Desa dimana saja penuh sampah plastik karena alasan mendasar, bahwa plastik perlu waktu puluhan atau rartusan tahun agar bisa lumat. Jika sampah organik seperti plastik maka sudah sejak lama dunia tertimbun.
Ada benarnya juga pandangan bahwa yang salah bukan manusia si pemakai plastik tapi palstik itu sendiri karena tidak mudah busuk. Jika sekarang masih ada pro dan kontra soal tas belanja, maka yang kontra mengatakan, jangan salahkan masyarakat tapi pabrik.
Dalam tulisan pendek ini saya sampaikan pandangan mengapa desa-desa di Bali penuh plastik? Sudah lelah dan tak ada guna menyalahkan diri sendiri! Maka saya bersandar pada sifat-sifat kimia atau daya tahan plastih terhadap suhu dan serangga. Karena itu tidak terurai cepat, seperti bangkai tikus.
Tahun 2002 saya dan kawan-kawan “sok” jadi pegiat lingkungan di desa. Mengadakan berbagai kegiatan lingkungan untuk mengatasi plastik. Saya tak hanya gagal total tapi digosipkan memiliki dana besar untuk kegiatan ini. Semua rencana berantakan karena dicurigai, apalagi sering ada orang bule di desa ikut berplastik-plastik.
Di ceruk yang rendah, sungai mengalir mengelilingi kurang lebih setengah lingkaran wilayah desa. Semua got bermuara di sini. Di got-got yang sudah berumur sangat tua ini sampah dibuang, termasuk plastik. Ketika berjalan-jalan di sungai saya melihat plastik sangkut-menyangkut di batu-batu.
Kotor!
Sebenarnya menjijikkan, bukan dalam arti medis tapi dalam arti sosial. Secara sosial sungai yang jadi muara sampah, sungguh sangat menjijikkan.
Juga ironis! Atau nalar telah jungkir balik. Sungai di desa saya sebagai tempat menyucikan diri yang leteh atau “kotor” dan air yang mengalir dari hulu Gunung Batukaru menuju Samudera Hindia, berfungsi “melarung” atau melebur segala mala. Karena nalar yang demikian, aliran sungai yang penuh sampah plastik tetap dianggap bersih atau suci.
Hari itu saya mandi di pancuran yang juga penuh sampah plastikdari seperempat abad yang lalu, cuci rambut. Saya merobek pelan pembungkusnya agar tidak lepas dengan bagian yang lebih besar.
Tidak membuang bungkus sampo di pancuran ini, menyimpan di saku celana, sebuah “prinsip”. Ingat pengalaman tahun 2002, sok jadi penyelamat lingkungan, yang gagal total dan sekaligus dituduh punya sponsor luar negeri. Dengan cara itu saya kini mengurangi plastik. Cara ini paling mungkin, paling mudah dilakukan. Tidak perlu koar-koar ngajak siapapun.
Sore itu menjadi puncak kesadaran ekologis saya tertinggi, seperti Budha menerima Nirwana, bahwa dengan cara itulah dapat mengurangi sampah plastik. Saya adalah “bakteri” pengurainya![T]