Kintamani dengan kaldera Gunung Baturnya merupakan suatu kawasan yang istimewa di atas bumi yang dilindungi dan dijaga kelestariannya. Bumi tanpa laut yang memiliki nilai ekologi dan warisan budaya yang berfungsi sebagai daerah konservasi, riset, ilmu pengetahuan, dan pelestarian budaya.
Kaldera Gunung Batur yang digadang-gadang memiliki pengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat sekitarnya, di sektor pariwisata. Para peneliti dan ribuan wisata asing, sudah, sedang, dan akan berduyun-duyun mengunjunginya, begitu pula dengan wisata lokal pun tertarik, kemudian ingin tahu apa keistimewaan tempat itu. Bahkan, seorang musisi kawakan, Ebit G. Ade, dalam lirik lagunya “Sejuk Lembut Angin di Bukit Kintamani” mendeskripsikan bahwa tempat ini memang menyimpan keindahan yang menarik untuk dikunjungi, dipelajari, dan dikenang sepanjang peradaban.
Panorama Gunung Batur yang dikombinasikan dengan danaunya yang berbentuk bulan sabit sebagai pelengkap keindahan bumi tanpa laut ini. Berbagai aktivitas bisa dilakukan, mulai dari menikmati keindahan Gunung Batur, memandang kaldera danau Batur yang dinilai sebagai kaldera terindah di dunia. Para wisatwan juga bisa mendatangi musium Gunung Api Batur, sembari menikmati alam, tidak lupa juga mencicipi kuliner khas Kintamani yaitu mujair nyat-nyat.
Kintamani, Bangli memang satu satunya daerah di Bali yang tidak memiliki kawasan laut. Namun, melihat segala potensi yang dimiliki, Kaldera, Kintamani bisa bersaing dengan daerah-daerah lain. Karena Kintamani memiliki sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh daerah lain, menjadi daerah yang di akui oleh UNESCO menjadi tujuan utama destinasi wisata dunia, sehingga ini akan mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitarnya.
Melihat segala potensi yang dimiliki, tentu hal ini seyogyanga menjadi sebuah kelebihan tersendiri. Namun, sampai kini memang masih banyak probelem yang ada. Dengan modal alam yang cantik memesona, tidak serta-merta membuat kawasan Kintamani dengan kalderanya menjadi daerah tujuan pertama dan utama destinasi wisata itu. Bahkan Kintamani dengan kawasan kalderanya yang memeosa hanya menjadi tempat persinggahan sementara bagi wisatawan lokal maupun asing. Kondisi ini menjadi catatan penting.
Berbekal sumber daya alam yang mendukung dan memesona itu seharusnya mampu menopang kesejahteraan masyarakat, tetapi kondisi itu belum bahkan tidak menjadi jaminan. Realitanya, masih banyak yang harus dikerjakan dalam upaya penataan lingkungan pariwisata, mulai dari sampah, abrasi lingkungan saat musim penghujan, pencemaran dan yang lainnya. Begitu pula dengan pengelolaan pariwisata yang baik.
Lantas hal apa yang membuat Kaldera, Kintamani tidak menjadi tujuan utama destinasi wiasata? Tentu ini dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya sampai saat ini pariwisata hanya berbasis alam, tidak adanya kolaborasi antara budaya dan pariwisata alam yang memesona sehingga ini menjadikan faktor lemahnya pariwisata Kaldera, Kintamani. Kondisi ini yang menyebakan turisme datang ke Kintamani hanya sekadar lancong, makan, minum, dan kencing. Karena tujuan wisatawan datang hanya untuk menikmati pesona alam.
Jadi, memperkenalkan kebudayan lokal yang menarik minat wisatawan sehingga Kintamani menjadi tujuan utama destinasi wisata nyaris tidak ada. Misalnya, memperkenalkan lebih dalam dan lebih luas tarian barong berutuk yang berasal dari Desa Trunyan melalui festival-festival yang bernunsa budaya, selain itu juga di daerah Kaldera tentu memiliki seniman yang luar biasa yang bakat dan kemampuan tidak terlihat karena kurang diekspos atau didak diorbitkan untuk menjadi daya tarik pariwisata.
Kintamani dengan kalderanya pernah mencapai puncak kejayaan pariwisata pada era 80-an, saat itu pariwisata yang dipadukan dengan budaya yang digagas oleh Sutan takdir Alisjahbana (STA). Ketika itu Pariwisata di Kaldera menjadi hal yang luar biasa dan menjadi puncak keemasan. Namun, seiring diseretnya oleh waktu, membuat budaya mulai di tenggelamkan. Kini pariwisata yang lebih didominasi oleh tujuan tunggal, material. Kondisi ini juga membuat perkembangan pariwisata tidak memenuhi target yang diinginkan oleh semua pihak. Bahkan tidak menutup kemunngkinan akan stagnan atau antiklimaks.
