Andai Tuhan tak sabar memberi kesempatan saya untuk masih menjadi guru, mungkin saya sudah menjadi orang terkenal yang diiberitakan dan diperbincangkan dimana-mana. Bukan menjadi selebritis atau selebgram, tapi menjadi headlines sebuah berita di media massa.
Judulnya mungkin seperti ini: “Seorang guru tewas terjatuh di lereng Batukaru saat mendakii. Menghebohkan tapi tragis”.
Itu bermula dari suatu senja, di akhir Desember 2020, tiga serdadu SIDHABU (sebutan untuk anggota dan mantan SIspala DHArma BUwana, SMP N 2 Melaya) berkunjung ke rumah dengan misi, bukan saja untuk menjaga hubungan baik, antara guru dan mantan murid, tetapi yang utama adalah permintaan untuk mengawal mereka mendaki Gunung Batukaru.
Mereka sangat paham bahwasanya saya sangat sulit menolak untuk diajak kegiatan seperti itu. Karena mereka tahu, kami berada pada frekuensi yang sama, yaitu sebagai mahluk penikmat kesunyian dan pemuja rimbunnya belukar.
Singkat cerita, kami memutuskan untuk merayakan Natal dengan mendaki Gunung Batukaru.
Setelah memperdebatkan rencana aksi, dan mempersiapkan segala keperluan, keesokan pagi, sekitar jam 5.30 kami berenam, terdiri dari tiga anggota SHIDABU, satu teman SMA mereka, saya dan anak lelaki saya, ,bergerak dari Negara dengan tiga sepeda motor menuju Pura Malen, di Pujungan, Pupuan, Tabanan. Pura Malen sebagai Starting point pendakian.
Sekitar jam 10.00 kami memulai pendakian dengan semangat yang sangat membara. Bukan hanya karena pengalaman kami yang masih minim dalam mendaki, yang menumbuhkan rasa antusias yang tinggi, tetapi lebih kepada sensasi menelusuri hutan yang masih sangat asri dan seni.
Ada ketakjuban yang tak terkatakan. Juga harapan, andai saja semua gunung dan hutan di semua tempat masih seperti ini. Tentu keberadaban kita terhadap mahluk lain yang katanya masih di bawah kita levelnya, tidak perlu diperdebatkan lagi.
Setelah hampir tujuh jam pendakian, karena kami memang tidak ngegas pol untuk segera sampai ke puncak, karena prinsip kami justru proses pendakianlah yang menjadi skala prioritas untuk dinikmati. Kami sampai di puncak dengan bahagia.
Bergegas kami membangun dua tenda, karena gerimis mulai turun. Kemudian segala bentuk rutinitas berkemah di puncak gunung pun kami lalui. Mulai dari kegiatan masak sederhana, bermodalkan mie instan, telur rebus dan sosis, bermain gitar, dan menyalakan api unggun “sampah”, serta obrolan ringan pengantar tidur.
Hal istimewa yang bisa dikenang malam itu adalah dinginnya udara yang sangat menyengat. Logikanya, di puncak ketinggian pasti dingin, tapi ini lebih dari biasanya, menurut saya.
Saya mengenakan dua celana panjang tebal, kaos kaki ganda, dengan kombinasi dua kaos lengan pendek dan panjang, jacket tebal, kupluk di kepala, serta selop tangan tebal, tidak mampu membendung dinginnya udara malam itu.
Akhirnya dengan mengkonsumsi air panas, saya baru bisa terlelap beberapa saat. Sungguh pengalaman pertama menghabiskan malam dengan sangat kedinginan.
Keesokan pagi, setelah berfoto-foto bersama dengan sunrise dan suasana sekitar, kenangan yang tak terlupakan itu terjadi. Saat itu, saya bersama anak memutuskan untuk mendahului turun dengan pertimbangan agar tidak terlalu jauh tertinggal dan bisa sampai di bawah bersamaan, mengingat kemampuan fisik saya yang berbeda dengan mereka.
Mereka setuju dengan syarat saya dikawal salah satu dari mereka. Bahkan mereka juga membekali saya dengan trekking pole –nya. Juga, di saat turun itu, saya menemukan sebuah tongkat bekas pendaki lain yang terbuang. Tongkat itu saya berikan ke anak saya untuk digunakan.
