ISU apakah sastrawan di Indonesia bisa hidup dari sastra belakangan ini hangat diperbincangkan. Bermula dari laporan sebuah media besar yang menyoroti kondisi beberapa sastrawan sepuh yang berjuang melawan sakit di usia senja, padahal karya-karya mereka begitu besar sumbangsihnya bagi kebudayaan. Namun, benarkah sastra tak bisa menghidupi pelakunya?
I Wayan Suardika, sastrawan asal Bali, punya pandangan menarik soal ini. Baginya, anggapan bahwa sastrawan tak bisa hidup dari sastra itu sangat subjektif. Hidup dari sastra bukan soal mungkin atau tidak mungkin, tapi soal totalitas seseorang dalam menjadikan sastra sebagai bagian hidupnya.
Narasi Besar Kehidupan
“Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai pengarang dan penulis, hampir 100% kehidupan saya ditopang oleh sastra,” kata Suardika, yang ditemui di Pustaka Bali Seni, Denpasar. Ia menegaskan, sastra itu lebih dari sekadar puisi, cerpen, novel, atau esai.

Pustaka Bali Seni, ruang kreatif di Denpasar-Bali yang dikelola Wayan Suardika bersama istri | Foto: Angga
“Sastra adalah narasi besar, suatu bentuk pengetahuan mendalam yang mengakar pada cara manusia menulis, berpikir, dan menyikapi hidup,” ujar Suardika.
Menurutnya, sastra punya tiga akar utama: bagaimana seseorang menulis, bagaimana seseorang berpikir, dan bagaimana seseorang menyikapi hidup. Ketiga hal ini, kata Suardika, tak cuma milik penyair atau novelis. Orang dengan bakat menulis bisa jadi jurnalis, penulis naskah iklan, editor, guru, sampai pembicara publik.
Artinya, kemampuan sastra tidak terbatas pada bentuk karya tertentu. Jika ditekuni secara total, potensi sastra sangat luas dan menyentuh banyak bidang kehidupan.

Novel dan buku kumpulan cerpen karya I Wayan Suardika. | Foto: Dok. Pustaka Bali Seni
Suardika juga berani bilang, orang berbakat besar dalam sastra tapi tak mau menjadikannya jalan hidup, justru mengkhianati dirinya sendiri. “Ini bukan tentang menjadi miskin karena menulis puisi—meskipun puisi memang dikenal sulit dijual—melainkan tentang keberanian untuk menempuh jalan hidup yang diyakini,” jelasnya.
Ia mencontohkan penyair legendaris Chairil Anwar, yang sangat total dengan kepenyairannya, seperti terlihat dari larik puisinya: “Rumahku dari unggun timbun sajak/di situ aku berbini dan beranak.” Bagi Suardika, puisi ini menunjukkan totalitas pengabdian pada dunia sastra, yang tak hanya menyentuh sisi estetik, tapi juga eksistensial.
Memperluas Makna Sastra
Untuk bisa hidup dari sastra, Suardika menyarankan agar penulis tidak hanya fokus pada cerpen, puisi, novel, atau esai. Mereka juga bisa bekerja sebagai editor naskah, jurnalis, atau penulis teks iklan layanan sosial. Semua ini, imbuhnya, didasari oleh kemampuan menulis yang kuat dan wawasan berpikir yang luas.

I Wayan Suardika dan istri, Henny Handayani | Foto: Angga
Bahkan sebagai editor, ia tidak hanya mengoreksi tata bahasa, tapi juga memperhatikan karakter dan ruh tulisan si penulis. Ini menunjukkan bahwa pengaruh sastra menembus berbagai bentuk komunikasi tertulis. Selama punya akar yang kuat—dalam menulis, berpikir, dan menyikapi hidup—seseorang bisa menghidupi dirinya melalui banyak profesi.
Salah satu kunci utama, kata Suardika, adalah meluaskan pengertian tentang sastra. Ketika seseorang mahir menulis puisi, cerpen, novel, atau esai yang bagus, potensi itu bisa dikembangkan. Misalnya, membuka kursus menulis, jadi pembicara webinar, atau membentuk komunitas literasi. Di era digital ini, ruang ekspresi dan peluang ekonomi dari sastra semakin terbuka lebar.
Bagi Suardika, sastra adalah bahasa, sastra adalah tulisan. Dua unsur ini adalah fondasi esensial dari dunia komunikasi modern. “Ketika seseorang menguasainya, ia sejatinya telah menjadi seorang generalis—seorang yang mampu membaca dan memahami berbagai aspek kehidupan seperti politik, budaya, ekonomi, dan sosial,” tukasnya.

Buku-buku yang dijual di Pustaka Bali Seni | Foto: Angga
Sebagai penulis sekaligus pengamat seni, Suardika menegaskan bahwa ia hidup dari sastra dan berhutang banyak pada sastra. Baginya, sastra adalah jalan hidup. Ketika seseorang menghidupkan sastra, maka sastra akan balik menghidupkannya.
Inilah makna terdalam dari hubungan antara manusia dan dunia sastra, sebuah hubungan yang bukan hanya fungsional, tapi juga spiritual dan eksistensial. “Sastra itu hidup ini. Ketika kita hidup dari sastra, kita menghidupkan diri pada kehidupan ini,” pungkas Suardika. Kalimat penutup yang tegas, reflektif, dan inspiratif ini memberi pesan bahwa sastra bukanlah jalan sempit yang gelap. Ia adalah jalan luas dengan banyak cabang dan kemungkinan. Selama seseorang punya keberanian dan totalitas, sastra akan selalu menjadi rumah yang menghidupi. [T]
Penulis: Angga Wijaya
Editor: Adnyana Ole