KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya adalah kemungkinan ia terjangkit virus rabies. Tanpa penanganan yang baik dan memperoleh vaksin anti rabies (VAR), ganjaran bagi korban gigitan anjing rabies adalah kematian.
Maka ia akan segera ke puskesmas terdekat atau ke rabies center untuk mendapatkan VAR. Betapa bersyukurnya kita semua, karena saat ini tersedia VAR dan vaksin ini dapat mencegah penularan virus rabies dengan efektivitas hampir 100%.
Selain rasa syukur, sebaiknya kita pun harus mengetahui dan menyadari, VAR bukanlah semacam kue bolu yang diciptakan sedemikian cepat dan mudah oleh siapa saja. Seperti juga begitu banyak vaksin yang lain, berbagai obat dan prosedur medis yang dapat kita “nikmati” saat ini, itu diciptakan melalui suatu proses saintifik yang memerlukan waktu sangat panjang dan protokol sangat ketat.
Umumnya proses tersebut dikerjakan di negara-negara yang sudah jauh lebih maju di bidang sains dan teknologi seperti Eropa, Amerika Utara dan Jepang atau India. Proses itu dikenal dengan nama uji klinis. Kalau boleh dibilang, bangsa-bangsa seperti kita Indonesia dan sebagian besar bangsa-bangsa Asia Afrika hanyalah pemakai produk-produk tersebut. Dan tentu saja membeli dengan biaya setimpal.
Uji klinis adalah tentu saja sebuah uji coba yang dilakukan untuk memastikan efektivitas dan keamanan suatu vaksin baru, obat baru atau prosedur medis yang baru yang ditemukan oleh para peneliti. Baik vaksin, obat maupun prosedur medis tersebut dirancang untuk di masa depan dapat memberi manfaat kepada manusia untuk mencegah penyakit, mempercepat kesembuhan maupun mengurangi komplikasi atau tingkat kematian suatu penyakit.
Ada sejumlah tahap proses, yang jika disederhanakan menjadi seperti demikian. Dimulai dengan fase pra klinis, yaitu pengujian zat bahan vaksin dan obat atau prosedur medis pada hewan coba. Jangankan uji coba pada manusia, bahkan pada hewan coba pun diatur dengan kode etik yang sangat ketat yang dikenal dengan prinsip 3 R yaitu Replacement, Reduction dan Refinement.
Artinya, jika memungkinkan sedapat mungkin hewan coba digantikan dengan model komputer misalnya, mengurangi jumlah subyek hewan coba serta mengutamakan prosedur yang tidak membuat hewan tersiksa atau menderita. Tujuan fase ini adalah untuk mengatahui efek samping obat (keamanan) dan manfaatnya. Setelah uji pra klinis dikerjakan, maka uji klinis masuk ke tahap 0 yaitu riset mendalam di ruang laboratorium, terkait sifat-sifat farmakologis zat yang akan digunakan menjadi obat atau vaksin baru.
Pelibatan manusia dalam sebuah uji klinis dilakukan pada fase 1 sampai 4. Fase 1 dilakukan pada jumlah subyek penelitian sangat kecil bertujuan untuk kembali memastikan keamanan obat tersebut. Fase 2 dalam jumlah peserta lebih banyak untuk mengetahui efikasi atau manfaat medis obat yang diteliti. Fase 3, sama seperti fase 2 dengan jumlah peserta lebih banyak lagi, dan juga bertujuan membandingkan efikasi obat atau vaksin baru dengan obat atau vaksin standar. Pada fase 3 ini, sebuah uji klinis akan memerlukan biaya yang paling besar, waktu cukup lama dan melibatkan subyek penelitian paling banyak.
Terakhir fase 4 adalah untuk memantau efek samping jangka panjang. Mungkin kita tak menyadari, di antara kita nantinya akan menjadi bagian pemantauan dari efek jangka panjang dari vaksin Covid-19.