Beberapa menit berjalan, keteledoran kecil yang berdampak saya nyaris celaka, atau bahkan nyaris pulang tinggal nama. Saya terjatuh ke lereng gunung yang terjal dan dalam. Setapak yang nampak normal, dengan rumput yang masih utuh, ketika diinjak ternyata lubang yang tidak berisi tanah.
Hujan yang terus menerus di musim itu rupanya telah menggerus tanah di bawah rumput. Saya terjatuh dalam posisi salto dua kali, dan beruntung ada pohon paku atau pakis besar bisa saya raih.
Kepanikan anak dan murid pengawal saya terdengar dari teriakan mereka yang terus menerus memanggil nama saya. Saya baru bisa membalas panggilan itu setelah menyadari bahwa saya baik-baik saja. Hanya kupluk kesayangan saya yang hilang. Selebihnya semua aman.
Dengan tenaga yang tersisa saya perlahan mulai mendaki mendekati mereka . Kesulitan terjadi saat saya harus naik ke setapak, sementara kondisi medan licin dan longsor. Beruntung saya dbekali trekkng pole dan tongkat pungut tadi.
Dengan kerja keras, masing-masing dari mereka menarik saya dengan bantuan tongkat-tongkat itu.. Kami menenangkan diri sesaat sebelum melanjutkan perjalanan turun. Sambil menghela nafas saya merenung, ternyata ada hikmah dari trekkng pole dan tongkat pungut itu. Mereka telah menyelamatkan saya.
Dan yang lebih beruntung lagi, pengalaman gelap itu tak mampu menghitamkan passion saya untuk mendaki dan masuk hutan lagi. Kecintaan saya masih sangat besar dan utuh. Justru, itu memotivasi saya untuk mendaki lagi dan lagi. Tentu dengan memprioritaskan keselamatan dan keamanan pendakian.
Bahkan ada keinginan untuk mengajak lebih banyak orang lagi, untuk lebih mencintai alam dengan kegiatan ini.
Bagi sebagian orang, dari cerita mereka yang saya dengar dan baca, selain sebagai bentuk pembuktian keperkasaan diri menaklukan ketinggian dengan berjalan kaki, mendaki juga bagus untuk menyegarkan pikiran dari kejenuhan rutinitas. Disamping, kegiatan mendaki juga terkatagori kegiatan yang sangat ramah dengan sosial media. Dan masih banyak lagi alasan lainnya yang bersifat personal.
Namun bagi saya, mendaki adalah ruang untuk berbalas budi atas apa yang gunung dan hutan telah berikan. Sekaligus, sebagai ajang untuk beramah tamah dengan semesta. Dengan mendaki, keinginan untuk melestarikan alam, khususnya gunung beserta isinya semakin tinggi. Selalu tumbuh niat untuk menjaganya dari kerusakan.
Mungkin terdengar naif dan sangat klise, tapi itulah perasaan yang tidak bisa saya pungkiri. Bagi saya dengan mendaki, kita bisa lebih mengakrabkan diri dengan alam, mengenali dan memahami dari dekat, sehingga timbul rasa cinta, yang berujung pada rasa sayang yang dalam dan tulus.
Walaupun memang tak semua kegiatan mendaki berdampak positf bagi alam. Masih sering kita jumpai beberapa aksi yang kurang terpuji dari beberapa oknum pendaki, yang menurut saya, mereka masih belum siap mental untuk memahami esensi dan sensasi dari mendaki.
Seperti, masih ada saja pendaki yang membuang sampah plastik bawaan mereka atau anorganik lainnya disepanjang perjalanan pendakian. Atau tindakan menulisi pohon dengan pisau atau tinta sebagai bentuk pengakuan eksistensi. Mereka hanya butuh kesadaran diri tanpa perlu menambah regulasi lagi. Dan itu butuh proses.
Juga, meski mendaki memilki dampak negatif lainnya, utamanya bagi pendaki, seperti mengalami kedinginan, atau terjatuh, atau hal lain yang bahkan sangat membahayakan jiwa pendaki jika terjadi kesalahan dalam melakukannya, menurut saya, itu adalah hal biasa yang juga bisa terjadi pada kegiatan atau aktivitas yang lain. Sebagaimana konsep Rwa bhineda, hitam dan putih pasti akan selalu ada di setiap aspek kehidupan sebagai bentuk sebuah keselarasan. [T]