MEMBACA esai kritik sastra yang ditulis oleh Pranita Dewi, perempuan penyair asal Denpasar-Bali berjudul ‘Ida: Perempuan, Sajak dan Visi Literer Chairil Anwar’ di Tatkala.co, 12 September 2023, saya merasa amat senang karena Pranita selain menulis puisi ia ternyata mampu menulis esai bagus. Sebuah esai “puitis” tentang Chairil Anwar dan perempuan dari sudut “perempuan”, terutama soal sosok Ida yang banyak disinggung Chairil Anwar baik pada sajak maupun pidato kebudayaan yang ia sampaikan pada beberapa acara seni di Jakarta kala itu.
Usai membaca esai tersebut, saya langsung mencari buku tentang Chairil Anwar pada perpustakaan kecil di kamar kontrakan. Buku pertama, skenario yang ditulis Sjuman Djaya berjudul Aku; Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar.” Buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Grafiti, Jakarta, 1987. Saya mempunyai versi buku yang diterbitkan Metafor Publishing, 2003.
Skenario ini dibuat berdasarkan wawancara dan keterangan dari para sahabat dan keluarga dekat Chairil Anwar sehingga bisa dipertanggung-jawabkan kebenaran dari apa yang ditulis dan ingin disampaikan Sjuman Djaya selaku seorang sutradara.
Pranita Dewi dalam esai tersebut berfokus pada sosok Ida, yang disebutnya sebagai “vitalisme dan visi literer Chairil Anwar”. Pada bagian penutup Pranita menulis: “Pembahasan tentang Ida, perempuan, vitalisme dan visi literer Chairil di atas sekaligus membuat kita yakin bahwa sebenarnya sajak-sajak Chairil, sebagaimana semua karya puisi yang baik, pada dasarnya memihak pada nilai-nilai universal positif seperti kemajuan, kesetaraan, penghargaan terhadap perempuan, kepercayaan bahwa perempuan sepadan dengan laki-laki dalam perkara intelektual, dan pengakuan atas perempuan sebagai gender yang memiliki kekuatan besar untuk memancarkan elan vital.”
‘Ida: tokoh imajiner?’
Belum ada kepastian tentang siapa sebenarnya Ida. Agaknya, dalam buku “Aku” pun hanya disebutkan, “Ida” diyakini sebagai perempuan yang menghadiri pameran lukisan di Jakarta pada masa lalu di ruang depan sekolah Taman Siswa di Kebayoran. “Tapi yang menarik perhatian adalah hadirnya seorang perempuan muda yang sangat matang dan berdandan sangat menawan”. Begitu tulis Sjuman Djaya pada adegan 97, halaman 94 buku tersebut.
Perempuan itu, digambarkan sangat mencintai seni. Aksen bicaranya intelek, sesekali keluar juga dengan fasih bahasa Belandanya. Dia pun didampingi dua laki-laki Belanda yang nampaknya juga penggemar kesenian. Satu laki-laki berwajah menak, posturnya seperti pejabat tinggi salah satu Departemen Republik.
Ia yang disangka Ida pun berbicara dengan Sudjojono yang lukisannya juga dipamerkan. “Ida” juga mengirim salam untuk Chairil Anwar, yang saat dia ada di acara tersebut, belum tampak batang hidungnya.
“Fantastis! Siapa dia bilang namanya tadi?”
“Dia tidak sebut nama!”
“Dia Tanya Chairil. Jangan-jangan itulah Ida yang sering disebut-sebutnya!”
“Lihat saja di buku tamu!”
“Ya, ya, buku tamu coba!”
Semuanya jadi membuka, memeriksa buku tamu. Di sana ada tiga nama, yang seorang berkebangsaan Belanda, dan seorang lagi perempuan bernama Hilda. Tanpa alamat, tanpa jabatan. Cuma “Hilda – Jakarta”.
Sosok Ida masih misterius. Pada adegan 131, ketika Chairil mulai menunjukkan gejala sakit parah, terjadi percakapan di redaksi majalah “Siasat” antara Sam, Pai dan Balfas yang sepertinya anggota redaksi bersama sekretaris redaksi, Gadis. Dia menyarankan kepada Pai dan Balfas untuk mencari dan menemukan Chairil Anwar yang kelihatan sangat menderita dan musti cepat dibawa ke dokter.
Pai bertanya:
“Dia kira-kira masih di kamarnya?”
“Karena itu aku bilang, cari! Waktu aku datang, dia persis mau keluar, lengkap dengan jaketnya dan keperlenteannya. Tapi wajah itu tidak dapat menyembunyikan….— (menjatuhkan diri ke kursi)
–Mayat! Dia sudah semacam mayat, Pai!
“Dan ketika kutanya, mau ke mana dia, tahu apa yang dia bilang?”
“Apa?”
“Mau menjelajah Nusantara, katanya, mencari Ida! Ida tidak pernah ada, Pai!. Ida Cuma tokoh khayali darinya. Jadi kau tahu apa ini artinya?”
Percakapan dalam buku skenario “Aku” di atas bahkan, menyebut Chairil semacam “berhalusinasi”, Ida hanya tokoh imajiner dan khayali dari penyair bohemian itu. Sampai di sini, sosok Ida menjadi semakin kabur. Siapa sebenarnya dia? Apakah dia sosok nyata atau malah “tidak nyata”?
Ida Nasution
Pada buku kedua, buku seri TEMPO berjudul Chairil Anwar; Bagimu Negeri Menyediakan Api. terbit pada 2016, teka-teki siapa tokoh Ida agaknya menjadi terang. Pada bab “Fragmen Cinta Ahasveros” mengupas kisah gelora asmara Chairil Anwar dengan beberapa perempuan, sebut saja Karinah, Sri Ajati, Sumirat, Gadis Rasid, Tuti, Dien Tamaela, Hapsah, dan, tentu saja: Ida.
Nama Ida pertama kali disebut Chairil dalam sajak “Ajakan” (Februari 1943). Ia juga disebut dalam sajak “Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14 Juli 1943), dan “Selama Bulan Menyinari Dadanya (1948). Menurut buku seri TEMPO tersebut, Chairil bahkan menyebut Ida berkali-kali dalam pidato dibuat pada 1943 untuk dibacakan di muka Angkatan Baru Pusat Kebudayaan pada 7 Juli 1943. Pidato ini kemudian diterbitkan dua kali. Pertama dalam majalah Zenith edisi Februari 1951. Kedua dalam Pulanglah Dia Si Anak Hilang; Kumpulan Terjemahan dan Esai Chairil Anwar (2003).
Hasan Apsahani, penulis buku Chairil: Sebuah Biografi mempunyai pendapat, Ida (nama lengkapnya: Ida Nasution) adalah “kekasih sebentar” Chairil Anwar. Ia juga merupakan “kawan segagasan, cinta yang menggairahkan dan menggelisahkan”. Menurut Hasan, Ida kerap disebut pada 1943. Pada tahun itu, Chairil berumur 21 tahun, sedangkan Ida 19 tahun.
“Bersama Ida, Chairil seakan-akan menjadi lelaki 17 tahun kembali, menikmati kepolosan sepasang anak remaja,” tulis Hasan Apsahani.
Nama Ida dalam sajak Chairil Anwar berjudul “Lagu Siul” yang ditulis pada 1945 pada mulanya tertera dalam subjudul pada naskah tulisan tangan Chairil. Namun nama itu dihilangkan saat diterbitkan pertama kali dalam Opbouw-Pembangoenan edisi 10 Desember 1945. Begitu pula saat muncul dalam antologi Deru Campur Debu (1957).
Mengutip buku “Chairil Anwar […]”, kepada H.B. Jassin, Ida pernah menyebut Chairil sebagai “binatang jalang” yang sesungguhnya. Sepertinya, cinta Chairil kepada Ida tidak berbalas. Bahkan, ia pernah berkata: “Apa yang bisa diharapkan dari manusia tidak karuan itu?”
Ida adalah esais cemerlang dan penerjemah berbakat. Pujian itu disampaikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan H.B. Jassin. Ida pernah menerjemahkan Les Conquerent karangan Andre Gide menjadi Sang Pemenang dan dimuat dalam Opbouw-Pembangoenan.
Sedangkan Chairil Anwar, menerjemahkan karya Gide lainnya, Le Retour de l’Enfant Prodigue, menjadi Pulangah Dia Si Anak Hilang, yang dimuat dalam Pujangga Baroe, edisi September 1948. Ida sempat menjadi anggota redaksi majalah berbahasa Belanda, Het Inzicht, sebelum bersama Chairil mengelola “Gelanggang”, ruang kebudayaan dan sastra dalam majalah mingguan Siasat.
Masih dalam buku “Chairil Anwar [..]”, Ida Nasution disebut semasa kuliah ia bersama kawan-kawan mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 20 November 1947. Namun nahas, hidupnya berakhir tragis. Dia dilaporkan hilang pada 23 Maret 1948. Koran De Locomotief edisi 3 April 1948 menulis, “Ida hilang saat perjalanan menuju Buitenzorg (Bogor) bersama teman-teman kuliahnya. Koran berbahasa Belanda, Nieusger, mencurigai Ida diculik oleh anggota intelijen Belanda.
Demikianlah. Semoga tulisan yang berangkat dari tiga buku tentang Chairil Anwar bisa memberi ‘jalan terang’ tentang sosok Ida, kawan perempuan Chairil Anwar yang “abadi” dalam karyanya. [T]