KALAU Anda sedang berada di daerah Baktiseraga, Kecamatan Buleleng—arah ke Litle Sunhsine Learning Centre, Singaraja—jangan lupa mampir ke Book Cafe Halaman Belakang, sebuah kafe yang unik untuk menghabiskan senja sendiri, bersama kekasih atau bersama keluarga.
Kafe Halaman Belakang merupakan cabang dari Rumah Momo, sebuah kafe dengan konsep yang sama di Renon, Denpasar. Sebelum Halaman Belakang, Rumah Momo juga me-launching Ruang Tamu dengan konsep yang tak jauh berbeda. Yang memiliki dua space nongkrong, di luar dan di dalam.
Di Halaman Belakang, bangunannya tampak seperti rumah impian, di pinggirnya ada sawah-sawah. Tapi juga tidak terlalu jauh dengan pemukiman warga atau perumahan. Udaranya juga tidak terlalu kotor. Ditambah tidak terlalu bising. Cocok untuk menepi. Cocok banget untuk menenangkan pikiran.
Padi-padi di sawah itu baru saja dipanen. Saya telat datang untuk melihat bagaimana padi berisi merunduk memberi hormat pada petani, atau melihat kemuliaan para petani memotong emasnya sendiri. Seperti kata penyair Isma Sawitri, “Yang emas adalah padi”
Selain dekat dengan alam yang membuat sejuk suasana, apalagi beberapa pohon cukup tinggi-tinggi, kafe Halaman Belakang itu terasa teduh. Hangat. Di beranda kafe itu, orang-orang bisa nongkrong dengan lanskap alam terbuka.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang1-1-1024x761.jpg)
Ubi cilembu di Book Cafe Halaman Belakang | Foto: tatkala.co/Son
Ubi Cilembu Cheese Brule (20K), menjadi teman suasana ngopi ketika rehat bekerja di waktu sore. Rasa madu alami dari ubi dengan timpalan lelehan keju terbakar di dalamnya, menjadikan rasanya lebih unik. Sementara memecahkan kerak gula yang tampak seperti karamel itu di lapisan pertamanya sebagai pengganti kulit, menjadi ritual tersendiri yang menyenangkan sebelum akan menemukan tekstur empuk itu pada seporsi ubi.
“Apalagi setelah seruput kopi, sedot rokok Djarum Coklat alias Jarcok (sengaja seperti menyebut Jancuk!) paslah,” kata Perhat, temanku dari Tasikmalaya ketika aku datang ke kafe itu, Rabu, 5 Feruari 2025.
Kami datang berdua. Kami memesan itu, dengan satu kopi Vietnam Drip (20 ribu) dan dia memesan Lemon Yogurt (23 ribu). Di sana, bukan hanya tempat untuk sekadar ngopi sambil ngemil, tetapi juga bisa sambil baca buku-buku komik atau novel, atau cerita lainnya. Tersedia banyak buku-buku di rak itu. Karena itulah kafe itu juga diberi nama Book Cafe Halaman Belakang.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang2-1024x576.jpg)
Buku dan lain-lain di meja makan | Foto: tatkala.co/Son
Seorang anak kecil baru saja masuk bersama ibunya, ayah, kakak, lengkap. Kafe itu benar-benar dipenuhi keluarga bahagia, Keluarga Cemara barangkali. Juga pasangan muda mudi terkasih.
Anak itu turun dari tempat duduknya, menghampiri satu rak berisikan benda-benda klasik seperti telepon dan radio masa lalu sebelum menggeser langkahnya ke rak-rak buku. Bocah itu kemudian mengambil satu buku komik, tapi saya tidak tahu betul apa judul komik yang diambil bocah itu.
Ia kembali menghampiri keluarganya sambil menenteng buku di tangan kanan. Sambil duduk dan membaca, terlihat anak itu merasa asik sendiri di kursinya menanti pesanan tiba.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang4-1024x770.jpg)
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang5-1024x770.jpg)
Pemandangan orang, pemandangan buku | Foto: tatkala.co/Son
Di ruang utama, memang, terdapat satu buah rak buku cukup panjang. Bertumpuk, dan terjejer apik buku-buku itu di tata selain ramah anak ruangannya. Lebih menarik, sebelum orang-orang memilih buku bacaannya, atau memilih tempat duduk ternyaman.
Seorang penyair melalui puisinya menyambut mereka romantis di sebuah tembok dekat sofa empuk dengan judul “Hujan Bulan Juni” :
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak adayang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Meninggalkan Jejak (air)—Seni
Puisi itu milik mendiang Sapardi Djoko Damono, penyair tersohor republik ini. Saya membayangkan, jika di satu tembok yang lain juga mestilah ditulis puisi dari Eang Sapardi dengan judul “Di Restoran” (1989), agaknya, tambah puitik. Begini kirak-kira sajak itu jika dituliskan :
Kita berdua saja, duduk
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput
Kau entah memesan apa
Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras
Kau entah memean apa
Tapi kita berdua saja, duduk
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu
Bayangkan jika puisi “Di Restoran” itu juga ditulis di tembok berbeda. Doi siapa yang tidak basah hatinya? Atau hati siapa yang tak jadi lembut setelah rengas hendak memutuskan kekasihnya karena belum mapan? Atau belum di wisuda.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang6-1024x770.jpg)
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang7-1024x770.jpg)
Orang-orang santai di Book Cafe | Foto: tatkala.co/Son
Seorang teman menimpali, sebelum pulang, kata Bang Perhat. “Jangan lupa masuk ke toilet kafe ini. Tinggalkan kencing, sebagai tanda bahwa kamu pernah ada di tempat ini. Kencing adalah (air) seni.”
Kami memang hendak pulang karena senja sebentar lagi tandas. Dan ia menunjukkan sesuatu yang lain selain tempat kafe ini ada komik shincan, dan Ubi Cilembu yang dimasak dan diplating modern. Dialah yang membawa saya ke Halaman Belakang untuk merasakan itu semua sebagai perjumpaan hangat. Karena tak sempat deal beberapa hari lalu untuk pergi ke sini.
“Pokoknya kamu harus cobain toiletnya. Sok geura,” kata lelaki setia itu. Nama pacarnya Kakak Jasmine, tapi di hari kemarin, dia tak setia karena tak mengajaknya berkencan. Lebih memilih untuk pergi berdua bersama saya—sambil ngomongin yang aneh-aneh tentang hidup, “Ada hari khusus kalo pergi sama pacar. Lebih sakral,” katanya.
“Ada apa di toilet?” timpal saya memotong pembicaraan tentang pacar.
“Sok cobaan wae sorangan,” katanya sambil senyum-senyum tipis.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/son.-halaman-belakang9-1024x770.jpg)
Di toilet bisa main game | Foto: tatkala.co/Son
Lantas saya pergi ke toilet yang tak jauh dari tempat pemesanan. “Toilet” nama besar itu tertera di satu ruangan khusus. Saya membuka pintunya. Toilet itu kering. Bersih. Ada pohon kecil yang hijau daunnya, yang barangkali bisa menyerap bau tak sedap.
“Kleng!!” takjub saya pada sebuah game Nintendo Entertainment System (NES) yang berhadapan dengan tempat ngising. Game itu rilisan tahun 1985-an di Amerika Serikat.
Saya langsung buka celana. Pup. Maen game. Tak percaya? Datanglah ke sana sendiri, dan jangan lupa pup. Tapi, sebelumnya, jangan lupa memesan.
Entah kau mau memesan apa…[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole