Tentu saja kebanyakan orang di kampung saya, tidak tahu apa itu “revolusi”. Jangankan tahu, mendengar kata itu saja mungkin tidak. Lha, kalau begitu buat apa merevolusi kampungmu? Tanya seorang teman. Hehe… itu kan, impian saya saja. Terwujud atau tidak, urusan belakangan. Namanya juga impian. Tak lebih hanya sekadar angan-angan.
Lalu, apa yang harus direvolusi dari kampungmu? Tanyanya lagi. Memang dia cerewet sekali jadi orang. Banyak hal, jawab saya. Jelaskan padaku kalau begitu! Baiklah.
Kampung saya itu, banyak masalah sebenarnya. Mulai dari pola pikir orang-orangnya, sampai sistem pertaniannya. Tentang pola pikir, misalnya. Orang-orang di sana, masih belum bisa berpikir terbuka. Pikiran mereka masih hirarkis, fanatik lagi. Ya mohon maaf, bisa dikatakan, pola pikir mereka masih sempit. Wawasan mereka tentang dunia luar juga masih kurang. Ilmu pengetahuan? Konsisten memutuskan untuk jalan di tempat, menolak menjadi pintar, sebab takut ‘keminter’, tapi diam saja “dipinteri”.
Kurangnya pengetahuan inilah, berakibat mereka sering kena tipu oleh birokrat. Membikin KTP saja masih bayar. Minta surat ini-itu juga masih mengeluarkan sebungkus rokok. Hehe… Maka dari itu, mereka harus direvolusi. Dengan cara apa? Pendidikan salah satunya. Untuk pengetahuan tentang dunia luar, mereka harus hijrah (merantau). Tetapi, saat mereka merantau, dan kembali, malah membawa pemahaman baru yang kadang bertentangan dengan nilai-nilai,bagaimana itu?
Itu memang masalah. Lain kali kita pikirkan solusinya. Maksud saya, kenapa harus merantau? Agar tidak selalu disebut “katak dalam tempurung”.
Terus tentang sistem pertanian? Ya begitu. Orang di kampung saya itu, masih bertani secara tradisional. Mereka sangat sabar menunggu turun hujan untuk bisa menanam padi. Kalau nggak hujan, ya biarkan saja lahan kosong. Toh juga mereka tidak ‘kemaruk’ kaya Korun. Kalau pun ditanami jagung, misalnya, mereka tidak keberatan bersusah payah menyiraminya.
Padahal, beberapa petani sebenarnya mampu mengebor air. Seperti desa-desa lain. Kalau pun tidak mampu, sebenarnya bisa patungan untuk membangun sistem irigasi yang baik. Gotong royong gitu. Tetapi ya begitu, orang-orang di kampung saya kan, gengsian, mana mau patungan. Ya tapi itu tidak salah, si. Wong itu pilihan masing-masing.
Tetapi tunggu dulu, ngapain susah-susah ngebor air, toh tanahnya juga sudah dijual ke pabrik semen, kan? Iya itu kan yang dijual, kan masih banyak yang nggak dijual. Terus terus? Orang-orang di kampung saya itu, juga tampaknya takut untuk berinovasi dalam hal tanam-menanam. Dalam benak mereka, ini mungkin lho ya, yang bisa ditanam itu ya tanaman-tanaman yang sudah turun-temurun ditanam oleh nenek moyang—tanaman-tanaman yang sudah terbukti tumbuh dan bisa ditanam di sana. Ini juga tidak salah, si, tetapi tidak salah juga untuk mencoba menanam tanaman lain, kan. Maksudnya, tanaman lain yang sesuai dengan kondisi alam di sana. Contohnya apa? Sorgum, misalnya.
Dan, orang-orang di kampung saya itu, masih jarang mengolah hasil pertanian mereka menjadi suatu produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Mereka lebih senang menjual mentah-mentah saja. Tidak mau susah-susah. Nah, ini kan, kembali berhubungan dengan pola pikir, toh.
Iya juga, sih. Ada lagi? Satu lagi. Mereka juga masih belum terbiasa berorganisasi. Mereka cenderung berjalan sendiri-sendiri. Apa adanya. Memang si masih ada ikatan persaudaraan di sana—dan itu sangat melegakan. Tetapi, maksud saya, agar mereka belajar tata kelola (manajemen) yang baik gitu, loh. Nggak selalu takluk di hadapan nasib saja. Toh kita sama-sama pernah membaca ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan’, kan. Jadi, pasti kamu tahulah apa maksudku.
Oke-oke. Jadi, itu alasanmu untuk merevolusi kampungmu? Iya. Tetapi, terkadang saya mempertanyakan kembali pikiran itu semua, beberapa pertanyaan yang kadang meruntuhkan impian itu. Apa itu kalau boleh tahu? Orang-orang di kampung saya butuh nggak sih, semua revolusi itu? Bukankah sampai saat ini mereka baik-baik saja dengan pola pikir dan sistem pertanian seperti itu?
Ya, terkadang, saya juga berpikir, lebih baik tidak ada yang perlu direvolusi. Dibiarkan saja apa adanya. Yang penting mereka bahagia. Itu saja sudah cukup bagi saya. Tidak perlu banyak omong! Bisa kualat saya nanti.[T]
(2019)