SEBAGAI anak desa dari salah salah satu desa di Kecamatan Tejakula, sering sekali saya berkelakar pada setiap kawan setiap berjumpa, “Mari ke desa, mari ke Buleleng, ke Tejakula”.
Sambil tersenyum agak bingung banyak kawan juga menjawab, “Jauh sekali!”
Pertanyaan berikutnya adalah “Di mana desa itu?”, “Ada apa di sana?”, dan seterusnya.
Khas pertanyaan ketika instagram, facebook, google bahkan Gps belum terlahir di dunia ini. Pertanyaan yang datar dan menarik cenderung membuat penasaran nan sederhana, sering sekali membuat saya secara pribadi, yang sering sekali setiap seminggu bolak-balik Bali utara (Tejakula Buleleng) ke Bali Selatan (Badung dan Denpasar), merasa penasaran. Kenapa di bilang jauh?
Apa kawan belum pernah mencoba melakukan perjalanan ke belahan utara Bali ini atau memang sudah pernah atau hampir sampai ke desa-desa di Buleleng tetapi tidak sadar?
Beberapa kawan sudah pernah ke Tulamben di Kecamatan Kubu, Karangasem, dari Denpasar. Pun bolak-balik nongkrong dan ngopi di tempat yang paling indah di Indonesia, konon, di Kintamani, atau malah sudah puluhan kali berselfie dan wefie ria di Jembatan Tukad Bangkung, Desa Plaga, Petang, Badung. Bahkan sudah puluhan kali ngopi dan menikmati mujair ala kintamani sambil berkemah di Desa Pinggan sambil menikmati matahari terbit.
Ketika saya bilang, paling lama satu jam dari Kintamani bahkan bisa kurang untuk menuju desa-desa di kawasan Tejakula, kawan pun tersipu agak tidak percaya.
Sekali waktu pernah saya menjemput kawan yang tersesat dan dibingungkan oleh GPS di tengah hutan Kintamani. Dalam waktu 20 menit ketika saya sudah sampai dari Desa Les, kawan ini mengusap-usap matanya seakan tak percaya seceat itu saya menghampiri dia dari Tejakula, Buleleng.
Kawasan Tejakula merupakan kawasan yang tepat berada di balik bukit sebelah utara hutan Kintamani. Beberapa desa, misalnya Desa Madenan kurang lebih 30 menit dari Kintamani. Menuju Sembiran, Pacung, Julah, kurang Lebih 40 menit. Menuju Tejakula, Bondalem, Les, kurang lebih 50 menit.
Bahkan Penuktukan, Les dan Sambirenteng bisa dicapai dari jalur alternatif Siakin-Kintamani kurang lebih 25 menit.
Dan menariknya Desa Tembok bisa dituju dari jalur Besakih menuju Desa Ban kurang dari satu jam atau bahkan melalui Desa Songan Kintamani.
Jika ingin melihat lebih dekat matahari terbit dari ujung timur laut utara, bolehlah sering-sering ke desa-desa di Tejakula. Jika mau berwisata sambil belajar tentang bagaimana masyarakat pesisir dan perbukitan memiliki romansa di masa lalu dan masa kini, di sinilah panggungnya. Selain pantai, ada juga bukit hasil pertanian semacam buah-buahan, budaya, di desa-desa di kawasan Tejakula. Kita bisa melihat masih banyak penenun tradisional di desa Sembiran, bisa juga melihat Desa Tua Julah, merasakan sensasi kuliner di kawasan Tejakula dan bertemu komunitas kreatif adalah sisi-sisi yang barangkali sangat langka dalan perjalanan.
Pagi ini ketika hujan agak telat datang di kawasan Tejakula, beberapa kawan mengirim pesan WA kepada saya. Kawan itu akan mencari informasi tentang Wayang Wong Tejakula, akan kuliner blayag di Bondalem, berkunjung ke Desa Les, diving di Tejakula sampai melukat di Pura Ponjok Batu.
Dan saya akan sangat dengan lebih dari senang mengajak kawan menikmati kuliner mengguh, jukut blook, sate pledet khas Desa Tembok dan ngopi berteman cerorot khas Desa Pacung di Pagi Motley Studio.
“Wah banyak ya, apa apa pun ada di Tejakula!” kata kawan saya lewat pesan untuk menanggapi informasi yang saya berikan. “Wah itu bisa dikembangkan. Jangan timpang, Jangan tumpang tindih, biar seimbang,” harapnya.
Dan, ketika sang kawan sudah sampai, saya pun mengajak mereka mencari apa-apa yang sempat saya sampaikan. Dan itu tak cukup waktu dalam sehari. [T]