Sama seperti layangan, penggemar pindekan, pinjekan, atau baling-baling tradisional, makin meluas di Bali.
Kini banyak anak muda gemar membuat dan bermain pindekan.
Ini fenomena. Mereka menolak melupakan permainan tradisional di tengah maraknya berbagai macam pemainan modern yang kian mudah diakses.
Ruang rekreasi anak muda sekarang seakan diliputi oleh rasa rindu terhadap masa lalu, selain mungkin menguatnya imaji-imaji spiritual.
Pindekan adalah simbol masa lalu, bagian dari budaya agraris. Dulu benda ini lazim dipakai oleh petani sebagai alat pengusir burung di sawah.
Pindekan juga bagian dari ritual, sering dihadirkan dalam upacara besar, seperti ngenteg linggih.
Sebagaimana layangan, pindekan adalah bagian dari mitologi Rare Angon, yakni tokoh manifestasi dari Dewa Siwa yang dianggap sebagai pelindung dan teman bermain anak gembala seusai panen di sawah.
Secara spiritual, tokoh Rare Angon sangat dihormati oleh masyarakat Bali karena itulah ia ada dalam ritual keagamaan, termasuk dalam bentuk simbol berupa pindekan ini.
Di musim angin sekarang, pindekan banyak dipasang di rumah-rumah penduduk dengan tiang bambu. Putaran baling-balingnya memamerkan suara yang seru menderu-deru.
Ternyata pindekan itu tidak hanya asal bunyi. Para penghobi tahu mana suara pindekan yang bagus mana yang tidak.
Pindekan tidak cukup hanya berputar kencang tapi harus dapat memproduksi bunyi yang bagus, yang ada irama dan aksen tertentu. Dan di situlah letak kesulitan dan keasyikannya.
Membuat pindekan agar dapat mengeluarkan suara yang bagus perlu kesabaran, teknik serta pengalaman yang cukup.
Bermain pindekan memiliki kesulitan dan tantangan tersendiri yang sama sekali tidak mudah. Karena itu para penghobi pindekan bahkan sampai membuat sekaa sebagai tempat mereka berbagi pengalaman, bertukar informasi dan perkembangan teknik, sambil terus berkarya membuat pindekan terbaik.
Untuk memainkan pindekan yang baru selesai dibuat, mereka biasanya pergi ke tanah lapang atau pantai, dimana angin kencang tersedia melimpah yang akan memutar pindekan mereka. Seperti dilakukan sejumlah anak muda Sukawati, Gianyar ini yang bermain pindekan di Pantai Purnama, sore kemarin.
Saat bermain, mereka telihat asyik menikmati dengung pindekannya masing-masing. Mereka mendengarkanya dengan seksama. Jika dirasa suaranya kurang bagus, mereka akan menyetel lagi pindekannya dan itu bisa berulang-ulang sampai mereka bisa mendapatkan suara yang diinginkan. Tapi itu sulit bahkan mereka lebih sering gagal mendapatkan suara yang dikehendaki. Jika sudah demikian maka mereka akan membuat lagi pindekan baru untuk dimainkan di hari lain.
Saat membuat pindekan, di dalam hati mereka selalu ada suara yang dirindukan seperti merindukan seorang kekasih. Mereka bertekad untuk mendapatkan atau mewujudkan suara tersebut lewat bilah-bilah pindekan yang dibuatnya
Mereka membuat pindekan dari kayu. Ujung baling-balingnya memakai semacam senar untuk memproduksi suara, dan ada pemberat dari lempengan timah di bagian punggung sebagai penyeimbang.
Bilah pindekan ini dibuat secara manual, diraut menggunakan pisau, melibatkan keterampilan, kepekaan dan seni tersendiri yang asyik. [T]