TAHUN INI, Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 mengusung tema “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”. Benar. Upaya merawat Bumi memang ikut menentukan pelestarian kebudayaan di Tanah Air. Beragam praktik kebudayaan melebur dengan tradisi leluhur dalam menjaga alam. Pekan Kebudayaan Nasional 2023 turut menggaungkan budaya peduli Bumi agar tidak diabaikan dalam rencana pembangunan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Fitra Arda mengatakan, sebagaimana disampaikan di laman Kompas.id, pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan pranata sosial semestinya menjadi bekal dalam merencanakan pembangunan.
Oleh sebab itu, selain menggelar pameran, lokakarya, diskusi publik, perjamuan, pergelaran, gelar wicara, instalasi, konferensi, artist talk, kongres, dan perjamuan, PKN 2023 juga mengeksplorasi kekayaan kuliner Nusantara. Di Gedung Perum PFN (Produksi Film Negara), misalnya, menampilkan kreasi “Dapur Bangsa”.
Pada tanggal 20-29 Oktober 2023, tenda besar yang didirikan tepat di belakang IMXR Studio (Black Box/Studio 1) PFN itu, nyaris setiap hari, tak pernah sepi pengunjung. Mereka, para pengunjung itu—yang terdiri dari seniman, budayawan, volunteer, dan masih banyak lagi, yang berkesempatan hadir di PKN—rela antre dan berdesak-desakan demi mencoba kekayaan kuliner Nusantara.
Selain karena penasaran dengan rasa berbagai masakan yang dihidangkan, satu hal yang penting adalah, semua masakan bisa dicoba tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, alias gratis, sepuas-puasnya. Dan salah satu hidangan yang ramai diserbu pengunjung adalah kuliner khas dari Maluku Utara: sambal dabu-dabu beo, dabu-dabu tamate dule, baku ngelo, pisang mulu bebe, dan kerupuk tradisional khas Bacan bernama kamplang—yang terbuat dari percampuran ikan tuna segar dan sagu.
Pengunjung antre untuk mencoba kuliner khas Maluku Utara / Foto: Jaswan
Sambal dabu-dabu beo, temate dule, baku ngelo, dan kamplang, merukapan kuliner khas dari Halmahera Selatan, Maluku Utara. Menurut Lusi Susanti Bahar, Tim Ahli WBTB Maluku Utara, sambal dabu-dabu—beo dan tamate dule—merupakan sambal yang dulunya hanya dikonsumsi oleh keluarga Kesultanan Bacan, Halmahera Selatan. “Jadi, kedua sambal tersebut dulu dibuat oleh para permaisuri sultan Bacan. Di dapur Kesultanan Bacan, ada sekitar dua puluh jenis sambal,” terangnya, kepada wartawan tatkala.co di lokasi Dapur Bangsa, Rabu (25/10/2023) sore.
Lusi Susanti, sebelum diwawancarai, sibuk menjelaskan dan melayani para pengunjung yang ingin mencicipi kuliner yang dibawanya. Meski dibantu oleh timnya dan seorang volunteer, ia mengaku kewalahan melayani antrean yang tak putus-putus—antrean mengular panjang. Meja tempat memajang kuliner-kuliner tersebut, nyaris tak terlihat dari depan.
Sementara para pengunjung mengantre, dengan percaya diri dan artikulasi yang tegas dan jelas, Lusi menjelaskan satu per satu hidangan yang ditawarkannya. “Yang suka pedas silakan ambil sambal dabu-dabu beo; yang tidak pedas, silakan ambil dabu-dabu tamate dule,” ujarnya, tegas, dengan logat Maluku Utara-nya yang khas.
Dabu-dabu beo memiliki rasa yang dominan pedas, sedikit asam, dan asin. Perpaduan antara ketiga rasa itu menciptakan pengalaman rasa yang khas. Bahan-bahan dabu-dabu beo terdiri dari rica boku (cabai rawit), bawang merah, terasi Bacan, garam, dan perasan lemon.
