Apa sebenarnya yang sedang terjadi hari-hari ini? Sejak beberapa hari lalu, setiap tengah malam saya kerap mendengar suara-suara aneh, berisik, kadang ada ledakan-ledakan yang diikuti jeritan dan bau hangus, datang dari arah jalan di sekitar rumah. Peristiwa ini bisa berlangsung beberapa kali dalam satu malam hingga menjelang subuh.
“Ini aneh,” pikir saya, “tak biasanya ada keributan di sini. Ada apa sebenarnya?”
Karena penasaran, tadi malam saya mencoba mengintip dari jendela lantai atas. Pelan-pelan saya singkap tepi gorden dan menengok ke bawah mencari-cari sumber suara itu. Tapi saya tidak melihat siapa pun.
Saya berdiri cukup lama di balik kaca jendela, menunggu-nunggu siapa tahu suara-suara itu tiba-tiba muncul. Hp pun sudah saya siapkan untuk mengambil gambar. Namun sejauh itu suasananya tetap saja sepi jampi. Tak terjadi apa-apa. Tak ada suara-suara. Jalanan dan gang-gang diam membeku. Lampu-lampu di tiang listrik seperti mata lelah, sinarnya layu dan kemerahan. Semua toko dan warung masih tidur nyenyak. Tak ada pergerakan. Tak ada kehidupan. Suasana malam sepenuhnya dikuasai kesunyian yang bisu. Segelintir angin pun tak ada yang lewat. Saya hanya bisa bengong sambil beberapa kali menghela napas, melepaskan suasana tegang dari pikiran.
Karena tak menemukan apa-apa, kain gorden saya rapatkan kembali. Saya bermaksud tidur meskipun masih diliputi rasa penasaran.
Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana sunyi di luar seperti merayap masuk rumah dan itu membuat kamar saya tiba-tiba terasa senyap.
Saya ke toilet, buang air kecil. Karena suasana rumah sepi, bunyi air flash dari kloset terdengar sangat nyaring dan bergemuruh. Begitu juga aliran air yang mengisi kembali tangki kloset. Seakan-akan suara kucuran air itu terus merayap, mendengung panjang, dan memantulkan gema bisingnya ke seluruh ruangan.
“Malam yang aneh,” kata saya dalam hati sambil menutup kloset dengan hati-hati. Saya sempat menoleh ke cermin dan melihat sekelebat bayangan melintas di sana, selekas gerakan tubuh saya yang beranjak meninggalkan toilet.
Sewaktu menutup pintu, tiba-tiba telinga saya menangkap suara-suara bergetar dari arah kejauhan. Semakin lama semakin jelas dan mendekat di bawah jendela. Suara itu tak putus-putus dan terus sambung menyambung bagai gelombang yang datang dari arah utara.
“Wah, suara-suara itu datang,” saya berkata pada diri sendiri sambil mendekat ke jendela.
Pelan-pelan saya singkap gorden dan menempelkan kepala di jendela agar bisa melihat ke bawah. Dada saya berdegup kencang ketika saya melihat ada serombongan orang tiba dengan serta merta dan berkerumun di depan toko di seberang rumah saya.
Karena agak gelap saya tak dapat memastikan jumlah mereka. Mungkin 15 orang. Mereka tampak seperti sosok-sosok misterius yang terus bergerak-gerak dalam rombongan mereka sambil mengeluarkan suara-suara menggumam. Tak jauh dari situ, sekitar 20 meter di belakangnya, juga ada rombongan lain, dengan tingkah laku serupa, terus bergerak-gerak dan mengeluarkan suara-suara aneh.
Mereka terlihat sebagai sosok-sosok berpakaian hitam, ikat kepala merah. Rambutnya gimbal sebahu. Sorot matanya tajam penuh selidik. Saya tak dapat mengenali mukanya karena tersamarkan oleh polesan pamor. Tapi saya tahu mereka sedang bersiaga dengan senjatanya masing-masing. Sebagian di antaranya terus mengacung-acungkan senjatanya ke udara sambil mendengus yang suaranya terdengar bagai gagak batuk.
