Saya selalu heran kalau berjumpa orang Indonesia yang ujug-ujug menolak semua pemikiran Barat, padahal: Kebanyakan orang-orang yang sok menolak Barat yang saya jumpai itu, maaf, umumnya, setelah saya cek, tidak juga pernah membaca pemikiran Barat, ambil saja contoh pemikiran Hegel. Bahkan umumnya mereka tidak punya kemampuan bahasa Barat yang ditolaknya. Lantas, dimana logikanya jika menolak sesuatu yang belum pernah kita pahami?
Nah, alkisah, tahun 1994 sampai 2002, saya menghabiskan waktu membaca filsafat Barat, terutama pembahasan karya Hegel dan Kant. Juga meminati dengan serius Jungian dan Freudian. Saya loncat ke Barat setelah secara penuh waktu membaca filsafat India dari tahun 1991 sampai 1994.
Hasilnya? Sama. Barat mengandung Timur di dalamnya. Timur mengandung Barat di dalam dirinya. Di Barat kita berjumpa Timur di dalamnya.
Ketika saya membaca Hegel, ‘The Phenomenology of Spirit’, 2 Juli 2002, saya merasa berjumpa Timur, dalam hal ini kalau kita merujuk Buddhism sebagai wakil dari Timur.
Ketika Heidegger membahas Hegel’s Concept of Experience, saya membuat catatan pinggir:
“jika kebenaran ‘dilalui’ (diperantarai) oleh instrumen yang pengejarnya, instrumen dan pengejarnya perlu dipertanyakan”
“apakah kebenaran sebuah benda yang dilalui (diperantarai) oleh instrumen yang mencarinya?”
“apakah kebenaran perlu media untuk mengejawantah? jika ya, maka tubuh kita satu-satunya media kita – – dalam hal ini Gandhi benar – – pengetahuan mirip muslihat yang hendak menjerat kebenaran, nah, jangan-jangan ilmu pengetahuan muslihat buat penggunanya sehingga ia merasa melihat ‘kebenaran'”.
Memang, absurditas terdapat dalam pemakaian alat apa saja.
Saya mencatat juga pertanyaan Heidegger: “Pengetahuan sebenarnya sinar lampu, atau pembiasannya?”
Pokok persoalan melihat kebenaran yang disampaikan Hegel, dan dipertanyakan Heidegger, belakangan saya ingat setelah 12 tahun berhenti membaca buku dan fokus membaca lontar. Saya merasa menemukan Hegel dan Heidegger dalam lontar-lontar tutur dan tatwa, katakanlah lontar ‘Wrhaspati- tattwa’, yang bahasannya mempertanyakan kebenaran dan perspektif atau pendekatan kita terhadap kebenaran.
Barat mengandung Timur di dalamnya. Timur mengandung Barat di dalamnya. Contohnya lontar-lontar tattwa, yang “sangat bernuasa Barat” yang kritis disampaikan dalam metafora Timur.
Timur-Barat adalah pembagian geografi spasial yang tidak ada batasnya kalau kita bulat membaca dan mengitarinya dengan seutuh lingkaran. Dalam pemikiran, malahan, yang paling jelas kita ukur dengan akal budi adalah perkara “kedangkalan” dan kedalaman”; antara “keterbatasan” dan “ketakterbatasan”; “mentah” dan “matang”.
*Catatan Harian Sugi Lanus, 15 Oktober 2019.