“Aku baru tiga bulan ketika itu. Semua orang di Denmark tahu apa yang terjadi pada 92. Sampai dibuatkan berbagai film, semua pemain-pemain itu masih sangat terkenal di Denmark, itulah arti sebuah kemenangan pada turnamen sekelas Euro. Sudah bertahun-tahun lalu, tapi masih tetap diingat.”
Kata-kata itu diucapkan gelandang Christian Eriksen kurang dari dua minggu lalu, dari pusat latihan timnas Denmark. Semangatnya sangat terasa, terlebih tiga pertandingan penyisihan grup akan digelar di Kopenhagen, kandang mereka sendiri. Meski pasukan Tim Dinamit sama sekali tak masuk tim favorit atau bahkan sekedar tim kuda hitam di EURO tahun ini.
Tapi baru pertandingan pertama dengan Finlandia di Stadion Parken berlangsung empat puluh tiga menit, sebagaimana yang sudah bisa ditonton di layar televisi kemarin, juga bertebaran di media, Eriksen kolaps. Dia tersungkur di lapangan. Tak bergerak. Saat hendak menyambut lemparan bola ke dalam. Tanpa dilanggar oleh pemain mana pun. Dugaan sementara gagal jantung.
Ketika kapten Denmark, Simon Kjaer mendekati Eriksen, memanggil tim medis, disusul kemudian rekan-rekannya mengisyaratkan segera datangnya petugas emergensi, penonton tersadar. Beberapa menutup wajahnya. Yang lain memalingkan muka. Tak kuasa melihat. Ada yang ternganga. Ketakutan. Horor itu nyata.
Seberkelindan apa pun sepakbola dengan sisi-sisi hidup lainnya, ekonomi, sosial bahkan kadang politik, dia tetaplah olahraga permainan. Iya, hanya permainan. Dan hidup itu sendiri jauh lebih penting. Nyawa, keselamatan dan keberlanjutan napas itu sendiri lebih berharga. Maka ketika semua rekan setimnya membentuk barikade melingkar saat tim emergensi bekerja, memberi CPR dan juga bendera pihak lawan, Finlandia digunakan sebagai penutup saat Eriksen dibawa keluar lapangan, kita paham. Sirkus bola, begitu juga sorotan kamera yang mengabaikan etik korbannya tak lebih mulia dari manusianya sendiri. Kalau saja rekan setimnya dan orang-orang di lapangan itu tak peka dan sigap, entah apa yang terjadi pada pemain 29 tahun itu.
Hingga legenda Arsenal, Ian Wright juga mengumpat kepada media yang tetap menyorot dan menyiarkannya, “Kembalilah ke studio ****!” Begitu juga beberapa orang lainnya, kita jadi sadar, ada situasi-situasi yang di luar kontrol dan kendali. Tanpa sengaja jadi drama dan bahan konsumsi. Tanpa mengesampingkan gaung solidaritas, respek, dan kesatuan yang kemudian menggema. Kjaer yang mendekati Eriksen, tim medis yang datang bergegas, penonton yang histeris, Kjaer yang menenangkan istri Eriksen di pinggir lapangan, inikah sisi-sisi lain yang tak bisa dihindarkan itu? Hingga media yang menyiarkannya pun sampai harus meminta maaf. “Kontrol siaran di dalam stadion milik UEFA,” kata televisi itu.
Pun ketika kemudian pertandingan dilanjutkan satu setengah jam setelahnya, atas kesepakatan kedua tim, setelah mengetahui Eriksen siuman dan dalam kondisi stabil di rumah sakit dan di tengah tudingan fans kepada UEFA sebagai lembaga yang rakus dan serakah, kita seperti melihat paradoks. Kelindan permainan dan perjuangan hidup itu nyata adanya.
“Kejadian itu membawa semua ingatan pada apa yang pernah terjadi padaku, dan aku benar-benar menangis dan aku bahkan tidak tahu kenapa dia bisa begitu. Aku hanya berpikir, ayolah Eriksen, ayolah.”
Mantan gelandang Bolton, Fabrice Muamba, sedang berada di rumah temannya, dan baru saja menyetel televisi, ketika dia melihat momen Eriksen terjatuh di lapangan. Muamba segera merasa terteror kembali. Dia menelpon ayahnya. Juga bicara kepada istrinya.
“Dia punya dua anak, dan istrinya ada disana. Aku bicara dengan istriku, yang harus berangkat dari Manchester ke London ketika kejadian itu menimpaku dulu, dan aku bertanya kepadanya, bagaimana kamu menghadapinya?” Ungkap Muamba sebagaimana dikutip Daily Mail.
Muamba kolaps sewaktu Bolton menghadapi Tottenham Hotspur di White Hart Lane 2012 lalu. Usianya 23 ketika itu. Gagal jantung sebagai penyebabnya. Jantungnya tak berdetak selama 78 menit. Di tahun yang sama, atas pertimbangan medis dia memutuskan pensiun sebagai pesepakbola profesional.
Muamba bukan satu-satunya. Dia beruntung selamat. Tragedi yang sama juga menimpa gelandang Sevilla, Antonio Puerta saat melawan Getafe pada 2007. Meski sempat bisa berjalan ke ruang ganti, Puerta kembali kolaps dan akhirnya meninggal di rumah sakit karena kerusakan otak. Usianya pun, baru dua puluh dua tahun.
Pada pertandingan Piala Konfederasi antara Kemerun dan Kolombia 2003 silam, gelandang Marc-Vivien Foe mengalami hal serupa. Foe ditandu keluar lapangan dan setelah empat puluh lima menit usaha tim medis untuk membuat jantungnya berdenyut kembali, dia dinyatakan meninggal.
Gelandang Perugia, Renato Curi, pada usianya yang ke-24, 1977 silam, meninggal karena serangan jantung sesaat setelah jeda babak pertama melawan Juventus. Mantan striker Benfica, Miklos Feher tumbang tak lama setelah diturunkan melawan Vitoria de Guimaraes pada 2004. Pemain Hungaria ini sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong karena masalah aritmia jantung. Masalah serupa dialami mantan gelandang Ajax, Abdelhak Nouri pada pertandingan persahabatan dengan Werder Bremen empat tahun lalu. Dia selamat namun dilaporkan mengalami kerusakan otak permanen akibat insiden itu, sekaligus membuatnya tak bisa bermain bola lagi.
Denmark memang akhirnya kalah dari Finlandia, negara yang baru pentas pertama kali di Euro. Andai tragedi Eriksen tak terjadi, mungkin hasilnya akan lain, pun barangkali kalau toh Finlandia menang, cerita soal kemenangan itu juga akan ditanggapi berbeda. Kita melihat, daripada hasil di papan skor, ada kemenangan lain yang jauh lebih penting.
“Sungguh malam yang berat, dimana kita diingatkan apa yang paling penting dalam hidup ini. Hubungan yang berharga. Orang-orang yang dekat dengan kita. Keluarga dan teman.” Pelatih Denmark, Kasper Hjulmand, tak sedikit pun menyinggung soal kekalahan.
Inilah keluarga yang lain. Keluarga bola. Seperti teriakan striker Belgia, Romelu Lukaku tepat di depan kamera setelah mencetak gol pertama kemenangan 3-0 atas Rusia. “Chris, Chris, I love you…” [T]
____
BACA ARTIKEL EURO YANG LAIN DARI PENULIS KOMANG ADNYANA