Mulat sarira adalah nama lain dari introspeksi diri. Intropeksi diri artinya melihat ke dalam diri sendiri untuk mengetahui betapa bodohnya, betapa pintarnya, betapa sucinya, dan betapa kotornya, kita. Itu semua, harus diketahui mulai dari diri kita sendiri yang melihat ke dalam diri agar benar mengambil langkah atau tidakan. Sebagaimana yang disebutkan dalam pupuh ginada dasar yaitu:
Depang anakké ngadanin
[biarkan orang lain yang memberikan nama]
Sejatinya ungkapan itu, memiliki makna yang dalam. Untuk itu, ketika kita menganggap bahwa hal yang kita lakukan benar maka lakukanlah sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena orang-orang yang memberikan kita hujatan atau memberikan sebuah saran itu, adalah orang yang sudah mampu dalam bidangnya. Namun perlu kita melakukan sebuah introspeksi diri atau mulat sarira.
Dewasa ini, ada beberapa orang yang tidak bisa melakukan sebuah intropeksi diri karena telah diliputi oleh panca indra yang tidak bisa dikendalikan. Panca indra ini jika kita tidak mampu untuk mengendalikan maka hancurlah hidup kita. Selain mengendalikan panca indra maka kita patut untuk mengendalikan yang namanya sad ripu. Karena selain panca indra, sad ripu patut kita kendalikan agar sifat, loba, iri hati, dengki, mabuk, kebingungan, dan marah dapat dikendalikan dan dapat dinetralkan dalam diri kita.
Keenam sifat itu benar untuk dikendalikan agar tidak selalu diliputi oleh hal-hal yang tidak sepantasnya untuk dilakukan, malah dilakukan. Dan karena hal tersebut sehingga ada penyimpang-penyimpangan antara generasi A dan generasi B. Untuk mengantisifasi hal tersebut maka benar adanya untuk dilakukan sebuah intropeksi diri atau mulat sarira agar mengentahui musuh atau sifat apa yang akan muncul dari diri kita.
Musuh-musuh yang terbesar itu, muncul dari dalam diri sendiri. Sebagai mana yang diungkapkan di dalam sebuah kasusatraan tradisional yakni kakawin ramayana. Yang berbunyi:
Ragadi musuh maparo,
Ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak,
Yeka tan hana ri sira,
Prawira wihikan sireng niti.
[Nafsu dan sebagainya [rasa marah iri hati, dengki, angkuh, kegelapan pikiran], Di hati tempatnya [dan] tidak jauh dari diri yang demikian itu tidak ada padanya [raja dasaran], bersipat dan bijaksana terhadap niti atau ilmu kepemimpinan] (Alit&Darma, 2020:174)
Melihat kutipan tersebut bahwa musuh-musuh terbesar kita semua adalah yang muncul atau berada pada diri kita sendiri. Yang patut untuk dikendalikan agar tidak selalu merongrong kegiatan sehari-hari. Dan satukanlah hati dan pikiran supaya bisa mengintrofeksi diri sendiri sebelum mengkritik orang atau memberikan saran kepada seseorang.
Pada dasarnya itu semua dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Agar kegiatan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan swa dharma ngatutin swa gina masing-masing. Selain itu, intropeksi diri juga bisa dilakukan pada saat acara sivarattri.
Sivaratri yang konon sebagai malam perenungan. Dan juga, ada yang mengatakan bahwa sivaratri adalah malamnya siva. Sehingga pada saat sivaratri yang dipergunakan untuk memuja tuhan yang bermanifestasi sebagai dewa siva. Karena fungsi dewa siva adalah sebagai dewa pelebur atau pralina.
Sivaratri ini juga sering dikaitkan dengan cerita lubdaka. Lubdaka adalah seorang pemburu pada masanya yang menggunakan panah sebagai senjatanya. Jika dikaji atau di cari makna dari kegitan yang di lakukan oleh Lubdaka maka makna-makna yang tersirat di dalamnya sangatlah dalam.
Lubdaka ketika berburu menggunakan panah. Panah jika diartikan kedalam kehidupan sekarang berati pamineh atau pikiran. Pikiran inilah yang harus di kendalikan pada saat acara sivarattri. Agar kita mendapkan suatu eksistensi dari sivarattri tersebut.
Dan pada saat sivaratri adalah memontum yang baik untuk melakukan sebuah kegiatan mulat sarira atau perenungan dosa. Setiap orang memiliki cara tersendiri untuk melaksanakan kegiatan sivaratri ini. Selain malam perenungan dosa sivaratri ini juga, sebagai ajang untuk mengendalikan pikiran ke hal-hal yang bersifat negatif ke sifat yang positif. Agar makna dari sivaratri tersebut dapat kita rasakan sehingga kita bisa menyadari bahwa kita telah merenungi segala perbuatan dan telah melakukan mulat sarira. [T]