KESEMPURNAAN MENJADI sesuatu hal yang sangat diidam-idamkan bagi setiap orang di dunia. Walaupun hanya menjadi sebuah kata khiasan bagi sebagian orang, namun keinginan untuk bisa “diidam-idamkan” bisa menimbulkan rasa gelisah bagi orang seperti aku.
Aku merasa ada yang selalu salah dalam diri, dihantam kecemburuan dan keraguan, yang kemudian menjadi celah bagi munculnya rasa insecure.
Kata “diidam-idamkan” seringkali memunculkan kata “perbandingan”. Bukan perbandingan dalam matematika atau perbandingan berat belanjaan, misalnya antara belanjaan aku dan belanjaan adikku, melainkan sikap suka membandingkan diri dengan orang lain.
Apa yang salah dengan diriku? Kenapa mereka bisa lebih baik dariku? Ah, andai aku bisa menjadi dia!
Apa yang biasa mereka makan agar bisa sehebat itu? Itulah pertanyaan-pertanyaan konyol yang seringkali muncul melintasi isi pikiran bagaikan kutu yang selalu menganggu di atas kepala.
Penampilan fisik merupakan salah satu hal yang menjadi ajang sayembara dalam kehidupanku. Aku selalu merasa bahwa kebutuhan biologis belum terpenuhi, dan itu seakan-akan menjadi pemicu untuk terus merendahkan diri.
Ya, aku selalu merasa diri ini tidak secantik dan semenarik orang lain.
Lebih parahnya lagi, bertahun-tahunku aku sendiri, semata-mata karena takut kalau orang yang aku anggap istimewa tidak akan mau menerimaku, bahkan menjauhiku. Untuk itulah, akhirnya aku lebih sering memendam perasaan karena merasa hal itu lebih baik bagiku daripada mengungkapkannya ke mana-mana.
Hanya membuat malu saja, pikirku.
Tubuh langsing, kulit putih, hidung mancung, wajah bersih dan mulus, adalah salah satu spesies ideal yang aku dambakan sejak masih sekolah menengah. Segenap jiwa sudah kukerahkan untuk mendapatkan tubuh dambaan itu, bahkan aku bisa menyisihkan uang jajan untuk membiayai keinginanku itu.
Namun selalu begitu. Selalu ketika melihat dia yang kuanggap istimewa melintas di hadapanku, seketika itu juga muncul gejolak insecure. Tiba-tiba ada keinginan menjadi yang sempurna seperti dia.
Sulit rasanya berdiam diri dan membiarkannya begitu saja.
Kadang muncul dugaan-dugaan tak masuk akal. Wahhh.. Kok dia bisa seputih itu? Berapa ya dia ngeluarin uang biar bisa seputih itu? Pasti mahal! Apa mungkin emang mak bapaknya putih?
Kebiasaan membandingkan diri ini pun tidak hanya perihal fisik. Ekonomi, keterampilan, pengetahuan, bahkan mental sekalipun bisa menjadi penyebabnya.
“Ada yang bertanya?”
Itu pertanyaan menakutkanku, seakan pertanyaan itu diciptakan untuk menjatuhkanku.
Aku mulai dihampiri kecemasan akankah namaku disebut, ditodong, agar aku bicara. Sementara di sisi lain, orang-orang tampak ambisius, menunjukan skill public speaking mereka, mengutarakan pengetahuan-pengetahuan umum yang seakan sudah di luar kepala. Aku hanya bisa termenung memikirkan kenapa aku tidak bisa seperti dia?
Kenapa sikap membandingkan ini terus muncul sih?
“Love yourself!”
Mungkin kata-kata itu sudah sering kali kudengar. Namun mau bagaimana lagi, sebagai manusia, keinginan untuk lebih dari yang dimiliki saat ini adalah hal yang sangat wajar. Diriku yang hanya manusia biasa bak debu yang ditiup angin, terbang ke mana-mana tanpa arah dan tujuan.
Percaya atau tidak, ternyata sikap ini seringkali bisa membangkitkan semangatku untuk mempelajari dan memperbaiki apa yang salah dariku. Dan, setelah melalui banyak hal, akhirnya aku sadari bahwa sikap membandingkan diri dengan orang lain bukanlah suatu hal baik, karena ketika sudah terbiasa menjadikan seseorang sebagai patokan, kita akan terus ingin melakukannya.
Jika kebiasaan itu dipelihara, alhasil, jika dulunya hanya membandingakn diri saja, kemudian bisa-bisa berkembang menjadi rasa iri yang memicu perasaan tidak percaya diri, menganggap diri tidak berharga, suka menyalahkan diri sendiri dan hal-hal lain yang buruk.
Lalu bagaimana sebenarnya cara mengatasi rasa insecure ini?
Takut perasaan ini semakin menjadi-jadi, beberapa hal yang dapat dilakukan semua tergantung diri sendiri. Tahap Love Myself memang perlu waktu untuk mencapainya. Sebelumnya mengenali diri sendiri penting dilakukan.
Siapa aku? Aku bisa apa? Apa kelebihan dan kekuranganku? Hal spesial apa yang ada dalam diriku?
Aku gali itu, kupelajari, dan, ya, aku memang berbeda dari mereka. Memangnya kenapa? Memang dengan tubuh sendiri yang kumiliki ini aku tidak bisa berkarya? Semua pasti punya kelebihan dan kekurangan, fokus mengembangkan potensi dalam diri dapat membangkitkan semangat dan mengikis rasa insecure ini.
Aku percaya setiap manusia memiliki potensi mengagumkan dalam dirinya dengan versi yang berbeda-beda pula. Tidak semua orang harus tahu potensi apa yang ada dalam diriku. Tapi belajar mengenali potensi diri sendiri itu harus.
Tidak perlu menjadi orang lain, karena jika hal itu dilakukan harapan akan datang menganggu semangatmu. Harapan hanya mendatangkan kejelekan yang dimana sudah diberikan potensi gemilang diabaikan dengan hanya duduk diam, sekedar berharap tanpa aksi.
Meski fisikku tidak seputih, semulus, selangsing bagaikan dia sang dewi, hal ini dapat diimbangi dengan pengetahuan dan skill yang kupunya. Maka dari itu, mengasah kelebihan untuk menarik orang aku rasa lebih baik dilaksanakan ketimbang insecure tanpa batas.
Jika dilihat dengan pikiran terbuka, fisikku saat ini sudah terasa cukup. Harusnya rasa syukur yang menyelimuti. Tetes air mata mengalir jika melihat orang-orang yang tidak dikaruniai kesempurnaan fisik sepertiku. Mungkin buta, tuli, pincang, atau bibir sumbing. Bahkan mereka yang tidak sempat memikirkan penampilan fisik karena untuk makan saja sulit.
Hal-hal tersebut seharusnya dapat membuatku lebih bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan untuk kita. Rasa syukur dapat membuat seseorang menikmati hidupnya secara positif.
Sadarilah bahwa setiap orang mempunyai festival kehidupan, setiap orang memiliki panggung dan aksi sendiri. Jangan tinggalkan panggung sendiri hanya untuk menonton panggung orang lain. Beranilah beraksi di panggung sendiri, hadapi dan berbanggalah kamu sudah mencapai titik ini.
Perihal sukses atau gagalnya di panggung, bisa kita pikirkan nanti. Karena pasti akan ada hasil yang indah serta terasa lebih berarti kala proses dijalani dan dinikmati. Hal itu akan jauh lebih berarti bagi diri kita sendiri sekaligus ajang evaluasi untuk membenah diri. [T]