Mari berandai-andai jika suatu saat sebuah kelompok teater sudah tak lagi memproduksi pertunjukan, masihkah bisa kita sebut sebagai kelompok teater? Jika suatu saat, kelompok teater ditinggalkan anggotanya, hanya menyisakan satu individu yang dalam proses, semua tugas ia pegang sendiri—sutradara ia, penulis naskah ia, penata musik ia, penata artistik ia, aktor ia, sampai penontonpun juga ia—bisakah kerja demikian disebut sebagai kerja kelompok teater? Apa sesungguhnya arti kelompok? Apa juga pentingnya teater mesti berkelompok?
Walau pada beberapa kasus ada juga yang akhirnya memilih berteater secara mandiri, tetap saja awalnya tak bisa dilepaskan dari ‘peristiwa’ berkelompok.. Seringkali, dalam kebersamaan proses kelompok, kata ‘kita’ menguar dengan lantang. “Kita harus tetap semangat! Ini kerja keras kita! Teater kita harus tetap bergerak! Panggung mesti kita hidupkan!” Dan sebagainya, dan sebagainya. Kata ‘kita’ seperti lecutan yang mengobarkan semangat juang latihan para penghuni kelompok teater. Hari demi hari. Hingga tiba panggung ditata. Lampu dihidupkan. Lakon dipentaskan. Di akhir acara, tepuk tangan penonton riuh menutup cerita. Setelahnya? Panggung sepi. Menanti pentas selanjutnya. Dimanakah kata ‘kita’ ketika itu?
Boleh saja menganggap bahwa inilah saat ‘kita’ sendiri-sendiri. Mengurus diri masing-masing. Meluwangkan waktu bersama keluarga, menyelesaikan segala urusan yang tertunda. Agar imbang kerja teater dengan kerja kehidupan. Hal semacam ini merupakan pandangan ideal bagi setiap insan masyarakat teater. Namun jika dipikir lebih dalam, seberapa terangkah kita bisa memilah kerja keduanya? Seberapa perlukah keduanya mesti dibedakan? Seandainya teater yang kita punya mampu mendukung daya hidup masyarakat penghuninya, sebagaimana kerja yang dilakukan orang kebanyakan, tentu tak jadi soal. Namun pada kenyataannya, teater—khususnya dalam lingkungan yang sedang kami jalani—masih belum cukup mapan sebagai sebuah kerja yang bisa dikata mampu menghidupi. Dalam konteks ini, kian miris jika mengingat dengan lantangnya teater kita berusaha mendedah, mengkritisi kenyataan masyarakat, namun jarang teater menguliti kenyataan dirinya sendiri.
Teater jadi tak ubahnya seperti cuap-cuap politisi yang bicara banyak hal tentang kemakmuran bangsa dan negara, namun rakyat di dalamnya dibiarkan terlantar. Teater seolah jadi ilusi yang dijejalkan di kepala masarakat penghuni dan dipaksa untuk menjadikannya kenyataan. Mereka dipaksa untuk membuat kenyataan yang hadir dalam bingkai pertujukan adalah yang paling penting. Sementara realitas individu sehari-hari yang dijalani para anggota penghuni teater adalah semu. Satu-satunya dunia teater adalah panggung. Maka seringkali teater lebih banyak memperhitungkan dimana pentas, dalam acara apa. Teater hanya jadi ladang eksistensi. Yang dipanen dengan jumlah tepuk tangan penonton dan komentar facebook mengatakan ‘toooop’.
Yang dipetik dari teater eksistensi adalah kepercayaan diri. Alih-alih menjadikan diri lebih bijak, justru kepercayaan diri kadang mengembang secara berlebih. Alih-alih memanfaatkan teater sebagai sebuah produk pengetahuan, memakai wawasan dunia teater untuk menghidupi diri, teater justru jadi opium yang terus menerus membuat masyarakat penghuninya kecanduan panggung. Seolah jika tak manggung ada hal yang akan hilang dalam keseharian. Panggung jadi tempat mengekspresikan rasa haus eksistensi. Dalam konteks ini, panggung justru hanya memuat segala bentuk kenarsisan personal sutradara, aktor, tim produksi, atau lembaga penyokong produk teater. Ia tak benar-benar menjadi pelantang suara masyarakat. Teater hanya menjajakan kenarsisan personal kreator dan lingkarannya.
Lalu apa bedanya kemudian teater jenis ini dengan media sosial? Dengan tiktok misalnya yang tak kalah banyak mengobyektifikasi para pemeluknya? Tak ada. Jikapun ada yang berbeda, itu terletak pada keberhasilan manajemen tiktok dalam merancang dramaturgi pertunjukannya sehingga mampu membuat masyarakat berbagai lapisan turut hanyut dalam kegilaan eksistensi. Sementara teater tak pernah memperhitungkan soal manajemen. Kerja dramaturgi teater cenderung fokus pada soal panggung dengan berlandaskan tiga hal: Semangat menghidupkan teater, eksistensi, dan narsisme.
Tak heran kemudian, teater hanya jadi ruang rekreasi. Bergerak kalau tak ada kesibukan. Bergerak kalau ada dana. Bergerak dalam rangka acara. Tak heran juga pada suatu masa—dimana para penghuninya tak sibuk, dimana banyak terdapat sokongan dana, dimana acara teater tergelar setiap waktu—tiba-tiba lahir kelompok teater begitu banyaknya. Dari kelompok teater yang baru hingga yang dulu tinggal pelang namanya saja, tiba-tiba saja hidup kembali.
Tak heran pula pada banyak kasus pegiat teater di masa tuanya mengalami delusi, megalomania, merasa satu-satunya agen perubahan. Tanpa ia sadari, bahwa kini ia telah sendiri. Anggotanya telah menyelamatkan diri dari panggung yang tak memberikan apa-apa untuk mereka. Kalaupun ada anggota yang masih bertahan, mereka hanyalah anak muda yang coba-coba menjajal panggung atau orang tua yang ingin kembali mendapatkan eksistensinya setelah meninggalkan kerja teater cukup lama. Yang di kemudian hari mungkin juga akan sadar dan pergi. Maka pulang dan pergi, masuk dan keluar kelompok teater jadi hal yang lumrah. Jadi salah satu kenyataan teater yang—lagi-lagi—tak pernah benar-benar jadi hitungan bagaimana sesungguhnya teater mesti merancang kehidupan masyarakat di dalamnya.
Kita lantang bicara pentingnya teater, tapi gagap menguraikan untuk apa teater? Mengapa mesti berteater? Maka hal-hal abstrak semacam kemanusiaan dan kehidupan menjadi bahasa paling praktis mengungkap teater. Tanpa penjelasan lebih lanjut, kemanusiaan yang bagaimana? Kehidupan yang seperti apa? Teater jadi berputar pada kerja ‘perasaan’. Praktik kerja ‘perasaan’ tanpa metodelogi, analisis dan literatur yang jelas hanya jadi kerja ‘merasa-rasa’. Sedang kerja ‘merasa-rasa’ ini—yang kemudian dikultuskan sebagai sebuah capaian—hanya menjadi diskusi dengan berjibun kata ‘rasanya-rasanya’ di dalamnya, tanpa ukuran dan rencana. Padahal ukuran jadi hal penting untuk dirumuskan agar anggota suatu kelompok teater mampu mengetahui batas mana mereka berpijak sekarang, batas mana yang harus diterobos kemudian. Sementara perencanaan jadi hal yang semestinya terus didiskusikan agar kelompok teater punya harapan dan masa depan. Teater semestinya menjadi kerja terukur dan terencana.
Kelompok teater semestinya mampu untuk mengidentifikasi—minimal—pribadi anggota kelompoknya sendiri. Boleh saja kita amini bahwa ekosistem teater hari ini belum dapat memberi kehidupan yang layak bagi pemeluknya. Namun perlu juga kiranya mempertanyakan ulang potensi apa yang sesungguhnya hadir dalam teater. Sebuah rumusan untuk memberi kompensasi pada para anggota untuk terus berteater. Apakah berteater hanya untuk pentas saja? Apakah hanya untuk melatih kepercayaan diri saja? Apakah hanya untuk terampil akting saja? Apakah hanya untuk terkenal saja? Selanjutnya apa? Setelah itu apa? Saya pribadi percaya bahwa produk teater bukan hanya sebatas pentas. Teater adalah cara pandang manusia memahami realitas. Kita mengawalinya dengan satu kata kunci: laku! Laku manusia, laku hewan, laku tumbuhan, laku ruang, laku waktu, laku sosial, laku alamiah, laku agama, laku filsafat, laku apa saja. Teater tumbuh dari pusaran lintasan jejaring laku. Maka tak dipungkiri jika teater kerapkali bersentuhan dengan berbagai macam disiplin ilmu untuk membedah laku.
