Sebelum membaca, saya ingin menjelaskan bahwa tulisan ini tidak ada maksud sama sekali merendahkan pihak manapun, apalagi kampus yang menaungi jurusan Pendidikan Teknik Informatika. Karena saya sendiri adalah mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Informatika dan saya sangat bangga bergabung di program studi ini. Ini murni hanya sebuah kegalauan dibalik kebanggaan mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika ini.
Pendidikan Teknik Informatika, program studi yang mencetak lulusan guru atau saya sebut saja pembimbing TI karena perubahan kurikulum yang menyebabkan beralihnya profesi guru TI di SMA dan SMP karena peniadaan mata pelajaran TIK menjadi konsultan TI yang bertugas mengadakan workshop agar warga sekolah lebih siap memegang sebuah teknologi, itupun setelah beberapa kali revisi kurikulum.
Sebentar, apakah cukup mebimbing hanya dengan mengadakan workshop disela-sela padatnya kegiatan belajar mengajar?
Sudahlah, nanti saja dibahas ketika saya sudah PPL hehehe. Ini sudah berlaku sejak saya selaku generasi terakhir 90an menginjak tahun terakhir di bangku SMP (tahun 2013). Kini saya sudah menginjak semester 5, hati ini semakin dibuat galau. Bukan hanya hati ini, namun hati teman-teman juga merasakan hal yang sama. Pasalnya kami adalah mahasiswa di bidang pendidikan sekaligus di bidang TI, gelar yang kami dapat adalah gelar Sarjana Pendidikan, walaupun kami mempelajari dengan total hanya 22 sks pendidikan dari total 148 sks yang harus kami penuhi (Data didapat dari program studi Pendidikan Teknik Informatika Universitas Pendidikan Ganesha).
Tapi yang dipermasalahkan disini bukan gelar yang didapat namun ketersediaan lapangan pekerjaan yang kerap menganak-tirikan gelar pendidikan, padahal perjuangan mengenyam pendidikan tidak jauh berbeda dengan mereka sebagai mahasiswa ilmu murni, bahkan program studi saya mengharuskan saya untuk Magang sebagai buruh IT terlebih dahulu sebelum diterjunkan di program PPL nanti, tuh kami harus menempuh 2 kali magang sebagai buruh dan sebagai tenaga pendidik sebelum diijinkan wisuda, apa yang membedakan?
Ya hanya gelar dan 15% mata kuliah pendidikan saja, kami terpaksa berlapang dada digugurkan di administrasi (Digali dari kegalauan alumni dan mahasiswa tingkat akhir, saya sih seharusnya belum saatnya tapi ternyata saya ikut juga merasakan galaunya hehehe.)
Sedang hangat-hangatnya rekrutmen PNS dari Kementrian Komunikasi dan Informatika, informasi itu disebarkan oleh salah seorang dosen saya namun sayangnya yang dibutuhkan hanya lulusan dari ilmu murni, program studi saya tidak tampak di sisi terang harapan yang baru saja bersinar. Semuanya tampak lesu dan layu sebelum mekar.
Cara lainnya mengatasi peng-anak tirian ini ya dengan menunggu rekrutmen PNS untuk guru TI yang formasinya tidak selalu tersedia di setiap sekolah, tetap harapan itu tidak mampu membuat kegalauan sirna. Beberapa dari kami memilih Pendidikan Teknik Informatika karena program studi ilmu murni belum dibuka, sedangkan izin untuk merantau tidak turun dari pemimpin rumah tangga.
“Ya beginilah jadinya sukanya ilmu murni, tapi kuliahnya ternyata ada pendidikannya, dibilang salah jurusan…tidak juga, dibilang masuk di jurusan yang tepat…mungkin tepat 75%, kuliah murni nyananggung, lapangan pekerjaannya nanggung pokoknya kami itu mahasiswa nanggung!” (Teman Saya, 2019).
Setuju, kami mahasiswa nanggung…nanggung kalau cuma S-1, kalau mau mencari yang lebih luas dan pengalaman yang lebih banyak, kami harus kuliah lagi untuk gelar S-2 Ilmu murni. Demi meraih lapangan pekerjaan yang layak di mata dia, calon mertua, dan layak di mata masyarakat. Padahal sewaktu di bangku SD, SMP, SMA saya rasa saya sudah melihat dunia yang sebenarnya, ternyata dimulai dari sini saya harus berkaca pada realita dan nasib yang melanda. Ya sudah, saya pilih lanjut kuliah lagi saja, setidaknya di KTP dituliskan sebagai Pelajar/Mahasiswa bukan tidak bekerja! Hehehe.[T]