KISAH tentang Watugunung berperang dengan Dewa Wisnu—yang kisahnya kemudian dikenal dengan kisah Watugunung Runtuh—memang kerap diangkat ke atas panggung dalam bentuk seni pertunjukan, sehingga kisah itu termasuk akrab di telinga orang Bali. Namun, justru karena kisahnya cukup lumrah itulah maka seniman panggung selalu punya tantangan untuk menemukan metode pemanggungan yang selalu baru, agar kisah kisah itu juga selalu terasa baru.
Sanggar Kokar Bali, SMKN 3 Sukawati Gianyar, sepertinya juga mencari-cari hal baru ketika kisah itu dipanggungkan sebagai fragmentari dalam pembukaan Bulan Bahasa Bali (BBB) ke-7, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Sabtu, 1 Februari 2025.
Fragmentari dengan kisah Watugung versus Dewa Wisnu ini, oleh Sanggar Kokar Bali, diberi tajuk “Sewaka Kurma Raja”. Sesolahan (pertunjukan) itu cukup menarik dan mendapat sambutan meriah dari penonton.
Meski disebut fragmentari, sesungguhnya sesolahan “Sewaka Kurma Raja” itu tidaklah murni sebagai fragmentari yang dikenal secara umum dalam dunia seni pertunjukan di Bali. Di dalamnya tentu saja ada tarian, tapi juga ada unsur-unsur teater, atau pendramaan yang terbebaskan dari unsur tarian.
Sasolahan yang didukung sebanyak 35 penari, 30 penabuh dan 3 gerong (penyanyi), ini juga menampilkan 2 dalang. Seorang dalang pertama menceritakan garapan fragmentari itu sendirti, kemudian seorang dalang lagi berteater yang bercerita tentang cerita yang disajikan dalam fragmentari itu.
Cerita Berbingkai
“Konsep garapan ini adalah cerita berbingkai,” Dewa Putu Selamet Raharja yang menjadi penggarap tari dalam pementasan itu.
Garapan itu diawali dengan penampilan anak-anak dengan seorang lelingsir (kakek) di suatu tempat. Lelingsir itu mengajak cucu-cucunya mesanti (matembang), tetapi saat menuju suatu tempat, banyak anak-anak yang megamel dengan tidak pada tempatnya. Artinya, mereka kurang etika. Ada yang memainkan gamelan sambil berdiri, membelakangi gamelan bahkan melangkahi gamelan.

Fragmentari “Sewaka Kurma Raja” dari Kokar Bali pada pembukaan Bulan Bahasa Bali VII di Taman Budaya Bali | Foto: tatkala.co/Bud
Ada pula yang memanfaatkan kesempatan itu untuk berpacaran, sehingga lelingir memberikan wejangan dengan memberikan satua (cerita) tentang Watugunung yang mengawini ibunya.
Para dewa di surga tidak menjadi tenang karena di bumi ada manusia yang menikahi ibunya sendiri.
Lelingsir itu mengisahkan, di daerah Himalaya, bumi yang subur, rakyatnya makmur itu berkat dipimpin oleh seorang raja yang bernama Watugunung. Ia memiliki istri, akni Dewi Sintakasih. Suatu kali Dewi Sintakasih menyadari bahwa Watugunung adalah anaknya sendiri ang waktu kecil pergi.
Sudah jelas-jelas ini adalah hubungan yang terlarang, lalu Dewi Sintakasih meminta Watugunung bersedia menikahi istri Dewa Wisnu. Mendengar hal itu Watugunung lalu mengutus Sang Waregadean untuk membawa surat lamaran ke Wisnu Loka, tempat tinggal Dewa Wisnu.
Dalam adegan inilah kemudian terjadi perubahan bentuk pemanggungan. Lelingsir yang tadinya berperan sebagai pencerita, kemudian mengambil peran sebagai Sang Waregadean. Tokoh ini sangat lucu, dengan suara terbata-bata serta dengan busana yang beda. Ia yang memggunakan bahasa Bali lumrah, berhasil membuat penonon tertawa. Penari widiadara dan widiadari serta Dewa Wisnu seakan ditotok diam. Sementara Sang Waregadean yang diperankan oleh lelingsir itu yang menguasai panggung untuk menari.
Ketika Sang Waregadean mengilang, para penari kembali menari. Dewa Wisnu sangat marah dan merobek surat yang dibawa oleh Waregadean itu. Dewa Wisnu menyuruh Waregadean untuk pulang ke bumi dan mengatakan kepada Watugunung untuk berperang melawan Dewa Wisnu.
Perang pun tak terelakan lagi antara Watugunung dan Dewa Wisnu, namun Watugunung sangat Sakti tidak bisa dikalahkan, Dewa Wisnu sangat sedih dan menangis tidak bisa mengalahkan Watugunung. Dalam situasi yang kritis dalanglah Begawan Wrespati dan mengutus Bagawan Lumanglang turun ke bumi untuk mengintai kelemahan Watugunung.

Fragmentari “Sewaka Kurma Raja” dari Kokar Bali pada pembukaan Bulan Bahasa Bali VII di Taman Budaya Bali | Foto: tatkala.co/Bud
Pada adegan ini, lelingsir itu kembali mendapat tugas, yaitu memerankan Bagawan Lumanglang untuk mengintai kelemahan Watugunung. Sebelum berangkat, lelingsir itu dirias seperti kuwa-kuwa (laba-laba). Lelingsir itu juga diajar cara berjalan, sehingga mirip dengan kuwa-kuwa. Lelingsir itu kemudian mulai mengintai dengan masuk ke puri.
Saat Watugunung bercengkrama dengan istrinya tentang kenapa sulit untuk dikalahkan oleh Dewa Wisnu. Watugunung menyampaikan rahasia atau kelemahannya kalau berhadapan dengan kurma berkuku tajam. Hal itu didengar oleh Begawan Lumanglang yang sedang menjadi laba-laba lalu segera disampaikan kepada Dewa Wisnu. Mendengar hal itu Dewa Wisnu menjelma menjadi Kurma Raja dan mampu mengalahkan Watugunung. Jasad Watu Gunung jatuh ke bumi disebut Watu Gunung Runtuh.
Kemudian lelingsir bersama cucu-cucunya kemudian melanjutkan kegiatan mesanti.
Menyimak sesolahan itu, pada awal dan akhir itu merupakan garapan teater, sementara di tengah-tengahnya itu kisah dari fragmentari itu.
“Diawal diberikan cerita dari panitia untuk sebuah garapan fragmentari, namun atas berbagai pertimnbvangan tim, maka mengembangkan dengan seni teater, sehingga terwujud seperti teater tari,” kata Slamet Raharja.
Menurut Dewa Slamet, kendala penggarapan tidak begitu banyak, tetapi masalah waktu karena banyak kesibukan siswa dan guru dalam mengurus pembelajaran di sekolah.
“Namun, kami tetap bersemangbat untuk menyukseskan BBB ini, sehingga rasa bersyukur garapan seni ini bisa terwujud,” katanya.
Pembukaan BBB yang Meriah
Pementasan fragmentari dari Sanggar Kokar Bali itu adalah pamungkas dari seluruh rangkaian acara pembukaan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI Tahun 2025 oleh Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya.
Acara pembukaan itu sendiri dikemas dengan sajian seni yang atraktif, empat penari pria memainkan pajeng (payung besar), dan empat penari wanita menarikan property mirip bunga teratai raksasa yang bisa mekar dan kuncup.
Satu orang penari laki-laki berbadan besar berperan sebagai Bedawang Nala, seekor penyu raksasa dalam mitologi Bali yang membawa seluruh dunia di punggungnya. Para penari itu bergerak dengan koreografi apik. Pada tengah lagu, seorang penari berbusana raja membawa globe, lambang bumi lalu diserahkan kepada Pj. Gubernur dan ditaruh di kepala bedawang nala. Acara kemudian berlanjut pada sesolahan Pragmentari Sewaka Kurma Raja.

Pembukaan Bulan Bahasa Bali VII | Foto: tatkala.co/Bud
Pj Gubernur menjelaskan, festival sebulan penuh merupakan bentuk komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam menjaga dan memajukan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
BBB wujud implementasi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan BBB.
Nilai-nilai luhur orang Bali termuat dalam lontar-lontar yang menggunakan bahasa Bali. Nilai-nilai dalam bahasa Bali telah menjadi inspirasi masyarakat dunia. Selain digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa Bali sarat nilai-nilai universal. “Saya, mengajak masyarakat Bali ikut melestarikan penggunaan bahasa Bali sebagai warisan leluhur orang Bali,” ajaknya.
Penggunaan bahasa Bali dimulai dari lingkup keluarga, sekolah, tempat kerja, dan wajib dilakukan pada acara-acara adat di Bali. BBB ke-7 ini mengangkat tema ‘Jagat Kerthi – Jagra Hita Samasta’, bermakna Bulan Bahasa Bali menjadi altar pemuliaan bahasa, aksara, dan sastra Bali sebagai sumber kesadaran menuju harmoni semesta raya.
Perhelatan BBB terus berinovasi agar selaras dengan perkembangan zaman. BBB VII Tahun 2025 dipolakan menggunakan terobosan inovatif dengan pengaplikasian Ekosistem Kerangka Statistik Budaya (KSB) dengan menata BBB melalui kelima standar Ekosistem KSB di atas, maka BBB akan menjadi lebih hidup dan dinamis.
Seluruh masyarakat Bali ikut memeriahkan BBB ke-7, tak hanya pemerintah tetapi juga di desa adat, desa dinas, lembaga pendidikan, hingga swasta. “Bulan Bahasa Bali menjadi wahana membumikan bahasa Bali sehingga hidup dalam jiwa setiap orang Bali.Mari lestarikan bahasa, aksara, dan sastra Bali untuk menggapai dunia,” kata Pj Gubernur.

Pembukaan Bulan Bahasa Bali VII | Foto: tatkala.co/Bud
Kepala Dinas Kebudayaan Bali Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha melaporkan, BBB bertujuan untuk mengajak para yowana Bali mengenal nilai-nilai luhur para tetua Bali. Nilai-nilai itu menjadi modal besar menghadapi tantangan dunia saat ini. “BBB ke-7 dikemas lebih kekinian dibanding penyelenggaraan sebelumnya. Digarap dengan ekosistem yang konseptual, dinamis, dan kreatif guna menarik perhatian kalangan muda Bali,” ujarnya.
Ajang BBB VII menyajikan Utsawa (Festival), Wimbakara (Lomba), Sasolahan (Panggung Apreasiasi Sastra), Widyatula (Seminar), Kriyaloka (Workshop), Rekaaksara (Pameran), dan Bali Kerthi Nugraha Mahottama. “Untuk acara lomba akan melibatkan penggunaan platform digital seperti media sosial. Pemanfaatan teknologi yang dekat dengan generasi muda saat ini, diharapkan lebih mendekatkan anak muda dengan konten bahasa Bali.
Terobosan lain dilakukan yakni melalui produk-produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dijual di stan-stan BBB. Produk kuliner akan menggunakan kemasan yang mengandung aksara, sastra, dan bahasa Bali. “Aksara Bali juga akan dijumpai pada produk-produk fashion yang dijual,” ucap mantan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini. [T]
Reporter/Penulis: Budarsana
Editor: Adnyana Ole