Inilah sebuah kecemasan pariwisata untuk masa depan Kintamani. Mengapa hal ini tidak pernah dilihat sebagai sebuah keseriusan yang perlu dianalisis kelemahannya untuk dimaksimalkan kekuatan yang ada. Ini tentu bukan saja disebabkan oleh kebijakan pemerintah daerah, melainkan semua lapisan masyarakat. Karena semua pelaku ekonomi pariwisata hanya mementingkan nilai ekonomi tanpa memperhatikan perkembangan dan kemajuan pariwisata ke depaanya.
Kini di tengah dan pasca pandemi, bagimana dengan geliat infrastuktur yang digenjot di wilayah kaldera? Pembangunan vila, tempat-tempat camp yang menjamur, cotage, dan viw-viw panorama yang diintegrasikan dengan tempat ngopi sambil refresing, dan selfi di wilayah kaldera? Apakah ini mengindikasikan harapan baru pariwisata atau sebuah harapan pasca pandemi. Sampai saat ini, kondisi ini nampaknya sebagai langkah awal untuk mengembalikan kejayaan pariwisata di Kaldera, Kintamani, dan Bangli pada umumnya.
Maka, akan lebih lengkap dan komplit jika strategi pembangunan kepariwisataan ini dipadukan dengan kegiatan-kegiatan budaya lokal yang ada di daerah itu sendiri, misalnya mengembangkan pariwisata yang diimbangi dengan pengenalan budaya yang menarik minat wisatawan, seperti mengenalkan wisatawan lokal maupun dunia tentang budaya desa-desa Bintang Danu, seperti ekowisatanya Songan, Brutuknya Trunyan, kuliner nayat-nyatnya, kopi arabikanya Kintamani, anjing Kintamani yang mulai langka, dan yang lainnya. Bisa juga dengan festival yang berkala yang melibatkan orang banyak, seperti tarian, gambelan, drama panggung yang mengandung nilai budaya dan sejarah yang penting.
Kegiatan kegiatan seperti itu yang dapat dikemas dalam bentuk pesta kesenian berbasis desa (PKD) untuk edukasi generasi muda desa untuk terus memanuver wisata budaya untuk terus dikembangkan. Karena ini akan membuat minat wisatawan datang ke Kaldera, Kintamani, bukan hanya sekadar untuk singgah, tetapi menjadi tujuan utama. para wisatawan bisa datang, kemudian mau belajar tentang budaya kita, pemerintah daerah perlu mendukung, dan memfasilitasi untuk potensi daya tarik wisata berbasis budaya yang berada di kintamani.
Terkait masalah pembangun pariwisata yang belum selesai, perlu dilihat kelemahan yang perlu diperbaiki, mulai dari edukasi masyarakat, investasi pariwisata, memadukan budaya dan pariwisata tersebut, dan yang paling penting adalah fasilitas, dan daya dukung pariwisata. Memfungsikan bangunan atau fasilitas yang mendukung akselerasi pariwisata yang tepat guna dan sesuai kebutuhan saat ini sudah selayaknya dilakukan agar tidak menjadi bagunan mati. Seperti pemanfaatan kembali pasar seni geopark, dengan mengembangkan pasar yang bebasis budaya, seperti menjual sompernir yang menjadi ciri khas di Kintamani, seperti hiasan yang menyerupai pemandangan Gunung Batur, menjual patung atau kerajinan yang membentuk anjing Kintamani, dan yang lainnya.
Untuk menyempurnakan tempat yang memiliki ikon pariwisata dengan brand Geopark ini, memang menjadi pekerjaan tidak mudah. Akan tetapi, apabila semua elemen mampu berkeja sama dengan baik, manajemen yang rapi, kalaborasi yang manis, dan memilki komitmen tinggi untuk memajukan pariwisata Kintamani, maka semua proses yang telah dikerjakan selama lama ini hanyalah tinggal menunggu waktu untuk memetik hasilnya. Kintamani dengan kalderanya akan “landing” dan akan bersaing dengan daerah daerah lain, yang sudah lebih dulu hebat.
Tentunya wilayah Kaldera tidak akan lagi menjadi tempat persinggahan sementara wisatawan, tidak akan menjadi kecemasan, tetapi akan menjadi tujuan utama wisatawan. Kintamani dengan kalderanya akan kian mendunia, akan memberikan dampak juga bagi kemakmuran rakyat, pendidikan anak-anak yang kian meningkat, serta yang paling penting adalah Kintamani bisa menjadi andalan untuk bersaing di kancah dunia pariwisata. [T]