Semasa dirumahkan, Grudug sering kali terkejut. Ia yang kuliah di kota seolah baru melihat apa-apa yang dilakukan oleh orang di kampungnya. Kala itu, ia melihat banyak sesajen di atas tembok sanggah.
Ia bertanya pada ibunya yang kala itu menghaturkan sesajen. “Untuk apa beberapa sesajen itu?”
Ibunya kaget, sebab tumben Grudug memperhatikan hal-hal seperti itu, tetapi perasaan itu dibiarkan saja lewat. Kata ibunya, “Ini untuk di Pura ini, ini di Pura itu, ini di Sanggah ini, ini di Sanggah itu,” sambil menunjuk sesajen satu per satu.
Tak habis pikir, rupanya, di tengah-tengah semua orang urung keluar rumah, hubungan dengan Tuhan bisa diselesaikan dengan begitu sederhana. Grudug yang mencoba kritis kemudian bertanya dalam hatinya, “Kalau semua bisa dibuat mudah seperti ini, kenapa tidak dilakukan pada hari-hari biasa?” Tetapi Grudug mengurungkan pertanyaan itu.
Ia segera berjalan melihat-lihat Sanggahnya seperti seorang turis. Ibunya melihat ia dengan nyinyir, berpikir, “Kesambet apa anakku” sambil membawa sesaji itu keliling. Grudug sedari kecil hobinya hanya di kamar, kali ini ia benar-benar bosan di kamar, sehingga meluangkan waktu untuk memperhatikan sekeliling Sanggah.
“Ada yang aneh,” pikir Grudug. Bagian belakang sanggah rupanya tak diukir. Hanya paras yang berbentuk wajah setengah jadi. Sanggah itu dibangun ketika ayahnya masih kecil, sekitar tahun 40-an. Hingga kini sanggah itu enggan dibongkar. Selain karena biaya, kata ayahnya, sayang membongkar peninggalan orang tua. Grudug tersenyum, tiba-tiba ia merasa memiliki ayah yang ramah sejarah.
Malam-malam ia gelisah mengingat kedua amatannya. Di satu sisi, ritual bisa dijalankan dengan praktis, tetapi di sisi lain, “Ukiran sanggah itu sangat pragmatis,” pikir Grudug. Malam itu, ia membiarkan lamunannya lepas.
Mungkinkah orang Bali sesungguhnya bisa sederhana tetapi selalu ingin menunjuk-nunjukkan kelebihannya seperti ukiran di sanggah itu? Sesungguhnya ukiran setengah jadi pun sudah bisa dikatakan jadi, tapi kenapa harus menjadikan sebagian, sementara yang di belakang tidak?
Pada beberapa sanggah, perihal ukiran memiliki kasus yang sama. Pada bagian depan bagus, sementara belakang seperti belum jadi. Tidak cuma sanggah, penataan pekarangan rumah Bali pun demikian. Dapur, kandang babi, kandang ayam, kandang bebek, bahkan tempat mengumpulkan sampah rumah tangga di bagian belakang atau teba. Kadang begitu kumuh, berantakan.
Bebek dibiarkan berkubang dan buang kotoran sesukanya. Ayam membuat sampah berserakan. Genangan air bekas cucian piring dan lainnya dibuang begitu saja. Sementara di halaman depan? dinding bale daja diukir dengan biaya mahal sehingga terlihat berkelas. Bale dauh dicat emas dengan biaya menggelegar. Sanggah diukir lebih bagus dari bagian rumah yang lain, lengkap dengan cat emas. Semua itu tentu untuk ditunjukkan, sementara yang di belakang? untuk empunya rumah saja.
Jauh sebelum Grudug tinggal di rumah karena pandemi, ia pernah mengajak temannya singgah ke rumah. Ibunya segera membelikan capcay, lalapan, fuyunghai untuk makan bersama. Padahal mereka sudah bosan dengan makanan itu dan kangen sekali dengan sambal goreng, pindang, bahkan uyah lengis ala kampung. Tetapi, sambal goreng dan kawanannya itu disembunyikan. Bukan karena pelit, justru sambal dan kawanannya disembunyikan karena dianggap tidak elit. Yang elit adalah untuk tamu, yang tidak elit biarkan tuan rumah saja yang makan.
“Mungkin orang Bali memang suka pamer,” Lanjut Grudug dalam hati. Bila odalan, ibunya akan membuat banten yang mewah. Sekali membuat banten tegeh bisa menghabiskan Rp. 300.000. itu cuma sehari, seandainya odalan berlangsung tiga hari? Padahal bisa saja buah-buahan itu tersimpan hingga membusuk karena banyaknya persediaan “Mungkin ibu berniat memperlihatkan penghasilannya yang besar sebagai pedagang,” Pikir Grudug.
Ketika odalan di Pura-Pura besar, orang-orang rela berdesakkan, ngantre untuk sembahyang. Parfum yang biasa disimpan dalam lemari karena mahal pun digunakan meski akan luntur aromanya oleh keringat orang lain karena berdesakan. Kebaya paling mahal tiba-tiba digunakan, begitu pula bedak yang sedari pagi ditata rapi pada wajah. Padahal, Setelah berdesakan seperti itu, bagaimana caranya sembahyang dengan hening?
Sembahyang dari rumah dengan maksud menghaturkannya pada Dewa yang melinggih di sebuah Pura melalui tembok Sanggah bukanlah hal baru. Istri sahabat Grudug, misalnya. Karena takut berkendara jauh menuju kampung halaman waktu hamil, lama ia tidak pulang kampung, bahkan ketika Galungan ia hanya ngayat melalui tembok sebelah timur laut Sanggah. Alhasil katanya dia merasa pulang kampung. Barangkali ini alternatif yang sangat efektif. Tapi karena dianggap alternatif, cara ini hanya digunakan pada saat-saat tertentu.
Beberapa waktu lalu, setelah wabah terjadi, Grudug dibuat terkejut oleh ibunya. Ceritanya begini, Ibunya sore itu menggunakan kamen dan selendang. Grudug pikir ibunya punya acara dengan tetangga, tapi ketika ditanya, Ibunya bilang, “Mau ke pura A”
Grudug kesal, “Musim korona seperti ini mau bepergian jauh! Gak usah!” ibunya pun berpura-pura harus ke sana. Setelah itu, ibunya ke sanggah, datang dari Sanggah ibunya bilang, “Ibu sudah ke Pura A” sambil tertawa cekikikan, “Lewat Short cut,” lanjutnya.
Kita hidup lebih sederhana kala masa seperti ini. Banyak hal yang sesungguhnya memang sederhana lalu dibuat ribet, kembali lagi ke jalan sederhana. Meskipun begitu karakter Sanggah setengah jadi itu sepertinya memang tidak bisa hilang dari orang Bali. Suatu kali Grudug bosan benar di kamar, juga di rumah.
Ia berkeinginan keluar sekadar melihat situasi jalanan di desa. Ia tergesa-gesa sebab lama ia memendam keinginan itu, tetapi segera dicegat oleh ibunya, “Pakai maskermu dulu! Gak enak dilihat sama tetangga!” [T]