Hari Kamis, 28 Oktober 2021 kita bersama sebagai bangsa merayakan 93 tahun Sumpah Pemuda. Sumpah yang merupakan Ikrar Pemuda-Pemudi Indonesia yang menyatakan bertumpah darah satu, tanah Indonesia, mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia, menjujunjung berbahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda yang punya nilai historis tinggi ini, merupakan hasil keputusan Kongres Pemuda II, tanggal 27 – 28 Oktober 1928 yang diselenggarakan oleh PPPI ( Persatuan Pelajar – Pelajar Indonesia ) di Jakarta. Peristiwa ini, oleh beberapa sejarahwan dinilai sebagai Deklarasi Kebudayaan cum Politik, yang menggambarkan kecerdasan visioner, kecerdasan menatap masa depan bagi anak-anak bangsa. Peristiwa ini berlangsung 17 tahun, sebelum Deklarasi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Menyimak pergulatan pemikiran, garis perjuangan sejumlah Bapak-Bapak Pendiri Bangsa, sangat tampak ” benang merah ” kesejarahan antara Ikrar Pemuda-Pemudi di atas dengan spirit perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajah dan kemudian memerdekan diri sebagai bangsa.
Mengambil inspirasi dari peristiwa Sumpah Pemuda 93 tahun yang lalu itu, timbul pertanyaan reflektif berdimensi jauh ke depan, apa dan bagaimana kepemimpinan visioner bangsa semestinya dikembangkan, di menyongsong 100 tahun Indonesia Emas, 24 tahun yang akan datang? Pertanyaan reflektif yang pantas diajukan, di tengah-tengah realitas politik dimana sebagian besar elite politik, fokus ke siklus politik 5 tahunan Pemilu yang berdimensi jangka pendek. Secara berseloroh seorang pengamat politik berpendapat, sebagian elite politik “menderita” rabun jauh, dalam artian kurang mampu melihat dengan perspektif jangka panjang.
Kepemimpinan visioner bangsa di menyomgsong Indonesia Emas 24 tahun yang akan datang, sebut saja mempersyaratkan, pertama, kepemimpinan yang mampu meminimalkan kecendrungan politik purba berbasis SARA, yang punya potensi besar memecah belah bangsa, untuk kembali ke “khitah” Sumpah Pemuda di atas.
Kedua, dalam realitas ekonomi dan kecendrungannya yang sangat kapitalistik yang sangat mencidrai rasa keadilan massa rakyat, berbarengan dengan fenomena mengerasnya fenomena politik berbasis SARA, kecendrungan ekonomi politik yang terlalu ke Kanan ini, semestinya diimbangi dengan kepemimpinan yang mampu membawa bandul ekonomi politik ke Kiri,yang bercirikan sebut saja Sosialisme Demokrat.
Ketiga, dalam filosofi kepemimpinan dikenal ucapan, memimpin adalah menciptakan masa depan bagi warganya, sehingga kepemimpinan visioner mampu menjawab jiwa zaman, geist, yang lazimnya direspons lebih cerdas oleh generasi mudanya, generasi milenial. [T]