7 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Menanam Puisi di Emperan Matamu” – Melihat Esa Menanam Kata-Kata Tak Biasa

Ulfiatul KhilmibyUlfiatul Khilmi
November 2, 2019
inUlasan
“Menanam Puisi di Emperan Matamu” – Melihat Esa Menanam Kata-Kata Tak Biasa
46
SHARES

Mengulas buku antologi puisi berjudul Menanam Puisi di Emperan Matamu karya Wayan Esa Bhaskara adalah salah satu pengalaman berharga bagi saya. Pasalnya ini adalah kali pertama bagi saya untuk belajar mengulas sebuah buku sastra. Buku dengan sampul dominan berwarna biru dan putih ini memiliki tebal kurang lebih 106 halaman, dengan jumlah puisi yang termuat sebanyak 99 judul. Buku puisi ini diterbitkan di bawah naungan Mahima Institute Indonesia.

Hal pertama yang langsung menarik perhatian adalah sampul bukunya. Pada sampul bukunya terdapat gambar seorang wanita yang hampir tenggelam dalam air dengan menyisakan bagian mata sampai ujung kepala. Jelas di sini ada alasan mengapa bagian mata tidak ikut terendam. Sesuai dengan judul Menanam Puisi di Emperam Matamu, terdapat kata ‘mata’ yang terlihat menjadi fokus penulis. Mengapa harus bagian mata? Barangkali mata (penghilatan) adalah indera yang paling sering kita gunakan dalam merasakan, menilai, dan memahami berbagai macam perisiwa. Untuk itu, Esa sengaja memilih ‘mata’ sebagai perihal identik dengan isi antologi puisinya. Mungkin, mata bagi Esa adalah cara ia menemukan puisi-puisi miliknya ini.

Hal tersebut juga terlihat dalam judul buku Menanam Puisi di Emperan Matamu yang sengaja dipilih. Menanam Puisi di Emperan Matamu kiranya dapat dipahami setelah melihat isi buku ini sendiri, yakni dapat dilihat dari perspektif sebagian besar judul-judul puisi Esa dalam buku ini, seperti “Meminjam Sore”, “Lawar Buatan Nenek”, “Siang”, “Pagi”, “Malam”, “Bebek-Bebek Danau”, “Gula-gula Kapas”, “Ritual Minum Teh”, “Sambal Matah”, serta masih banyak judul-judul yang bersumber dari lingkungan yang dekat dengan kita, tetapi sering terabaikan. Pada buku antologi Puisi ini, Esa berniat menghadirkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, Menanam Puisi di Emperan Matamu adalah kumpulan penghilatan mata seoarang penyair Esa yang terangkum dalam buku Antologi puisi.

Lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa ada hal-hal yang menarik setelah membaca buku antologi puisi ini. Hal-hal yang terasa mencolok, tidak biasa, dan terkesan disengaja oleh Esa, yakni pemilihan diksi. Ada dua macam keunikan diksi yang bisa dilihat dari buku ini. Esa menyelipkan diksi tidak biasa dan diksi kaku yang ingin dileburkan dalam baris-baris puisi. Diksi-diksi yang jarang kita temui penggunaanya dalam karya sastra. Diksi yang cenderung digunakan dalam tulisan ilmiah, seperti artikel.

Dalam beberapa puisinya Esa sengaja memasukkan diksi tidak biasa, seperti Lelaron(bait ke-3, baris ke-3, puisi Sajak Tiga Bagian), Cecabang (bait ke-2, baris ke-4, puisi Sajak Tiga Bagian), dan Tetiba (bait ke-2, baris ke-3, puisi “Galungan”). Mari kita bahas mengenai diksi asing yang Esa selipkan di puisinya. Diksi ini sekilas seperti diksi baru, tetapi jika ditelurusi melalui proses pembentukkan kata maka akan ditemukan bahwa diksi ini tidak baru hanya saja belum sering digunakan, baik dalam lisan maupun tulisan. Diksi ini mengalami proses reduplikasi (pengulangan) sebagian yang mirip dengan proses pembentukan ‘lelaki’ dari kata jamak ‘laki-laki’ atau ‘bebunga’ dari kata ‘bunga-bunga’. Jadi diksi ‘cecabang’ adalah bentuk jamak dari ‘cabang-cabang’ begitupun dengan ‘lelaron’ atau ‘tetiba’. Hanya saja dediksi ini jarang digunakan dan Esa sengaja menyelipkan ini ke dalam puisi dengan tujuan khusus. Satu-satunya cara untuk mengetahui adalah menilik latar belakang penyair sendiri. Siapakah Esa?

Wayan Esa Baskhara selain seorang penulis yang bergaul di komunitas Mahima, Singaraja. Ternyata juga seorang pengajar bahasa Indonesia. Maka, kemungkinan terbaik yang bisa disimpulkan, yaitu Esa sengaja menciptakan “diksi baru” tersebut dengan motif ingin berkontribusi pada perkembangan kosakata bahasa Indonesia. Ia ingin membuktikan bahwa kata-kata tidak berbatas pada apa yang sudah biasa digunakan. Ia ingin mengenalkan banyak variasi kata lagi. Sebab jika melihat latar belakangnya yang menjadi seorang pengajar, rasanya tidak mungkin dediksi itu dihadirkan tanpa ada alasan tertentu.

Masalah diksi dalam puisi Esa tidak berhenti menciptakan kesimpulan-kesimpulan baru, ditambah soal diksi-diksi kaku yang Esa masukkan ke dalam baris-baris puisi. Kata-kata yang amat jarang berada dalam sebuah puisi romantis. Hal ini menjadi kontradiktif dengan tema-tema yang ia ambil. Puisi Esa adalah puisi yang lahir dari seorang yang berlatar belakang dekat dengan alam, puisi yang lahir dari cerita-cerita kecil yang begitu tenang. Sungguh terasa kontra apabila ia memasukkan diksi-diksi kaku dan beku. Diksi seperti itu sebenarnya pernah diterapkan oleh penyair Afrizal Malna yang memiliki latar belakang kehidupan kota. Puisi Afrizal kebanyakan tidak berangkat dari alam, tetapi berangkat dari kehidupan kota dan segala kekakuannya. Dalam kasus ini diksi kaku terasa pas dalam puisi Afrizal. Kita ambil contoh judul puisi “Arsitektur Hotel” miliknya tahun1984. Diksi kaku “arsitektur” terasa pas dengan tema yang menceritakan segala kondisi kota yang identik dengan hal berbau “kaku”.

Dalam permasalahan ini, beberapa diksi kaku milik Esa serasa tidak pas dengan tema yang ia ambil, seperti diksi seafood dan de javu pada puisi “Ikan Bakar” dan “Seporsi Sore” atau diksi bermetamorfosa pada puisi “Sajak Sepotong Rindu”. Dalam kasus ini diksi pilhan Esa terlalu kaku untuk gaya puisi yang berlatar belakang puisi romansa. Seakan saya melihat baris-baris puisi milik Esa adalah tempat bereksperimen dengan kata-kata. Bagi saya kata-kata itu tidak sepenuhnya menyatu. Tiap membaca selalu ada yang mengganjal di perasaan. Selalu saya terpikir, “Oh harusnya begini! Pakai kata ini! tidak begini!”. Namun, tidak semua diksi kaku ternyata tidak bisa menyatu.

Beberapa diksi Esa ada yang mampu melebur, seperti diksi café pada puisi “Di Kota Asing” Ini atau diksi prototype pada puisi “Perang”. Dalam hal ini Esa mampu membuat diksi kaku tersebut hadir untuk menggambarkan suasana dalam puisinya. Kata café dalam kasus ini mampu menjadi ciri hadirnya suasa kota dalam puisi “Di Kota Asing Ini”, atau prototype yang mampu melebur dalam puisi “Perang”. Inilah kemudian yang masih menjadi PR untuk Esa dalam eksperimen kata-katanya: meleburkan kata-kata kaku agar mampu menggambarkan isi dan tema puisi miliknya. Esa boleh saja beranggapan tidak ada aturan dalam memilih kata seperti apa. Patut kita hargai hal tersebut, tetapi tetap dengan batasan tidak mengusik kenikmatan pembaca.

