Gunung Batukaru bagi saya tidak hanya kaya satwa, tetapi rumah cerita, dan pura megalitikum berusia ribuan tahun. Kijang, babi hutan, ular piton, monyet, trenggiling, landak, rase, mahmah, lubak, ratusan jenis burung, hidup damai di hutan.
Keker(ayam hutan, gallus varius) berhabitat di perkebunan kopi yang membentang dalam kemiringan kaki Batukaru. Mereka sesungguhnya “jinak” karena sangat sering berhubungan dengan para petani dan keluarganya yang beraktivitas di kebun kopi. Beberapa keluarga ayam hutan dan beberapa pasangan juga sering berbaur dengan ayam peliharaan. Terkadang sulit membedakan keduanya.
Ketika petani ngabas (memotong rumput di kebun kopi), sarang terancam karena petani kurang menyadari konservasi satwa. Sarang-sarang ayam hutan dengan tiga hingga lima butir telor yang sedang dierami, diambil, tanpa rasa menyesal. Bisa digoreng atau direbus atau dieramkan pada induk ayam kampung. Diharapkan akan menetas anak ayam hutan dan kelak dijual.
Menikmati telor rebus/goreng ayam hutan tentu suatu kemewahan tersendiri karena merupakan hal yang langka. Tapi bagi para petani hal ini merupakan hiburan atau kesenangan. Mereka tidak berpikir lebih jauh, soal kelestarian alam. Tidak ada petani yang memberi perlindungan kepada telor-telor ayam hutan yang ditempatkan oleh induknya di atas tanah kebun kopi. Menjumpai sarang dengan telor adalah keberuntungan.
Ancaman lain datang dari senapan angin yang menjadi “senjata” dan hiburan para petani kopi. Belum lagi kegiatan mepikat. Maka setiap tahun jumlah ayam hutan kaki Gunung Batukaru menyusut.
Ayam hutan dijual secara terbuka, seperti yang pernah ditemukan di sekitar SPBU. Si penjual hanya berpikir dapat uang. Hal ini bisa dihentikan dengan semua kita sama sekali tidak tertarik membeli. Tapi memang masih ada yang suka memelihara ayam hutan di rumah-rumah.
Saya membayangkan, perkebunan kopi ramai oleh ayam hutan yang jinak karena tidak diusik dan diancam. Justru dilindungi. Secara periodik ayam hutan jantan berkicau, saling balas. Gerombolan mereka juga hidup bersama ayam kampung yang akan memperkaya sumber daya hayati. Kebun kopi akan makin indah dan bisa menarik kunjungan wisatawan, para siswa, atau para peneliti.
Maka memang harus ada perlindungan. Semua petani kopi di kaki Gunung Batukaru harus menjaga, melindungi ayam hutan. Jika berjumpa sarang, biarkan saja sehingga menetas selamat. Memelihara ayam hutan memberi kepuasan semu ketimbang menjumpai kehidupan “liar” mereka di perkebunan kopi. Petani era milineal ini tidak hanya tahu ilmu tani tetapi juga memiliki kesadaran konservasi.
Yang punya ayam hutan, ayo lepas. Jangan memiliki senapan angin karena menjadi ancaman aneka satwa kaki Batukaru. [T]