Sebagaimana diberitakan di medsos, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden AS Joe Biden, Senin, 1 November 2021, di Scottish Event Campus Glasgow Skotlandia, Inggris. Pertemuan yang berkaitan dengan konferensi tingkat tinggi PBB tentang perubahan iklim COP 26.
Konferensi tingkat tinggi yang ditunggu hasilnya oleh masyarakat global, dan program aksinya, akibat dampak dari krisis perubahan begitu nyata: peningkatan intensitas bencana alam hidrologi, penurunan produktivitas di sektor pertanian dan sejumlah dampak negatif lainnya.
Dalam pertemuan di atas, Presiden Joko Widodo menyampaikan arti penting dari pengembangan ekonomi hijau, upaya Indonesia menekan emisi karbon antara melalui pengendalian kebakaran hutan dan rencana Indonesia untuk melakukan rehabilitasi hutan bakau seluas 600 ribu hektar untuk 3 tahun mendatang.
Pernyataan Presiden ini, dapat mengingatkan kembali akan arti penting strategi pembangunan yang bersahabat dengan lingkungan, didukung oleh program aksi kongkrit yang membumi berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan, serta didukung dengan penegakan hukum lingkungan yang tegas dan berwibawa.
Modernisme yang bersahabat dengan lingkungan, di era krisis perubahan iklim yang begitu nyata, mempersyaratkan antara lain:
Pertama, penyelamatan alam dan lingkungan sosialnya adalah ” harga mati “, sehingga korupsi kekuasaan untuk menguasai ” bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya “, menyitir rumusan pasal 33 UUD 1945 yang konon dirumuskan oleh Bapak Pendiri Bangsa Mohammad Hatta, sudah semestinya diakhiri.
Kedua, upaya serius pemerintah untuk menarik investasi, semestinya tetap diletakkan dalam konteks penyelamatan alam dan lingkungan, karena kerusakan alam dan lingkungan, menurut para pakar telah melewati ambang batas kemampuan alam untuk menjaga keseimbangannya. Pemberian “karpet merah” berlebihan kepada investor dan calon investor melalui aturan yang ada, semestinya dihentikan, karena punya potensi merusak alam lebih jauh dan lebih dalam, serta menyinggung rasa keadilan masyarakat.
Ketiga, modernisme berbasis kearifan lokal yang respek pada alam semestinya terus didorong pada masyarakat lokal dan masyarakat adat, tidak sebaliknya terus digusur dan terpinggirkan.
Kearifan lokal seperti Tri Hita Karana di Bali, dan kearifan lainnya yang ada pada masyarakat lainnya di Indonesia, diberikan landasan hukum yang kuat dan kemudian didukung dengan strategi modernisasi yang menyelamatkan mereka secara lingkungan alam fisik dan juga budaya. [T]