Tentu sudah dimaklumi bersama bahwa upacara “Betara Turun Kabeh” di Pura Agung Besakih, puncaknya berlangsung pada ‘Purnama Sasih Kedasa’, hari ini, Selasa, 7/4/2020. Berikut prosesi “nyejer” dilaksanakan hingga 14/4/2020. Serangkaian dengan penyelenggaraan upacara tersebut, ada baiknya pula mengetahui sisi arsitektur Pura Agung Besakih. Apa saja yang bisa disimak dari Pura terbesar di pulau Bali ini?.
———————————————————
Pura Agung Besakih berlokasi di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Belum ada data pasti, entah kapan Pura Agung ini mulai dibangun. Konon, berdasarkan lontar “Markandya Pura”, awal berdirinya dikisahkan sejak kedatangan Hyang Rsi Markandya bersama para pengikutnya datang dari Jawa Timur ke pulau Bali. Diperkirakan sekitar abad ke-delapan. Mereka melangsungkan upacara penanaman pancadatu (lima jenis logam mulia) seperti emas, perak, tembaga, timah, besi, dengan maksud agar tak tertimpa petaka atau marabahaya. Penataannya disesuaikan dengan tatanan kosmologis (pengider-ider) jagat. Nah, tempat penanaman pancadatuitulah akhirnya dinamakan Basuki/Basukian, yang punya arti rahayu (diberi keselamatan). Konon, di areal Pura Basukian inilah pertama kalinya tempat diterima wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya. Lantas para ahli memperkirakan tempat itu sebagai Pura Agung Besakih.
Beberapa abad kemudian, Mpu Kuturan datang, melakukan penataan kembali Pura Agung Besakih sekitar tahun 929 Saka (1007 M), semasa pemerintahan Raja Udayana. Penataan itu bertitik tolak atas penghayatan beliau secara spiritual. Mencermati, menata dan menyempurnakan tempat penanamanpancadatu yang pernah dilakukan Rsi Markandya sebelumnya. Berangkat dari penataan itulah mulai ada kejelasan adanya area pokok atau inti, area penyangga (diwujudkan dalam konsep Catur Lawa, seperti Pura Penyarikan, Pande, Ratu Pasek, Seganing), dan area penunjang.
Pada area inti antara lain terdapat candi bentar, bale pegat, bale kulkul, bale pelegongan, bale pegambuhan, bale ongkara, kori agung, bale pawedan, bale agung, bale pesamuan agung, bale tengah, bale papelik, beberapa meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, tumpang 3, sanggar agung, bale tengah, bale paruman alit, bebaturan,bale kembang sirang, bale gong, gedong bale panggungan, dan bale kampuh. Area inti disebut sebagai sapta petala (area tujuh lapis) atau kerap pula disebut area luhuring ambal-ambal.
Pembagian ini bercermin dari adanya teori tujuh pelapisan alam. Area ini juga dibagi berdasarkan konsep Tri Loka — alam bawah (bhur), tengah (bwah), atas (swah) yang dalam bahasa keilmuan semesta disebut lapisan hidrosfer, litosfer dan atmosfer. Konsep tersebut di ataslah kemudian melahirkan konsep sapta mandala (dibagi tujuh ruang) dalam area inti, dari hulu hingga jaba sisi.
Era Kerajaan Gelgel
Periode berikutnya berlanjut pada zaman kerajaan Gelgel, khususnya pada era pemerintahan Dalem Waturenggong. Lontar Raja Purana “Pangandika ring Gunung Agung” menyebutkan bahwa keberadaan Pura Besakih kian memperoleh perhatian besar pada jaman keemasan kerajaan Gelgel di bawah pemerintahan Dalem Waturenggong. Disebutkan pula, Pura Besakih, selain berfungsi sebagai sthanaDewa Sambu di timur laut pangider bhuwana, dalam ritualnya juga berfungsi sebagai titik sentral. Lantas Besakih dinyatakan sebagai parahyangan ‘Madyanikang Padma Bhuwana’, berstatus sebagai ‘Pura Sad Kahyangan’ (Padma Bhuwana) dan ‘Penyungsungan Jagat’.
