja
bahkan di tempat lembap dan lebam?
lelaki sehari lima kali
mendatangi tuhan
dengan mata dan telinga
basah
agar tanah hanya lumpur
bagi warna bunga-bunga, dan doa-doa
kuncup dalam diri
bukankah tuhan ada di mana saja
bahkan pada nyala sebilah pedang?
SEMBAHYANG ANGSA
bulu-bulu. angin menggenapi
bagian kosong langit
warna danau yang gagal
memberi aksen pada terbang
sepasang angsa
khusyuk bersidekap di atas sajadah
air. menunggu sujud sebelum tarian
kembali datang
dalam gerak duniawi
samadi lilin tanpa api
TAWAF KUPU-KUPU
tak ada arah bagi kupu-kupu
kiri atau kanan, tak terbaca
dalam mekar bunga
malam. mengamini lafaz-lafaz hujan
juga takbir bintang dan binatang
terbang kupu-kupu sampai
di kuning ruang, bilah-bilah luka
jadi batas gelap terang
tempat samadi
kembali fitrah kembali ke tanah
DI TERANG HARI ORANG MULAI BERTANYA
di terang hari
batu mimpi tertidur
di bawah selimut
sedimen laut
disingkaplah lingkar cangkang
tapi cangkang hanya menyimpan gema
ledakan bintang dalam fragmen debu
beribu tahun lalu
orang mulai bertanya
LAUT TENGAH HARI
tak ada kapal lain atau nelayan tersesat
dalam pelayaran.
laut, bagai benteng rebah dilapis cahaya
jutaan kupu-kupu menerbangkan perih
ke mataku
di belakang kapal, mekar sehampar
anyelir, meledakkan anyir
ikan-ikan. dilayarkan angin
ke tepi-tepi
LAUT SELALU MALAM DI MATANYA
tangannya tak lagi mampu mengurai hangat
di basah pasir. ia menyerahkan pelayaran
pada lingkar kemudi patah
berdiri ia menebak-nebak warna hari
dipalut kabut, tapi laut selalu malam
di matanya. merenungkan perjalanan
─ dari mimpi ke tanah tak nyata─
di pusat diam, guntur menyambar-nyambar
menghapus wujud nyata
dirinya, wujud nyata dunia
*
Penulis: Abed Ilyas
Editor: Adnyana Ole
- Baca PUISI LAIN dari penyair Indonesia