Saya perhatikan gerak-gerik mereka dan bertanya-tanya dalam hati: Siapa gerangan mereka. Mengapa malam-malam bikin keributan di jalan?
Sesaat suasana jadi hening ketika sosok-sosok berpakaian hitam itu membuat gerakan ancang-ancang. Mereka menarik tubuhnya agak ke belakang dengan lutut merendah, tangannya menggenggam senjata terhunus di dada.
Kemudian sosok yang berdiri paling depan, mungkin itu pemimpinnya, tiba-tiba berteriak dengan suara melengking dan menyeramkan: “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Serbuuu…!” Secara serentak, seluruh anggota rombongan itu melesat ke depan. Tubuh mereka terlontar secepat krebek dan lari sekencang-kencangnya, bagai air bah, sambil berseru-seru, “Hancurkan… hancurkan…!”
Mereka meluncur ke selatan, berkelebat bagai bayangan menerobos pekatnya malam, seakan hendak menyergap sesuatu di sana. Mata saya terus mengikuti pergerakan mereka.
Sesampai di perempatan, tanpa membuang waktu, seluruh anggota rombongan langsung terlibat pertempuran. Mereka menyabit-nyabitkan senjatanya dengan ganas ke kanan atau kiri, berusaha menebas dan menghabisi musuh di tengah kegelapan.
Mereka bertempur laksana pendekar. Sesekali ada yang meloncat ke atas tembok atau pohon, yang lain menerjang ke belakang semak-semak seakan-akan musuh sedang sembunyi di sana.
Yang paling seru tentu saja ketika dari senjata mereka berkali-kali keluar percikan-percikan api yang kemudian meledak menjadi kembang api seakan hendak membakar habis lawan-lawannya. Percikan api itu menyambar ke mana-mana.
Pertempuran brutal dan riuh di perempatan ini berlangsung sekitar lima menit sebelum akhirnya mereka semua dengan cepat melesat ke arah barat mengejar musuh-musuhnya yang kocar-kacir melarikan diri.
“Berhenti!” teriak pimpinan mereka ketika tiba di ujung jalan, “kita tidak perlu mengejarnya lagi. Mereka sudah masuk Jalan Kenyeri. Itu bukan wilayah kita. Biarkan Pasukan Jalan Kenyeri yang menghadang mereka. Sekarang kita kembali ke Jalan Gumitir.”
Rombongan ini berbalik, kembali ke wilayah mereka di Jalan Gumitir sesuai perintah pimpinannya. Di perempatan, di arena pertempuran tadi, mereka lalu berkumpul dan istirahat untuk memulihkan tenaga.
Di sini mereka duduk berkerumun sambil menghilangkan lapar-dahaga. Ada yang minum arak, brem atau tuak, sambil mengunyah nasi warna-warni. Ada nasi berwarna merah, kuning, putih, dan hitam.
“Kita sedang berhadapan dengan musuh yang licin. Susah dikalahkan. Mereka seperti memiliki ajian rawarontek. Cepat sekali mereka memecah diri, mati satu tumbuh lagi yang lain.” Mereka itu mulai mengobrol ketika situasi agak tenang.
“Betul. Mereka kecil tapi gesit. Padahal mereka tak melawan. Tadi tenaga saya sudah terkuras tapi musuh tak ada habis-habisnya,” ujar temannya dengan napas ngos-ngosan.
“Mungkin senjata kita ini tidak tepat, tidak bisa membasmi mereka dengan cepat,” kata salah seorang di antara mereka.
“Tidak, Bung. Senjata kita ini cukup bertuah. Namanya saselet atau sasuwuk. Bahannya memang dari pandan berduri dilengkapi bawang merah dan bawang putih, tapi duri-duri ini dapat mengeluarkan percikan-percikan api gaib untuk menghanguskan musuh,” jawab rekannya.