Dikisahkan, dalam masa kejayaan Dalem Waturenggong, Raja dikenal sangat arif bijaksana dalam memimpin pemerintahan. Pada saat inilah diperkirakan sejumlah padharmantumbuh di Bali. Pada zaman ini pula diceritakan datang seorang tokoh agama, Mpu Dwijendra (pada 1489 M) dari Jawa ke Bali yang diangkat oleh Raja sebagai ‘Bhagawanta’ Istana. Konon salah satu muridnya yang terkenal pada waktu itu adalah Rakryan Panulisan Dawuh Bale Agung yang berperan sebagai ‘Penyarikan Dalem’. Lantaran beliau memiliki keahlian di bidang kesusastraan dan filsafat. Di era kedatangan Mpu Dwijendra (Dang Hyang Nirartha) dari Majapahit inilah dibangun pula ‘Padmasana Tiga’ di Penataran Agung Besakih.
Kawasan Pura Besakih
Sesungguhnya, kawasan Pura Besakih memang sangat luas. Terdapat tak kurang dari 18 Pura Pakideh (pura yang tergolong pura umum), 13 Pura Pedharman dan lebih dari 15 pura paibon. Sebagaimana sudah disebut, ada area inti, penyangga dan penunjang, maka memasuki kawasan Pura Agung Besakih, dari bagian hilir/bawah (soring ambal-ambal) hingga ke hulu, terdapat beberapa gugus pura.
Paling depan dari kompleks pura itu adalah Pura Pasimpangan. Sesudahnya, ada Pura Tirta Sudamala. Berikutnya Pura Dalem Puri, Pura Tirta Empul dan Pura Manik Mas — terletak di seberang timur jalan dan sungai. Kelompok pura selanjutnya yang tempatnya paling berdekatan adalah Pura Bangun Sakti, Pura Tirta Tunggang, Pura Goa Raja, Pura Ulun Kulkul (Catur Lokapala-Barat). Tak jauh dari tempat itu, berdiri Pura Merajan Selonding, Pura Merajan Kanginan dan Pura Banua Kawan. Selain dijumpai pula adanya wantilan, Pura Mrajapati Hyangaluh dan Bancingah Agung.
Sebelum menapaki sejumlah tangga (undag), area terdepan dari kompleks Pura Penataran Agung, pemedek akan melewati sisi kanan dari Pura Basukian. Usai melewatinya, pemedek akan dapat melangkah di undag bagian tengah yang hendak menuju Pura Penataran Agung Besakih (sebagai pusat tengah) maupun melalui undag samping yang hendak menuju Pura Pasimpenan Dukuh Sedaning, Pura Ratu Pasek, kompleks pura pedharman, Pura Ratu Penyarikan, Pura Kiduling Kreteg, hingga ke Pura Gelap (Catur Lokapala-Timur), Pura Pangubengan dan Pura Tirta Pingit.
Di sayap kanan (sebelah barat laut) dari Pura Penataran Agung terhadap Perantenan Suci. Tak jauh dari tempat ini terdapat Pura Ratu Pande (Catur Lawa), Pura Batumadeg (Catur Lokapala-Utara), Pura Tirta Sangku, Pura Paninjoan dan Pura Dukuh Sedaning (Catur Lawa).
Jejak Historis, Fungsi dan Makna
Pura Basakih merupakan pura terbesar dan termegah di Bali serta sebagai jejak perjalanan sejarah panjang peradaban spiritual Bali. Maka pura ini merupakan salah satu warisan budaya leluhur nan adiluhung. Keberadaannya perlu terus dijaga dan dilestarikan untuk keberlanjutan kegiatan spiritual masyarakat Hindu di Bali maupun yang berada di luar Bali, dari generasi ke generasi kemudian.
