DRONA adalah seorang guru, banyak dikenal oleh masyarakat sebagai Guru Agung. Pengajar anak-anak dan remaja di kerajaan Hastina Pura. Termasuk keluarga Pandawa juga Kaurawa. Arjuna, Karna, Yudistira, Nakula, Sahadewa, Bima. Juga keluarga lain; yang kita sebut “jahat” kemudian; Duryodhana, dkk. Mereka belajar pada guru yang sama: Guru Drona. Ia dipanggil “Kakek Drona”.
Beliau guru yang hebat, cerdas, semua orang mengakui itu. Namun, di balik itu semua, ia ternyata adalah guru yang kurang bijaksana, karena “pilih-kasih”. Karna, anak haram Kunti dengan “seseorang”. DEWA SURYA? BISA JADI.
Saat lahir, ia lalu dibuang oleh ibunya dengan cara dihanyutkan ke sungai luas dan besar, dalam sebuah keranjang bayi, dengan air mata kecemasan dan ketakutan seorang ibu. Juga, air mata.
Anak itu terpaksa dilepas karena takut akan “hukuman” dan “opini” keluarga kerajaan dan masyarakat umum jika nantinya tahu ia punya “anak haram” hasil hubungan gelap. Itu aib, stigma, dan cerita yang mesti dikubur dalam-dalam….
“KARNA LALU DITEMUKAN OLEH SEPASANG SUAMI-ISTRI yang lama tidak mempunyai keturunan, “mandul” dan “infertil”. Lama tak DIKARUNIAI anak.
Sama seperti di Bali, pasangan jenis ini dianggap “gagal” karena “anak” dianggap sebagai “penerus garis keturunan”, “leluhur” juga “hadiah” dari “tuhan”. Jika tidak, “dipercaya” ketika setelah “mati”, “roh” ibu atau ayah “akan mengalami sesuatu yang menyedihkan dan menyakitkan –DI alam yang disebut dengan sebutan “neraka”….”. NARKAA.
Anak berkulit agak gelap, dan disebut banyak penulis sejarah lama “bermata bulat, terang, dan memiliki “tanda khusus” di antara alis matanya–ia adalah keturunan “surya” yang nantinya menjadi jenius, berani, teguh, tangguh—namun sayang, mudah sekali terhasut dengan kata-kata halus, baik hati, penolong dan “tampak baik di permukaan”….
Karna namanya. Ia diasuh dan dibesarkan oleh keluarga tukang kusir kuda–anak adopsi yang dianggap sebagai anak sendiri, dengan kasih-sayang tiada tara, perhatian, cara mendidik melalui latihan “bekerja”; membantu ayah angkatnya yang bekerja sebagai kusir kereta. Orang biasa..
Karna kini remaja, sudah saatnya pergi menuntut ilmu. Kala itu di Bharat–wilayah luas yang kini disebut “anak benua India” sekolah adalah gurukula–padepokan, tempat guru mengajar murid-murid, dengan sistem guru-sisya, parampara, garis perguruan yang bersifat turun-temurun dan juga sistematis. Pingit. SAKRAL. SUCI.
Disiplin, sangat ditekankan di tempat itu. Juga, ketaatan pada senior dan guru sebagai pusat dan figur personal–GURU–penerang batin yang gelap dan penghilang awidya–ketidaktahuan. MAKNA YANG KINI TENTU HILANG.
Drona memiliki ashram. Nama yang kini dalam bahasa Indonesia diadaptasi dan dipakai untuk mengenang kejayaan masa lalu–Asrama. Tempat tinggal siswa dan mahasiswa, juga tentara dan polisi. JUGA TEMPAT TINGGAL SISWA.
Drona guru yang diluar terlihat suka persatuan, dan “mempersatukan”.
Karna, remaja yang datang ke sana untuk mendaftar sebagai murid sekolah di ashram–diterima dengan sangat baik, karena telah lulus tes awal masuk.
Karna tubuhnya tegap, cerdas, dan cocok jika nantinya akan menjadi prajurit—kesatria di masa lalu yang semenjak dini diajari ilmu memanah, pertahanan, militer, kecakapan fisik dan mental, astrologi, dan kesaktian seperti kini banyak disebut sebagai “ilmu pengetahuan”. Ilmu dan Pengetahuan.
Drona sangat menyayangi Karna.
Namun sayang, dia berbalik menjadi sebaliknya, merasa kecewa, marah, merasa tertipu dan dibohongi karena Karna telah memalsukan identitas saat pertama kali memperkenalkan diri ketika datang pertama kali ke ashram: ‘aku anak dari keturunan keluarga kaya, terpandang, asal-usulku jelas ….’
Drona akhirnya tahu bahwa Karna anak angkat dari kusir kereta, golongan masyarakat rendah, bukan keturunan ksatria….
Karna merasa tersisih kemudian.
Hanya Duryodhana, kawan sesama remaja yang terlihat peduli pada anak miskin tersebut. Drona rela berbagi—waktu, tenaga, makanan, juga fasilitas sebagai keluarga kaya yang ia miliki sebagai “orang kaya”.
Karna semakin akrab dengan Duryodhana…
Mereka seperti dua saudara kandung yang mempunyai kesamaan pandangan, kesukaan, rutinitas harian dan…”masa depan”.
Itu terjadi setelah semua rahasia terbongkar. Termasuk “sejarah rahasia” siapa orang-tua dia sebenarnya…
Ibunya, Kunti, yang digambarkan amat lembut, tenang, feminim, penuh kasih juga bersifat keibuan,; suatu hari ingin bertemu dengan Karna yang kala itu telah dewasa.
Dia menatap Karna dengan penuh makna. Memeluk tubuh gagahnya, mengelus pipi, memegang kedua lengan laki-laki itu dengan senang, haru, –sudah lama ibu itu tidak pernah berjumpa dengan sosok bayi yang dulu dibuangnya. Kenangan lama itu.
Itu dilakukan karena kondisi dan keadaan juga waktu yang “belum memihak” — membiarkannya ditemukan dalam aliran sungai yang bisa saja menelannya dalam pusaran air–tenggelam dan lalu “mati”.
Karna dan Kunti bertemu dalam hening; perjumpaan yang sedikit misterius, laki-laki itu tentu bertanya dalam hati–siapakah ibu anggun ini, mengapa ia menjumpaiku, apa gerangan yang terjadi….siapa dan dari mana is berasal?
Ibu dan laki-laki itu terlibat dalam pembicaraan serius. Empat mata
Dengan penuh kesedihan, ada yang harus ibu itu ceritakan pada sosok gagah dan perkasa yang kini ada di hadapannya.
“KARNA ANAKKU….”
AIR MATA KUNTI TUMPAH….
KARNA TERDIAM. HENING. DIA TIDAK MERASA SENANG ATAU SEBALIKNYA, SENANG. JUSTRU DIA MERASA MARAH, KECEWA JUGA SEDIH. MENGAPA BARU SEKARANG KUNTI–Ratu HASTINAPURA, berani berkata jujur? –selama ini dia kemana–saat ia membutuhkan kasih-sayang seorang ibu, seorang perempuan sejati–walau ibu angkatnya juga dalam kenyataannya sangat menyayangi dia, tapi, tetap saja, ia merasa menjadi pesuruh dan pembantu, tak ada “makan siang yang gratis”–tenaga dia diperlukan, untuk kehidupan keluarga angkatnya.
Kunti tambah merasa bersedih.
Air mata dari pipi tidak berhenti mengalir, seperti air sungai yang menghanyutkan bayi mungil yang keluar dari rahimnya, dulu sekali, sebuah kelahiran tak diinginkan…
Karna beranjak dari pertemuan mereka. Meninggalkan ibu kandungnya dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi. Air mukanya datar. Ia pergi tanpa suara.
Kurawa–dengan ibu yang banyak mempunyai anak, Gandari. Anggota jeluarga itu punya karakter terbuka, apa adanya, berpikiran terbuka, tak suka rahasia, suka pengetahuan, juga melindungi–tidak senang melihat orang lain disakiti, apalagi dihina dan direndahkan. Karakter kesatria sejati.
Mereka dari tampak luar memang terlihat kasar, bicara terbuka, ”to the point’, Berbcara seperlunya, jika tidak penting–mereka memilih hening, diam, sambil mengerjakan pekerjaan sederhana, rumah tangga, dan juga sangat rajin belajar.
Karna merasa “at home” di sana.
Biarpun dia kini tahu, bahwa keluarga Pandawa adalah keluarga kandungnya.
Ia merasa tidak memiliki ikatan batin.
[Bersambung pada lain kesempatan….]
Denpasar, 29 Juni 2023, 23:57 WITA
SENI pewayangan di Bali adalah panggung yang selalu hidup, ladang subur di mana kreativitas para dalang dapat tumbuh dan berkembang....
Read more