“Cabai rawit dihaluskan bersama terasi, bawang merah diiris tipis, terus dicampur, diaduk, tambahkan garam dan perasan air lemon secukupnya, baru disiram dengan minyak mendidih. Setelah itu, ditambah dengan arang yang masih menyala (bara api)—untuk menciptakan aroma yang khas dan memperkuat rasa pedas—sampai padam,” jelas Lusi.
Lusi Susanti Bahar sedang menjelaskan kepada para pengunjung / Foto: Jaswan
Sebaliknya, jika dabu-dabu beo memiliki rasa yang dominan pedas—beberapa pengunjung yang mencobanya tampak berkeringat dengan bibir memerah, dower—maka dabu-dabu tamate dule memiliki rasa yang cenderung asam, meski tak seasam cuka atau belimbing wuluh.
Tamate dule berasal dari dua kata, tamate dan dule. Tamate bearti tomat, sedangkan dule berarti bakar. Tetapi, menurut Lusi, tamate dule bukan berarti hanya berbahan tomat yang dibakar saja, tapi ada rica keribo (cabai keriting), bawang merah, kemangi, dan daun bawang Maluku Utara. Semua bahan, kecuali kemangi dan daun bawang, dibakar terlebih dahulu.
“Tomat, cabai, dan bawang merah, ditusuk seperti sate, lalu dibakar. Setelah itu dihaluskan, ditambah terasi, garam, lalu disiram dengan minyak mendidih dan ditambahkan arang yang masih menyala,” terang Lusi.
Sambal dabu-dabu beo dan tamate dule dipilih, menurut Lusi, karena kedua sambal ini memiliki latar belakang sejarah yang kuat di Maluku Utara. Selain sebagai hidangan pelengkap di atas meja mekan, kedua sambal ini juga dijadikan sebagai media untuk mempererat tali silaturahmi. “Jadi, saat ada tamu penting yang berkunjung ke Kesultanan Bacan, kedua menu ini wajib dihidangkan,” jelas Lusi, dengan mata yang berbinar.
Untuk melengkapi hidangan sambal dabu-dabu beo dan tamate dule, pihak Maluku Utara membawa serta kuliner yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), yakni baku ngelo. Baku ngelo merupakan makanan khas dari Halmahera Selatan, yang terbuat dari sari pati singkong atau sagu. Kuliner tersebut adalah makanan pokok orang Halmahera Selatan sebelum beras menggantikannya. Selain awet, bahan baku baku ngelo juga tidak terlalu rumit didapatkan dan diolah.
Suasana antre di Dapur Bangsa / Foto: Jaswan
Selain hidangan baku ngelo, Lusi Susanti dkk. juga membawa pisang mulu bebe—yang katanya hanya tumbuh di hutan Halmahera. Pisang mulu bebe bertekstur halus, enak diolah saat masih mentah, mengkal (setengah matang), mamupun matang. Dan untuk minumannya, Maluku Utara menyajikan air guraka—minuman hangat berbahan baku rebusan jahe, gula aren, dan kayu manis.
Maka, sore itu, hidangan Maluku Utara menjadi primadona dalam Kuratorial Kenduri Rasa—Dapur Bangsa Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023. Para pengunjung, sembari melepas lelah setelah seharian berkegiatan, setelah berjibaku dengan terik Jakarta yang panas, menikmati sajian baku ngelo dan pisang mulu bebe, ditambah dengan sensasi pedas dabu-dabu beo dan asam tamate dule, dilengkapi dengan renyah dan gurihnya kerupuk kamplang, dan ditutup dengan seteguk-dua teguk air guraka, bersemangat untuk kembali melanjutkan aktivitas.
Menjaga Kekayaan Kuliner Nusantara
Memasak, atau mengolah makanan, menurut Mumu Aloha, tak lagi dianggap sebagai semata kegiatan rekreasional, pengisi waktu senggang di akhir pekan, atau momen untuk menciptakan kebersamaan dalam keluarga. Memasak dan mengolah makanan kini dipandang secara antropologis sebagai bagian dari praktik kebudayaan yang harus terus-menerus dijaga, dilestarikan, dan diwariskan.