Lalu pemimpin mereka berkata, “Sekarang musuh memang belum tunduk. Kita tunggu saat mereka lengah dan lemah. Semua ada waktunya. Kita adalah Pasukan Penjaga Lebuh. Kita harus tetap optimis. Semangat…!” teriaknya sambil mengacungkan senjata saselet-nya.
“Semangat…!” Sahut mereka secara serentak dan mengepal-ngepalkan tangan ke atas.
Sementara kelompok kedua yang sedang berkerumun di utara diminta membubarkan diri dan kembali berjaga-jaga di setiap pos di depan pintu rumah atau persimpangan, sambil terus mengawasi pergerakan musuh di sepanjang Jalan Gumitir ini.
Di tengah keasyikan ngobrol dan minum-minum itu, kemudian terdengar pekikan-pekikan dari arah Jalan Kenyeri. Rupa-rupanya Pasukan Penjaga Lebuh Jalan Kenyeri saat ini sedang bertempur menghadapi musuh di sana. Berkali-kali pula terdengar ledakan serta pijaran kembang api dari dalam pertempuran itu.
Saya tidak tahu berapa lama pertempuran itu berkecamuk. Saya juga tidak tahu, apakah mereka dapat menghabisi musuhnya?
Malam semakin mendekati pagi. Entah bagaimana, para Tentara Penjaga Lebuh itu tiba-tiba saja hilang dari jalan. Mereka lenyap begitu saja tanpa jejak, seperti makhluk gaib. Itu membuat suasana kembali membeku seperti diliputi misteri yang sepi.
Saya menutup gorden dan menjauh dari jendela.
Sekarang saya tahu rupanya pasukan gaib ini dan pertempuran-pertempuran mereka di hari-hari sebelumnya itulah sumber suara-suara aneh yang kerap terdengar oleh saya setiap tengah malam sampai menjelang pagi itu.
Keesokan harinya saya juga tahu, ternyata pasukan gaib bersenjata saselet itu belum berhasil menghabisi seluruh musuh. Masih banyak musuh yang gentayangan. Saya mengetahui itu dari berita saat pemerintah mengumumkan PPKM Jawa-Bali diperpanjang lagi hingga 16 Agustus, yang artinya virus Covid-19 sebagai musuh bersama itu masih belum sepenuhnya tumpas dari sekitar kita.
Lalu saya memeriksa saselet di pintu gerbang rumah saya. Ternyata benda yang terbuat dari daun pandan dengan segala perlengkapannya itu masih terikat di sana walau daunnya sudah mulai layu di ujungnya. Benda ini diikat di situ sejak tiga hari lalu, juga di gerbang rumah para tetangga, melalui sejumlah ritual yang diinisiasi oleh Majelis Desa Adat Provinsi Bali.
Mungkin saselet itu dimaksudkan semacam sikep penolak bala di musim pandemi ini. Tahun lalu ritual serupa telah pula dilaksanakan di Bali, namun tidak menggunakan sarana saselet tapi dengan bentuk “nasi wong-wongan”.
Kemudian saya memeriksa saselet di gerbang rumah saya. Ternyata benda yang terbuat dari daun pandan dengan segala aksesorisnya itu masih terikat di sana meski daunnya sudah mulai layu di ujungnya. Benda ini diikat di sana sejak tiga hari lalu, juga di pintu-pintu gerbang rumah tetangga, melalui sejumlah ritual yang digagas oleh Majelis Desa Adat Provinsi Bali. Mungkin saselet ini dimaksudkan sebagai semacam sikep atau penangkal bala di musim pandemi.
Tahun lalu ritual serupa telah pula dilakukan di Bali, namun tidak menggunakan sarana saselet melainkan berupa “nasi wong-wongan” yang kesannya sangat mistis. [T]