Persentuhan ini pula yang semestinya juga menjadi dasar memperluas proyeksi kerja teater pada produk-produk di luar konteks pemanggungan. Memperluas cita-cita masyarakat teater agar tak terjebak pada kategori laku profesi panggung: produser teater, sutradara teater, aktor teater, penata musik teater, penata artistik teater, dan lain sebagainya. Di satu sisi, anggota mesti fasih menguasai laku profesi ini, di sisi lain mereka juga harus bisa memanfaatkan pengetahuan teater yang diperoleh dalam laku kerja kehidupannya masing-masing. Jika ia jurnalis, ia bisa berlaku menggunakan teater sebagai pendekatan memproduksi produk jurnalistiknya. Jika ia sastrawan, ia bisa berlaku menggunakan teater sebagai pendekatan menulisnya. Dan lain-lain, dan lain-lain. Pun ketika menggarap produk teater, jurnalistik, sastra, dan disiplin lain. Hal ini bisa dipakai sebagai laku pendekatan dramaturgi pertunjukan. Maka kerja teater ataupun nonteater sesungguhnya jadi tak ada bedanya. Keduanya boleh jadi satu strategi yang saling bertaut dalam laku kerja kehidupan sehari-hari.
Meski berat dan memerlukan proses yang cukup panjang, namun kesadaran semacam ini mesti segera ditumbuhkan. Agar kita—saya dan kawan-kawan—mampu keluar dari jerat ‘gagah dalam kemiskinan’. Teater kita—sekali lagi, saya dan kawan-kawan—mesti kaya: kaya akan modal kultural, modal sosial dan modal ekonomi. Agar terhindar dari rasa lapar akan pentas panggung serta kelatahan menganggap ‘panggung teater mesti dihidupkan’. Teater kita harus kaya, agar bisa hidup dalam ekosistem teater yang bahkan paling buruk sekalipun: tak ada dana, tak ada apresiasi, tak ada jaringan, diisi oleh gerombolan individu teater yang krisis eksistensi, narsis, banyak kepentingan, minim gagasan, pembacaan, visi dan wacana.
Peng-kaya-an teater dapat dimulai dari subterkecil ekosistem teater, yaitu: kelompok. Kata ‘kita’ tak boleh hanya sekadar jargon yang pada kenyataannya hanya menguntungkan pentolan teater atau oknum-oknum yang berkepentingan di baliknya. Teater mesti bisa memberi modal kultural, sosial dan ekonomi anggotanya. Memberi sebab pada anggotanya untuk terus berteater. Di sisi lain, kerja teater juga menjadi kerja individu bebas yang siap untuk meninggalkan anggotanya yang melempem, yang tak yakin akan kerja kelompoknya sendiri. Teater mesti bisa bergerak dalam ketegangan estetika dan politis antara individu-kelompok.
Bagi Kalangan, lima tahun yang dilewati adalah masa-masa pembacaan pada ekosistem seperti apakah sebenarnya kelompok teater kami bertumbuh. Jika 2016 adalah pembayangan atas bentuk lembaga yang kami sepakati sebagai sebuah kolektif seni, jika 2017 dan 2018 adalah masa dimana kami memasuki arena produksi kultural di Bali, sedang 2019 dan 2020 adalah situasi transisi dalam membaca pola, kerja, dan anggota kami sebagai sebuah lembaga teater, maka 2021 boleh dikata menjadi awal upaya Kalangan dalam merancang agenda estetis dan politis teater kami. Untuk ‘bagaimanakah’ teater kami sesungguhnya di-laku-kan? [T]
Denpasar, 2021