Tampilan tenda Dapur Bangsa di Produksi Film Negara / Foto: Jaswan
Dapur menjadi pertimbangan penting, sebab dari sinilah perjalanan dimulai, kata Mumu. Sedangkan bagi “Indonesia”, lanjutnya, di mana sebenarnya posisi masakan dalam konteks kebangsaan, atau bahkan kenegaraan, atau pemerintahan? Indonesia yang belakangan telah menjadi “atribut” yang dicomot untuk ditempelkan di sana-sini dengan berbagai kepentingan di belakangnya, di mata para juru masak dan pewaris ramuan bumbu-bumbu ternyata justru terus-menerus dipertimbangkan sebagai bagian dari memori kolektif, sumber kearifan bersama, juga titik totak dan sekaligus tempat kembali.
Dalam hal kekayaan kuliner, Nusantara atau Indonesia memiliki banyak sekali makanan dan minuman khas, yang tersebar di seluruh wilayahnya—dari Sabang sampai Merauke; dari Miangas sampai Pulau Rote. Makanan dan minuman tersebut, nyaris di semua daerah, memiliki rasa yang otentik, khas masing-masing. Tak ayal kuliner menjadi bagian penting dalam eksistensi suatu daerah. Bahkan, saking pentingnya, sejak akhir 1950-an, Presiden Soekarno menjadikan kuliner sebagai bagian dari derap politik revolusi.
Maka, atas dasar itulah, Bung Karno memulai proyek penulisan Mustika Rasa—kumpulan resep masakan dari berbagai daerah di Indonesia yang diterbitkan pertama kali tahun 1967, setahun (lebih) setelah Soekarno jatuh. Buku yang disusun cukup lama tersebut berisi kurang lebih 1.600 resep masakan, 900 resep di antaranya menggunakan penekanan asal daerah. (Buku ini lahir atas gagasan Proklamator Republik Indonesia yang pencinta makanan dan merasa bahwa makanan adalah persoalan penting.)
Sukarno, sebagai presiden, memerintahkan mengumpulkan resep masakan Indonesia selengkap-lengkapnya. Bukan saja untuk mendokumentasikan dan menyelamatkan kekayaan warisan makanan-minuman Indonesia yang beragam serta kaya pengaruh hasil silang budaya dalam sejarahnya yang panjang bertemu aneka bangsa, tetapi juga sebagai upaya memberi basis bagi politik pertahanan pangan.
Para pengunjung sedang meniknati kuliner di Dapur Bangsa / Foto: Jaswan
Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, menurut Kuss Indarto, pemimpin redaksi Mata Jendela, buku tersebut relatif bisa menjadi tonggak penting betapa Negara telah peduli untuk mengelola makanan sebagai salah satu kosa budaya yang mampu diberdayakan sebagai bagian dari identitas dan kekuatan sumber daya Indonesia.
“Dapur Bangsa”, sebagai sebuah program nasional, merupakan program yang bagus dan harus dipertahankan. Tak hanya sebagai ruang sosialisasi, Dapur Bangsa juga dapat menjadi ruang eksplorasi lebih lanjut terkait kekayaan kuliner Nusantara.
Namun, di tengah gempuran kuliner-kuliner masa kini, entah yang datang dari luar maupun dalam, untuk menjaga keragaman dan kekayaan kuliner Nusantara, rasanya tak cukup hanya dengan menggelar program semacam pameran kuliner, lebih dari itu, program yang harus dipikirkan adalah program yang berkaitan dengan ekosistem kuliner yang menyeluruh, mulai dari melestarikan bahan baku, dan sebagainya dan sebagainya.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana
BACA artikel lain terkait PEKAN KEBUDAYAAN NASIONAL 2023 atau artikel lain yang ditulis JASWANTO