Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia dipastikan memiliki beribu kesalahan baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri. Di saat ia menyadari kesalahan yang diperbuat, ia memohon maaf kepada orang yang merasa tersinggung atau pun dirugikan. Jika permohonan maaf diutarakan dengan sepenuh hati maka orang tersebut akan dimaafkan. Ya, sesama manusia patut menerima kesalahan dan kekurangan. Tan hana wwang swasta nulus. Ungkapan yang sering terdengar itu hanya untuk mempertegas.
Orang Bali meminta maaf dengan kata ampura yang sering dikatakan di dalam konteks komunikasi antara orang pertama dengan orang kedua yang lebih dihormati. Pada saat mengucapkan kata ampura atas kesalahan, orang kedua memaafkan dengan balasan nggih ten kenapi, selesai. Biasanya percakapan macam demikian terjadi karena kesalahan kecil. Jika terjadi kesalahan yang lebih serius dan melukai hati orang lain, kata ampura saja tidak cukup.
Satu lagi bentuk permohonan maaf orang Bali yaitu ngidih pelih. Permohonan maaf yang lebih dalam. Bisa dikatakan seperti itu. Kedua istilah tersebut memang sama-sama diartikan dengan “mohon maaf”. Akan tetapi, tidak semudah itu dapat disamakan. Walaupun diterjemahkan dengan istilah yang sama, keduanya hadir dalam situasi yang bertolak belakang. Selain itu juga ditentukan oleh hubungan si pelibat percakapan.
Jika kata ngidih pelih dibedah secara harfiah maka arti yang didapatkan adalah “minta salah”. Ada apa gerangan meminta kesalahan? Ternyata bukan maaf yang diminta di dalam konteks percakapan tersebut melainkan memohon kesalahan yang ia perbuat agar dikembalikan pada dirinya sehingga orang yang tersakiti tidak terbebani oleh kesalahan yang terjadi walaupun tidak sepenuhnya dapat memperbaiki keadaan. Permohonan serius tersebut dapat dikatakan sebagai penerimaan atas kesalahan diri dan permohonan kekurangan diri. Inilah karakter manusia Bali.
Katangidih pelih tidak muncul dengan mudah dari mulut setiap orang yang bersalah terhadap orang lain. Jika dampak dari kesalahan tersebut dirasa sangat merugikan maka istilah tersebut mewakili rasa penyesalan yang dalam dan introspeksi yang tulus. Hal itu tidak akan terjadi jika tidak ada kedekatan hubungan antara keduanya. Dengan kata lain, ucapan ngidih pelih hadir di antara hubungan kekeluargaan baik dalam kontek kekerabatan mapun persahabatan. Pihak yang dirugikan pastinya menerima permohonan tersebut walaupun di dalam hatinya masih menyimpan rasa sakit dan duka.
Permohonan maaf seperti itu menyiratkan konsep sosial masyarakat Bali yaitu manyama braya yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan yang kuat. Walaupun di dalam hubungan bermasyarakat yang selalu ada rasa kecocokan maupun ketidakcocokan, orang Bali tetap menanamkan rasa kepedulian dan toleransi yang tinggi. Saling memaafkan satu sama lain memang menjadi tali penguat jalinan persaudaraan. Tetapi, sikap tersebut patutnya juga menjadi hal yang memberikan penyadaran untuk berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku agar tidak merugikan orang lain baik sengaja maupun tidak disengaja.
Inilah pentingnya bahasa dalam menunjukkan kualitas diri orang Bali. Bahasa tidak hanya media penyampaian pikiran tetapi juga penjalin suatu kedekatan mental dan emosional dalam menyatukan fisik yang terpisah menuju pengertian ideasional. Bahasa Bali yang pluralis memberikan ruang kebebasan yang terkendali menuju kesopanan dan kesantunan. Karakter yang kental dari orang Bali. Ngidih pelih mewakili kesantunan dan wujud intropeksi diri manusia Bali. Itulah mulat sarira, penyadaran ke dalam diri.
1 Oktober 2019