Beberapa jenis bangunan suci yang telah disebutkan tadi secara garis besar memiliki fungsi dan makna spesifik. Misalnya bangunan meru, menonjolkan keindahan dan keagungan atap bertumpang berbahan ijuk dengan dinding-dinding dari papan di belakang dan sisi-sisi samping. Jumlah tumpang yang selalu ganjil pada meru memiliki makna kalepasan. Konstruksi rangka atau kayu-kayunya tidak diperkenankan menggunakan kayu sembarangan, tapi memiliki kelas khusus untuk bangunan-bangunan pemujaan.
Fungsi meru sesungguhnya untuk tempat pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Dewa-dewa dan leluhur. Sebutan meru itu sendiri konon berasal dari nama gunung di surga yang salah satu puncaknya disebut Kailasa. Jadi meruboleh dikata sebagai replikasi Gunung Meru itu. Bentuk lain seperti gedong punya kemiripan dengan tugu. Bagian kepala gedong terbuat dari konstruksi kayu, atapnya ijuk (untuk di pura) atau disesuaikan dengan fungsinya. Denahnya bujur sangkar. Jika gedongitu atapnya bertumpang, disebut Gedong Sari untuk tempat pemujaan di pura-pura Kahyangan Jagat. Tentang dasar-dasar ukuran gedong, proporsi bebaturan dan rangka ruangnya berpatokan pada ketentuan tradisional Bali.
Ada bangunan yang dikategorikan sebagai bangunan pelengkap atau runtutan, disebut papelik. Bentuk dan konstruksinya mirip bangunan gedong, terbuka tiga sisi ke depan dan sisi-sisi samping. Memiliki fungsi untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara. Sementara bale pawedan menghadap ke timur, atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan. Adanya bale kulkul, bale panggungan, bale gong, bale pegambuhan, dan lain-lain turut melengkapi bangunan-bangunan sucinya.
Maka, bagi masyarakat Hindu di Bali maupun di luar Bali, sejatinya keberadaan Pura Besakih memberi makna yang sangat mulia, yakni sebagai lambang “pemersatu umat”. Di dalamnya berbagai simbol kebudayaan religius berakar. Begitu pula gubahan arsitektur puranya yang indah dan terstruktur, teguh berdiri mengikuti kaidah ajaran agama Hindu serta memiliki nilai estetis religius. Arsitektur Pura Agung Besakih tak bisa dipisahkan dengan peristiwa bersejarah yang terjadi sebelumnya. Peristiwa senantiasa berhubungan dengan ruang dan waktu. Kedatangan para Mpu ke Bali (Besakih) dalam periode waktu tertentu dulu, membuktikan hal itu. Penataan secara arsitektural yang berlandaskan pada nilai-nilai falsafah agama, etika dan ritual adalah dalam upaya menuju “penyempurnaan” dari apa yang telah dibuat sebelumnya.
Sebagai salah satu jejak peradaban Bali, wujud arsitektur Pura Besakih tak dapat dipungkiri ada di belakang produk masa lalu. Namun roh penghubung pertalian antara masa lalu dengan masa depannya mewujud dalam karya agung arsitektur Pura Besakih masa kini. Keberadan peristiwa arsitektur di dalam ruang bisa diamati dengan indera dan referensi pemahaman kita terhadap historikal arsitekturalnya. Dengan kata lain, ada hubungan timbal balik. Waktu bisa diketahui eksistensinya dalam peristiwa arsitektur, sebaliknya peristiwa arsitektur yang di dalamnya ada tradisi akan menemukan maknanya secara utuh di dalam waktu.
Dalam hubungannya dengan tradisi, untuk dapat menghayati dan memahami tradisi dengan baik, manusia harus berada dalam kejernihan hati dan pikiran. Agar dapat “mendengarkan” apa yang “dikatakan” oleh tradisi luhur itu. Wujud arsitektur Pura Agung Besakih sebagai arsitektur warisan nan adiluhung berhulu dari nilai-nilai spiritual-religius. Merupakan suatu kenyataan yang mesti dihayati dan dipahami. Arsitektur Pura Agung Besakih boleh dikata sebagai wadah suci penghubung persembahan dan niat bakti tulus manusia ke hadapan Tuhan Yang Maha Pencipta, dengan segala manifestasinya. [T]