“Ya, beginilah hidup yang sesungguhnya, De, harus berjuang demi bisa makan dan menghidupi keluarga. Apapun pekerjaannya, gak boleh pilih-pilih, yang penting halal.”
Begitulah ucap Timbul Suheri, akrab disapa Pak Timbul. Ia merupakan salah satu pedagang di pasar loak Kreneng, berjualan sejak tahun 1983 sampai sekarang.
Pasar loak adalah surganya para pemburu barang unik dan antik. Di pasar loak Kreneng, berbagai macam barang masa lampau bisa ditemukan di sana. Tentunya, dengan harga yang terjangkau. Akan tetapi, tak semua barang di pasar loak itu berfungsi dengan baik. Ya, namanya saja barang bekas, jadi sudah pasti tidak seratus persen berkualitas. Kalaupun ada barang yang bagus, itu adalah keberuntungan.
Sebagian orang memaklumi hal tersebut, tak sedikit juga orang mencari barang loak hanya untuk memuaskan diri saja. Entah dijadikan barang pajangan, koleksi, ataupun hanya bernostalgia.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/dede-putra.-timbul2-1024x576.jpg)
Suasana pasar loak Kreneng | Foto: tatkala.co/Dede
Itulah yang terjadi di pasar loak Kreneng. Para pelapak di sana hanya berjualan setengah hari, karena memang pasar loak itu beroperasi dari pagi sampai jam 12 siang saja. Pasar loak Kreneng tidak pernah sepi, setiap hari selalu ramai, dan kebanyakan pembeli adalah laki-laki. Mereka membeli pakaian, elektronik, dan barang-barang lainnya. Di sanalah transaksi terjadi dan tawar-menawar berlangsung.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/dede-putra.-timbul3-1024x576.jpg)
Timbul Suheri | Foto: tatkala.co/Dede
Pasar loak ini terletak di Jalan Rampai, kawasan pasar Kreneng, Denpasar. Di sanalah perjumpaan pertama saya dengan Pak Timbul. Sebelum sampai di lapaknya, dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara keyboard (mirip seperti organ). karena penasaran, saya pun mencari sumber suara tersebut. Ternyata, itu berasal dari lapak Pak Timbul, ia asyik sendiri bermain keyboard sembari menanti pembeli.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/dede-putra.-timbul5-1024x576.jpg)
Timbul Suheri saat bermain keyboard | Foto: tatkala.co
Pria kelahiran tahun 1963, asal Banyuwangi ini memang gemar bermain keyboard. Selain gemar bermain musik, ia juga suka bercerita. Kala itu saya datang untuk membeli kaset pita, kebetulan di lapaknya ada banyak kaset pita dan beberapa CD. Sembari memilah dan memilih, kami pun saling berbagi cerita. Sepertinya Pak Timbul memang jarang dapat teman cerita. Jadi ketika diajak mengobrol, ceritanya langsung mengalir cair.
Ia mengaku merantau ke Bali pada tahun 1979, kemudian mulai berjualan loak sejak tahun 1983. Selain itu, ia juga nyambi bekerja sebagai kuli paruh waktu dan kerja serabutan. Ia bisa menyervis barang elektronik, mengurus kelistrikan, dan masih banyak lagi. Pak Timbul adalah orang yang serba bisa.
Diusianya yang tidak muda lagi, kini ia hanya berkutat dengan lapak loaknya yang buka hanya setengah hari. Setelah melapak, kesibukannya adalah mengurusi rumah tangga dan mengasuh satu cucu yang tinggal bersamanya.
Pak Timbul memiliki dua anak, satu kerja menjadi TKW di luar negeri, dan satu lagi kerja di salah satu perusahaan di Kuta. Ia memiliki dua cucu, tapi ia mengasuh satu cucunya saja. Ia menceritakan itu hanya selintas, sepertinya ia tidak mau cerita terlalu dalam tentang hal tersebut.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/dede-putra.-timbul6-1024x576.jpg)
Timbul Suheri melayani pembeli | Foto: tatkala.co/Dede
Berbagai barang loak yang ada dilapaknya datang dari berbagai agen dan beberapa temannya. Selain barang loak, ia juga menjual barang baru, seperti obeng, tang, kunci pas, dan segala macam perkakas bangunan dan listrik.
“Gak semuanya barang loak De, yang di depan ini barang baru semua. Saya ngambil di salah satu Toko di Jalan Buluh Indah, Denpasar. Saya sudah langganan sejak 2004 di sana,” ucapnya sembari menunjuk perkakas yang dijualnya.
Ia juga mengatakan, hasil dari jualan loak biasanya tidak menentu. Bahkan kadang kala minus, bisa melebihi pajak yang wajib ia bayar setiap harinya. Tetapi baginya, hasil jualan sejauh ini masih mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga, meski harus berhemat
Waktu terus bergulir dan cerita pun kian mengalir. Pak Timbul menceritakan, sebelum melapak di tempat yang sekarang, dahulu ia berjualan di tempat yang berbeda, dan dianggap liar oleh aparat, karena memakan bahu jalan. Kemudian pada tahun 2006, barulah pindah ke tempat yang sekarang.
“Dulu karena di pinggir jalan, kerjaan saya tiap hari bertengkar dengan tibum (Satpol PP). Tiada hari tanpa bertengkar, tapi sengotot apapun, tetap saja barang dagangan kita disita,” ungkapnya.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/dede-putra.-timbul7-1024x576.jpg)
Beberapa CD dan Kaset Pita di lapak Timbul Suheri | Foto: tatkala.co/Dede
Ketika lapaknya sedang sepi, Pak Timbul menunjukkan beberapa koleksi uang logam yang dibawanya. Kata Pak Timbul, zaman dulu uang 100 Rupiah itu bisa beli apa saja, nominal segitu sudah lumayan besar pada masa silam.
“Saya bukan kolektor, tapi memang dari dulu saya simpan uang-uang ini. Kalau ada kolektor yang mau meminang, ya silakan,” ujarnya sembari menunjukkan logam 100 Rupiah edisi tahun 1978.
“Zaman dulu ya De, naik bemo atau Chevrolet (taksi) dari Kreneng ke Sanur, hanya bayar 10 Rupiah saja. Kalau sekarang, mungkin naik taksi bisa 60 ribuan ke atas,” jelasnya meyakinkan.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/dede-putra.-timbul8-1024x576.jpg)
Beberapa koleksi uang logam milik Timbul Suheri | Foto: tatkala.co/Dede
Sebelum saya beranjak pergi dari lapaknya, ia memberikan berbagai tips dan trik menawar yang jitu.
“Kalau di pasar loak seperti ini, kita harus jago menawar, De. Sini saya kasih tahu,” katanya mengernyitkan dahi.
Saya pun mendekat, ia berbicara berbisik. Barangkali agar pelapak lain tidak mendengar.
Ini salah satu tips darinya, “kalau kamu dikasi harga tinggi, tawarlah seperempatnya De. Kalau gak dikasih, tinggal saja, nanti juga kamu dipanggil lagi, seperti ibu-ibu menawar baju, hahaha,” ujar Pak Timbul sembari tertawa.
Semua trik yang Pak Timbul berikan, saya coba terapkan di lapak yang lain. Alhasil, saya mendapatkan dua walkman hanya seharga 50 ribu Rupiah.
Ketika hendak pergi dari lapak Pak Timbul, saya mengambil kaset-kaset yang sudah saya beli. Tetapi dengan baik hati, ia memberikan saya bonus dua kaset. Ini bawa saja De, nanti kalau ada kaset lagi akan saya kabari,” ucapnya sembari menyodorkan kaset itu. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole