– 𝗦𝘂𝗴𝗶 𝗟𝗮𝗻𝘂𝘀 [Salah satu lembar catatan harian yang ditulis ketika kuliah S1 tahun 1992-1997, untuk mengenang Mpu Lutuk].
(I)
Bila ibu saya membicarakan perihal leluhur, ida batara, dan hal-hal spiritual lainnya, atau sedang sembayang — dan bersamaan dengan itu cecak berbunyi, ibu biasanya menanggapi atau menyahuti suara cecak itu dengan jawaban: “patut”.
Kebiasaan ini konon turun-temurun didapatkan, dan memberikan semacam kelegaan bila mengungkapkannya. Semacam keyakinan atau kepercayaan ini pun menurun kepada saya. Lalu saya pun biasanya menyahuti cecak bila membicarakan perihal spiritual-mistis, walaupun suara “parut ” itu tidak saya ucapkan seperti yang ibu saya lakukan; saya biasanya menyahuti suara cecak itu dengan ungkapan: “patut”, dalam hati saja.
Kalau dengan kata “patut” saja adalah ungkapan ibu saya dalam menanggapi suara cecak itu, selanjutnya saya mengenal ada orang lain yang menanggapi cecak seperti ibu saya, namun dengan ungkapan yang lebih panjang: “Singgih Saraswati”.
Setelah saya mengenal ungkapan yang lebih panjang dan mengkaitkan suara cecak dengan keberadaan Sang Hyang Aji Saraswati, terasa lebih menarik secara spiritual di benak saya. Terlebih setelah saya mengetahui dalam banten Sarawati terdapat jaja samuan berupa dua ekor cecak dengan telur dan sarangnya, maka lengkaplah kait-mengkait cecak dengan Sang Hyang Saraswati.
Belakangan, saya mendengar sebuah kupasan menarik tentang arti keberadaan makna jajan samuan yang berupa cecek dalam banten Saraswati ini.
Dikatakan, cecak dalam bahasa Bali adalah cecek. ‘Cecek’ sama dengan carik: satu carik sama dengan tanda koma, dua carik sama dengan titik. Dalam aksara Bali cecek juga memberikan suara ‘ng’ dalam peranannya sebagai busana aksara.
Demikianlah, cecek dalam aksara Bali menjadikan aksara lain berdengung, sebagai dengung bijah mantra, sebagai dengung suara kumbang hitam. Konon, merupakan dengung suara semesta.
(II)
Terlihat di sini ada tiga runutan peristiwa:
Pertama, adanya kepercayaan akan suara cecak sebagai ukuran kebenaran keadaan yang diwariskan secara turun-temurun dengan lisan dalam masyarakat Bali.
Kedua, bertemunya kepercayaan yang turun-temurun masyarakat Bali ini dengan pengaruh keyakinan teologis India pada Dewi Saraswati. Dan kepercayaan yang diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Bali tentang cecak ini, selanjutnya direkam dalam bentuk sajen atau perangkat ritual; dalam bentuk jaja saman berupa dua ekor cecak dengan telur dan sarangnya sebagai simbol atau lambang dalam banten Saraswati.
Ketiga, adanya pengetahuan aksara atau keberaksargan memberikan peluang dikupasnya kembali makna simbol atau lambang yang bersumber dari tradisi lisan ini. Pengetahuan tulis atau aksara memberikan kemungkinan untuk membahasakan kembali secara spiritual-filosifis simbol dan lambang yang terdapat cecak dalam banten Saraswati.
(III)
Tidak semua teman-teman sebaya saya yang terlahir era 70-an secara langsung tahu adanya kepercayaan dan kebiasaan menyahuti cecak ini dari orang tuanya, apalagi generasi 80-an atau 90-an. Dan hampir selalu ada semacam yang ‘path’ dari ketiga runutan peristiwa yang terjadi.
Kalau mereka tahu adanya peristiwa pertama: kepercayaan akan suara cecak sebagai ukuran kebenaran keadaan dan kebiasaan menyahutinya, mereka ada yang tidak tahu adanya peristiwa kedua: jajan saman yang berupa cecak dalam benten Saraswati. Sehingga bagaimana mungkin mereka berpikir bahwa peristiwa kedua: sebagai kelanjutan adanya jajan samuan yang berupa cecak sebagai lanjutan dari peristiwa pertama.
Kalau mereka tahu peristiwa pertama dan peristiwa kedua, kadang mereka tidak berpikir untuk mengkaitkannya.
Ditambah dengan pengetahuan bahasa dan aksara Bali di kalangan generasi yang terlahir tahun 70-an dan tahun 80-an semakin merosot, maka peristiwa pertama akan berhenti sampai peristiwa kedua.
Akibat pengetahuan yang tidak mendalam pada bahasa dan aksara Bali, kecil kemungkinan mendapat mengupas kembali makna peristiwa kedua: Apa makna dan arti simbol atau lambang jajan samuan yang berupa dua ekor cecak dalam banten Saraswati?
Mereka tidak dapat memasuki peristiwa ketiga, yaitu: mengupas dan membahasakan makna dan arti simbol dan lambang yang merupakan rekaman kepercayaan masyarakat yang turun-temurun dan bertemu dengan keyakinan teologis tentang Dewi Saraswati yang merupakan pengaruh pre-modern India.
Bila terjadi hal seperti ini, proses budaya mengalami stagnanasi atau berhenti mengambang sampai di sini.
Jaja samuan berupa cecak dalam banten Saraswati nasibnya akan memperihatinkan, makna simbol dan lambangnya menjadi tak lebih sebagai hiasan atau pernik-pernik sesajen yang harus dilaksanakan karena mula keto.
Ungkapan mula keto memang lahir dari situasi seperti ini. Ketika masyarakat tak lagi bisa membahasakan atau mengupas nilai-nilai dari sajen-sajen dan perangkat-perangkat ritual lainnya merupakan simbol dan lambang dari suatu kepercayaan, dan atau kristalisasi makna tatwa atau nilai-nilai religious-filosofis — setidaknya dalam keyakinan saya!
Jajan samuan yang berupa cecak dalam banten Saraswati hanyalah sebuah contoh saja dari kekayaan perangkat-perangkat ritual masyarakat Bali yang melimpah ruah.
Tantangan kita selanjutnya adalah bagaimana agar sajen, banten dan simbol atau lambang yang terdapat dalam perangkat-perangkat ritual masyarakat Bali tidak hanya berhenti sebagai mula keto saja. Untuk itu, mungkin semestinya kita secara bersama berupaya mengembangkan semacam “hermeneutik cara Bali” untuk mengupas dan membahasakan simbol-simbol dan lambang-lambang in kembali secara religious-filosofis.
Kupasan-kipasan inilah yang perlu kita wariskan sebagai pendamping pewarisan bebantenan, canang, sajen-sajen, dan perangkat-perangkat ritual yang ada. Sungguh bahan-bahan, rupa dan bentuk, isi, dan nama dari sajen, banten, dan perangkat-perangkat ritual masyarakat Bali adalah lautan luas pengkristalan nilai-nilai religious-filosofis yang tak habis-habis untuk kita renungi. [T]
BACA artikel lain dari penulisSUGI LANUS