Dengan demikian, uji klinis suatu kandidat vaksin, obat atau prosedur medis memang harus dilakukan dengan sangat hati-hati mengikuti protokol ketat di bawah otoritas berwenang bekerja sama dengan para peneliti dari berbagai institusi akademik terakreditasi. Jika di Indonesia, misalnya dibiayai oleh perusahaan farmasi, dikerjakan oleh para peneliti dari berbagai universitas dan diawasi oleh BPOM dan kementrian kesehatan.
Riuh rendahnya kontroversi uji coba fase 3 vaksin TBC yang diberi kode M-72 di Indonesia sebetulnya sudah dapat dijawab dengan uraian di atas. Kekhawatiran merupakan sebuah upaya pemusnahan atau depopulasi rasanya terlalu jauh menyimpang. Bonus demografi penduduk padat negara ini justru menjadi target industri bagi seluruh negara-negara produsen. Apalagi bangsa kita terkenal sangat komsumtif dan kurang kritis dalam berpikir. Tentu ini menjadi sasaran empuk penjualan berbagai produk negara-negara industri di seluruh dunia.
Kalau toh mau melakukan pemusnahan masal, metode vaksin TBC juga tidak proporsional. Kita tahu, berbagai negara telah mengembangkan senjata biologis pemusnah masal saat perang dunia seperti Jepang dengan proyek Unit 731 misalnya. Itu memakai agen-agen infeksi akut yang menyebabkan kematian cepat, seperti kuman anthrax atau cholera, bukan penyebab infeksi kronis seperti TBC. Lagi pula, pada setiap uji klinis, semua subyek penelitian wajib mengisi informed concent terlebih dahulu. Sebuah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya setelah menerima informasi lengkap dan jelas mengenai tindakan medis yang akan dilakukan.
Informed consent memastikan bahwa pasien memahami manfaat, risiko, dan alternatif dari tindakan medis tersebut, sehingga dapat memberikan persetujuan secara sukarela dan bijaksana. Artinya setiap orang berhak ikut atau tidak ikut dalam uji coba. Yang tidak boleh adalah, memaksa ikut atau melarang orang yang mau ikut.
Tanpa prosedur uji coba atau uji klinis, maka takkan pernah ada vaksin, obat atau pun tindakan bedah yang bisa kita “nikmati” saat ini, saat sakit atau untuk mencegah penyakit. Ada begitu banyak vaksin seperti vaksin demam berdarah, tetanus, hepatitis, campak atau terbaru herpes zooster. Begitu banyak obat seperti anti biotika, anti virus, anti hipertensi dan lain-lain. Atau berbagai tindakan medis seperti laparoskopi, operasi robotik yang kian canggih.
Itu semua wajib sudah melewati fase-fase ketat dalam penelitian uji klinis dan baru bisa diterapkan jika sudah disetujui (approve) oleh badan berwenang. Dan tak berhenti pada uji coba vaksin TBC, akan ada kemudian uji coba-uji coba kandidat obat atau vaksin lain seperti vaksin malaria, mungkin flu burung, obat HIV dan seterusnya.
Jika kita bicara depopulasi, kurang apa infeksi TBC paru di Indonesia yang menjangkiti tak kurang dari 1 juta penduduk dan membunuh tak kurang dari 130 ribu orang per tahun dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah nomor 2 penderita TBC paru terbanyak di dunia?
Dengan fakta seperti itu, sebetulnya Indonesia sangat layak ikut serta dalam uji klinis tersebut bersama negara-negara lain yang memiliki masalah serupa. Akan ada dua hal yang dapat menghalani keterlibatan kita yaitu, literasi yang rendah dan kultur egoistik yang masih tinggi. [T]
Penulis: Putu Arya Nugraha
Editor: Adnyana Ole
Klik BACA untuk melihat esai dan cerpen dari penulis DOKTER PUTU ARYA NUGRAHA