Dalam sebuah karya sastra biasanya selalu termuat beberapa hal yang menggambarkan siapa penyair. Begitupun dalam buku ini. Latar belakang penulis secara sadar atau tidak akan muncul dalam karyanya. Wayan Esa Baskhara adalah pemuda asli Bali yang berasal dari Kabupaten Tabanan. Hal tersebut sangat nampak pada beberapa unsur budaya miliknya yang ia masukkan dalam buku puisi ini, seperti puisi “Tarung Jago” (tradisi mengadu ayam jago yang biasa dilakukan oleh kaum pria di Bali ), “Galungan” (hari raya masyarakat Hindu bali), “Tumpek Landep” (perayaan setelah hari Saraswati), “Saraswati” (perayaan atas turunnya ilmu pengetahuan), “Nyepi” (hari raya agama Hindu), “Sambal Matah” (sambal khas Bali) dll. Kita tahu bahwa beberapa contoh judul di atas memiliki hubungan atau merupakan bagian budaya Bali sendiri. Esa mungkin sengaja menyisipkan budaya Bali karena memang budaya Bali telah menjadi bagian dari kehidupannya. Untuk itu, sedikit banyak dari buku antologi puisi Menanam Puisi di Emperam Matamu sudah dapat dibaca latar belakang penyair yang tema puisinya berhubungan dengan budaya miliknya.

Secara garis besar membaca antologi puisi Menanam Puisi di Emperan Matamu karya Wayan Esa Baskhara seperti mendengar si penyair bercerita soal dirinya. Bagaimana cara Esa memandang bagian-bagian hidup, pengalaman, dan hal-hal sederhana. Bagaimana Esa merekam jejaknya sendiri dalam puisi dengan keberanian bereksperimen kata-kata. Bagaimana sosok Esa menghadirkan diri dalam puisi, sosok pengajar dan penyair. Dalam buku ini Esa beberapa kali mengangkat kisah-kisah mengenai pagi, siang, malam, serta orang terkasih. Bagi saya, puisi Esa ini adalah gambaran seorang Esa yang berbicara dengan romantis. Terlepas dari ketidaksetujuan akan beberapa hal, saya h tiap-tiap lembarnya. Membaca dimanapun sesempatnya, di kelas, kantin kampus, lapangan Renon, juga kost-an, rasanya tetap sama: menyenangkan. Saya merasa Esa seperti sedang mendongeng dan bercerita soal perjalanan hidupnya kepada saya. Berikut kutipan puisi milik Esa yang mengena pada perasaan saya.

Nyeri-nyeri pernah buat ibu cemas

Dan tiap kali aku tertawa

Lututku luka

Ia kembali berujar, “jangan cepat besar ya, Nak!”

(2015)

(“Luka di Lutut Kiri” hlm.17)

Puisi milik Esa menyajikan banyak hal sederhana yang sering kita lupa. Bagaimana waktu berjalan, sepertinya Esa melihatnya dengan sangat jeli. Dari pagi, siang, dan malam tidak satupun yang luput jadi puisi. Hal-hal sederhana yang mampu ia ubah menjadi rentetan puisi yang mampu membuat kita berdebar tiap kali membacanya. Setelah membacanya, beberapa puisi Esa membuat saya bertanya, “Puisi untuk waktuku sendiri seperti apa? Apa pagi kali ini kesiangan? Apa siang kali ini ketiduran? Apa tidur kali ini kemalaman?”

Tags: BukuPuisiresensi buku
Previous Post

Kebudayaan Keluarga Bali dalam “Antologi Cerpen Belog” Menurut Kacamata Pendatang

Next Post

Membaca Bagaimana Peristiwa ‘65 Disembunyikan Lewat Karya Sastra

Ulfiatul Khilmi

Ulfiatul Khilmi

Mahasiswa Semester III Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UniveristasUdayana. Lahir di Lamongan, Jawa Timur pada tahun 1999. Pemudi yang baru menjejaki dunia Seni dan Sastra sejak satu tahun belakangan. Ikut tergabung dalam Teater Orok Unud dan Teater Cakrawala.

Next Post
Membaca Bagaimana Peristiwa ‘65 Disembunyikan Lewat Karya Sastra

Membaca Bagaimana Peristiwa ‘65 Disembunyikan Lewat Karya Sastra

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co