LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB), Juni mendatang. Basah yang memeluk Kampus Menjangan, Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan tak sedikit pun melunturkan gelegak semangat para seniman muda itu untuk terus bergerak.
Di tengah gerimis yang menari, denyut nadi para penari dan penabuh justru kian membara. Mereka sedang mematangkan diri dalam acara pembinaan Peed Aya (Pawai) Duta Kabupaten Buleleng untuk PKB. Mereka, di bawah pembinaan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, bersiap tampil memukau, di hadapan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Bajra Sandhi, pada pembukaan PKB mendatang.
Pawai ini digarap STAHN Mpu Kuturan Singaraja dengan melibatkan sekitar 300 seniman mahasiswa. I Putu Ardiyasa bertindak sebagai pemimpin produksi, dan dalam penggarapannya peed aya itu ia terinspirasi dari kesenian khas daerah yang akarnya terinspirasi dari Pura Panca Sila atau Pura Gambur Negara Anglayang di Kubutambahan.
”Garapan ini sejatinya berangkat dari visi besar STAHN Mpu Kuturan untuk menggaungkan kembali spirit Mpu Kuturan yang mempersatukan Bali,” kata Ardiyasa.

I Putu Ardiyasa, Pimpinan Produksi. Sumber foto: MKTV
Ardiyasa mengatakan ia melihat Buleleng sebagai sebuah entitas yang sarat akan pluralitas, dengan jejak pabean-pabean kuno yang masih diwarisi. ”Dan eks Pelabuhan Buleleng menjadi muara gagasan, mengingat sejarahnya sebagai cikal bakal pelabuhan di Pulau Dewata,” ujar Ardi dengan nada bersemangat.
Buleleng merupakan kota multi etnis karena menjadi pintu masuk utama ke Pulau Dewata. Kesenian khas Buleleng tidak hanya terinspirasi dari kesenian Bali, tetapi juga merangkul berbagai kesenian etnis lain yang ada di sana. Salah satunya yaitu Burdah, yang akarnya berasal dari kisah perjalanan Panji Sakti saat memimpin pasukannya dari Blambangan.
Ketut Muhammad Suharto, Ketua Sekaa Burdah Burak Pegayaman, menjelaskan pawai tersebut akan menampilkan pencak blebet, sebuah seni pencak rotan yang menjadi wujud nyata akulturasi budaya masyarakat Bali dengan ajaran Islam.
Ia menyebutkan, seni ini telah berkembang dan hidup di tengah masyarakat selama ratusan tahun silam, diiringi oleh lagu pukulan rebana asli Desa Pegayaman.
”Jadi rebana itu asli dibuat oleh orang Pegayaman, terbuat dari bungkil kelapa, dengan kulit kambing atau sapi sebagai membrannya,” terangnya.

Gajah untuk Panji Sakti | Sumber foto: MKTV
Kala Raja Buleleng Panji Sakti meraih kemenangan, kata Ardi, ia dianugerahi gajah dan pasukan. Pasukan inilah yang kemudian mendiami Pegayaman dan mewariskan kesenian burdah. ”Inilah fragmen sejarah yang akan kami hidupkan,” kata Ardi.
Tak hanya burdah, akan ada atraksi barongsai sebagai penanda jejak peradaban Tionghoa. Ada pula Janger Menyali, refleksi pertemuan budaya Bali dan Belanda, serta boneka gendong dari Desa Les, sebuah ekspresi yang awalnya kontemporer kini telah menyatu dengan tradisi.
Semua ini akan dinarasikan dengan kehadiran dua sosok patih simbolik, Ki Dosot dan Ki Dumpyung, penasihat bijak Panji Sakti, dengan Keris Ki Mundaran sebagai personifikasi keagungannya.
“Inilah sajian perdana kami, kesenian khas daerah,” tandas Ardi.
Kemudian, tiga garapan tematik dijanjikan akan menyita sanubari. Yang pertama, tari kreasi pedeengan Buleleng, yang akan dibalut tabuh barungan angklung don pitu khas Buleleng. Deeng Buleleng ini dipergunakan khusus saat upacara ngaben utama pada rentetan acara pebaktian keluarga dimana semua keluarga yang masih dalam satu trah wajib memberikan penghormatan terakhir kepada tetua yang diaben.
Ngaturang bungan eeeng artinya jika keluarga bersangkutan mendapatkan pemeras (biasanya setara cucu, cicit, kompyang) mereka wajib ngaturang atau ngejot dengan ada sepasang deeng kepada keluarga yang melaksanakan upacara ngaben.
“Judul Bungan Deeng sendiri terinspirasi dari Bunga Natah. Jegeg-jegeg natah atau di keluarga itu menampilkan payas yang sempurna dengan keelokan dikeluarkan dalam ritual Pedeengan,” ungkap Ardi.
Garapan tematik kedua bertajuk teatrikal bandung rangki. Mengisahkan praktik sakral panen getah aren/jaka (ngalih nira/nuwakin) dan pembuatangula aren khas Pedawa di Rumah Adat Bandung Rangki. Masyarakat Pedawa menganggap nira sangat penting dan memiliki pantangan untuk tidak berbicara atau menyapa saat membawanya ke rumah adat, karena melanggar kepercayaan ini dapat membuat pohon aren marah dan berhenti mengeluarkan getah.
“Mereka juga tidak berani menebang pohon aren yang masih produktif,” tutur Ardi.
Ciri khas rumah adat Bandung Rangki menggunakan arsitektur bangunan yang mebandung bersilang antara api atau dapur dengan air atau gentong, serta kamar tidur orang tua dan anak. Rumah ini berfungsi lengkap sebagai dapur, hunian, aktivitas keseharian, dan aktivitas ritual seperti dewa yadnya, butha yadnya, manusa yadnya, dan pitra yadnya.
Lebih dari sekadar bangunan, Bandung Rangki merepresentasikan masyarakat Pedawa terhadap menghargai pelestarian dan keberlanjutan alam.
”Kami membuat replika rumah bandung rangki dengan material bangunan yang hanya menggunakan bahan alami yaitu bambu dan kayu yang tumbuh subur dan berlimpah di Desa Pedawa,” ucap Ardi.
Untuk menciptakan suasana khas Desa Pedawa, pertunjukan ini menggunakan barunganmadya yang terinspirasi dari pola-pola gamelangongduwe, diimplementasikan dalam gamelangenderbatelblelengan. Suasana sakral diperkuat dengan sentuhan sasendonan atau vokal yang meniru cengkok vokal kakidungan sakral dari Desa Pedawa.
Garapan terakhir yaitu Agra Bhuwana Raksa. Agra itu adalah hulu, Bhuwana itu adalah bumi atau jagat, Raksa itu adalah menjaga. ”Jadi kami ingin spiritnya adalah menjaga peradaban hulu gitu,” ucapnya.
Menjaga peradaban hulu. Kenapa hulu?
Selain pesisir, hulu juga menjadi penting untuk dijaga karena hulu pusat kehidupan. Selain ada air, di sana ada pohon-pohon juga yang harus lindungi karena manusia setiap hari menghirup nafas dari udara yang segar yang datang dari pohon-pohon.
”Kita setiap hari juga membutuhkan air yang tentu datang dari sumbernya dari hulu juga dan peradaban hulu ini kita jaga melalui ada sebuah ritual yang namanya Saba Malunin,” imbuhnya.
Saba Malunin itu sudah menjadi warisan budaya tak benda tingkat Kabupaten Buleleng sudah ditetapkan oleh Kabupaten Buleleng melalui Dinas Kebudayaan. Saba Malunin ditujukan kepada Hyang Bhatara Lingsir. Atau dalam Bahasa Pedawa disebut tegteg, tegteg Ring Pawongan, Palemahan lan Parahyangan. Sebuah tradisi kuno yang diwariskan hingga saat ini oleh masyarakat Pedawa sebagai bentuk laku penjaga peradaban hulu hingga tercapai Jagat Krti.
”Berbagai macam rangkaian-rangkaian bahkan ada rejang yang terdiri dari 26 rejang mungkin lebih. Kemudian ada ada tari baris juga di dalamnya,” tuturnya.
Masyarakat Pedawa menjalankan ritual Saba Malunin bukan sekadar sebagai upacara, melainkan sebagai perilaku hidup sehari-hari. Ritus ini sangat bergantung pada sarana utama seperti tuak, beras, dan ketan, yang semuanya berasal langsung dari alam Pedawa. Tanpa hasil alam tersebut, mereka tidak dapat melangsungkan upacara. Berbeda dengan praktik modern yang bisa membeli kebutuhan upacara, masyarakat Pedawa mutlak bergantung pada ketersediaan alam untuk ritual mereka.
Hal ini menunjukkan ikatan mendalam dan spesial masyarakat Pedawa dengan alamnya, termasuk sumber daya air. Desa Pedawa memiliki belasan mata air, dan keberadaannya melambangkan kelengkapan tirta (air suci) bagi mereka.
”Perkiraan mereka punya 16 sumber mata air, sumber air ini melambangkan jangkep (lengkap) untuk nunas tirta (air suci) ini. Jika sumber air bermasalah, itu menandakan adanya ketidakberesan di desa,” paparnya.
Pertunjukan ini juga akan menampilkan tiga tokoh utama dari struktur Dulu Desa di Pedawa. Dulu disebut juga Paduluan dimaknai sebagai orang yang sudah mencapai jenjang Tingkat atas yang disucikan dan dihormati posisinya di desa. Dulu desa terdiri Dane Nawan, Dane Manis, Dane Paing, Dane Wage, Dane kliwon, dan Dane Baan.
”Namun dalam karya hanya di pakai 3 simbol saja dan Prajuru adat atau Kelian Desa, Jro Balian Desa dan Dulu Desa,” papar Ardi.

Tiga tokoh perwakilan Dulu Desa di Pedawa. Di sebelah kanan Kelian Desa, di tengah adalah Jro Balian Desa, dan sebelah kiri Dulu Desa | Sumber foto: MKTV
Usai latihan, Komang Tri Eri Gunawan, mahasiswa semester 8 Pendidikan Agama Hindu (PAH) yang memerankan Kelian Desa, mengaku keikutsertaannya dalam Peed Aya ini menjadi penawar dahaga jiwa di tengah kesibukannya merampungkan skripsi.
“Jujur, ini semacam healing, bisa sejenak berpaling sedikit dari gempuran skripsi,” ucapnya sembari mengusap peluh.

Penari Bebalunan | Sumber foto: Dinda
Putu Swadinda Cistaswari, mahasiswi semester 6 dari program studi yang sama, yang akan menarikan Bebalunan — banten balun akronim dari banten Lungguh, sebuah sesajen yang dibuat di pura oleh Perempuan (krama ngarep) dan langsung di haturkan saat itu juga. Ia pun tak bisa menutupi rasa bungahnya saat mendapatkan peran itu.
“Ini pengalaman pertama yang sangat berkesan. Proses latihan, bertemu teman-teman baru dari berbagai prodi dan angkatan, semuanya seru. Kami berjuang bersama agar bisa menampilkan yang terbaik di PKB,” ujar Dinda, sapaan karibnya.
Namun, secara etika banten balun tidak boleh di replika, sehingga garapan ini melakukan kreasi bentuk banten dan termasuk gerak tari yang sesuai dengan suasana religius, namun tanpa mengurangi maknanya.

Penabuh kendang Bandung Rangki | Sumber foto: MKTV
Gede Lanang Prasetya, penabuh kendang untuk garapan Bandung Rangki, mahasiswa semester 6 Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu (PSBKH), menganggap ini sebagai pengalaman yang tak ternilai.
”Kegiatan ini bukan sekadar wadah unjuk kreativitas, tapi juga mempererat solidaritas dan rasa cinta terhadap warisan budaya Bali. Semangat kebersamaan sangat kental terasa,” ungkapnya. Ia berharap, keterlibatan ini dapat memantik gairah generasi muda untuk terus berkreasi dan melestarikan seni budaya.
Kendati hujan belum juga beranjak dari langit Buleleng, semangat para duta seni ini justru kian menyala, siap mempersembahkan yang terbaik dari Gumi Den Bukit untuk Bali. [T]
Penulis: Komang Puja Savitri
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: