PERINGATAN Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni bukan sekadar momen seremonial. Ia adalah ajakan reflektif—untuk menengok ke dalam, menyatukan kembali arah perjalanan bangsa, dan memperkuat pondasi kehidupan bernegara. Tema tahun ini, “Memperkokoh Ideologi Pancasila, Menuju Indonesia Raya”, menegaskan kembali pentingnya menjadikan Pancasila bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi sebagai arah masa depan.
Logo resmi peringatan tahun ini tampil dinamis dan penuh warna. Ada unsur sinar cahaya, kepakan Garuda, serta angka 80 yang menandai usia Pancasila. Namun maknanya tak berhenti pada desain visual. Logo tersebut merepresentasikan sesuatu yang lebih dalam—filosofi niskala, yaitu kekuatan tak kasatmata yang menggerakkan kehidupan bersama: nilai-nilai yang tak terlihat, tetapi sangat menentukan arah bangsa.
Di sinilah kita diingatkan bahwa ideologi, termasuk Pancasila, tidak cukup hanya dipelajari. Ia harus dihidiupi. Kita bisa hafal lima sila, tetapi maknanya hanya terasa jika meresap dalam laku: dalam keputusan yang adil, dalam sikap saling menghormati, dalam semangat gotong royong yang hidup, bukan sekadar slogan.
Pendidikan, dalam konteks ini, adalah medium paling vital. Bukan hanya untuk menyampaikan nilai, tetapi untuk menyemaikannya hingga tumbuh menjadi karakter. Sistem pendidikan Indonesia tidak bisa hanya berorientasi pada hasil akademik atau kecakapan kerja. Ia harus menjadi ruang yang menumbuhkan rasa—kesadaran untuk mencintai sesama, menghargai perbedaan, dan memikul tanggung jawab sosial sebagai bagian dari bangsa.
Filosofi niskala dalam tradisi budaya Nusantara mengajarkan bahwa yang tak terlihat justru sering kali paling menentukan. Seperti akar yang tersembunyi menopang pohon, begitu pula nilai-nilai Pancasila: kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan bukan sekadar teori, tapi energi moral yang menjaga bangsa tetap berdiri.
Karena itu, pendidikan kita harus berani menanam yang niskala. Bukan hanya menyiapkan anak untuk bersaing, tetapi untuk hidup dalam masyarakat yang majemuk. Bukan sekadar mendidik agar pintar, tetapi agar bijak. Di sinilah peran guru, kurikulum, dan ekosistem sekolah menjadi sangat strategis: sebagai ladang penumbuhan karakter bangsa.
Memperkokoh Pancasila artinya memperkuat kepribadian bangsa—dari individu ke komunitas, dari sekolah ke negara. Jika kita ingin benar-benar mewujudkan Indonesia Raya, maka mulailah dari membentuk pribadi-pribadi Pancasilais: yang tidak mudah goyah oleh arus ekstremisme, tidak silau oleh individualisme global, dan tidak lupa bahwa kebhinekaan adalah kekuatan, bukan ancaman.
Di sinilah pendidikan memiliki tugas berlapis: menjadi pelindung akal sehat, penumbuh nurani, dan pemantik semangat kolektif. Kita butuh sistem pendidikan yang berani berpihak—pada nilai, bukan sekadar angka; pada manusia, bukan hanya mesin ekonomi.
Lebih dari sekadar pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi, Indonesia Raya yang dicita-citakan adalah bangsa yang besar dalam arti sejati: kuat dalam nilai, mulia dalam tujuan, dan tangguh dalam dinamika global. Di balik peringatan ini, tersimpan filosofi mendalam tentang kekuatan, kemuliaan, dan dinamika bangsa Indonesia. Pancasila bukan sekadar alat pemersatu, tetapi sumber daya spiritual dan kultural yang menopang ketangguhan kita menghadapi zaman.
Dalam tiap sila, kita temukan daya tahan moral dan kebijaksanaan kolektif yang menjadikan bangsa ini bukan hanya mampu bertahan, tapi terus tumbuh di tengah pusaran dunia yang cepat berubah. Inilah dasar dari visi Generasi Emas 2045—generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mulia secara etika dan kokoh dalam jati diri. Mereka adalah anak-anak Indonesia yang kelak membawa semangat kejayaan bukan dalam artian supremasi, tetapi kejayaan sebagai bangsa yang tahu siapa dirinya, mampu merawat keberagaman, dan percaya pada kekuatan nilai.
Logo Hari Lahir Pancasila bukan sekadar hiasan tahunan. Ia adalah ajakan untuk kembali menyatukan yang tercerai, menumbuhkan yang tak kasatmata, dan menyemai makna dalam tindakan nyata. Dan pendidikan adalah jembatan utama yang mampu menjadikannya nyata.
Jika pendidikan kita sungguh-sungguh membentuk manusia Indonesia yang berpijak pada Pancasila, maka Indonesia Raya bukan hanya impian dalam lagu kebangsaan—tetapi kenyataan yang hidup dalam tiap warga negaranya. [T]
Penulis: Dewa Rhadea
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: