MENJADI wartawan itu salah satu impian mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi itu dulu, sebelum era internet. Sebelum media konvensional makin tak menentu nasibnya. Dalam beberapa tahun terakhir, setiap saya tanya mahasiswa di kelas, “Siapa yang mau jadi jurnalis?” tak seorang pun mengangkat tangan.
Eh, tapi masih ada yang mengangkat tangan ternyata. Satu dua orang. Mau jadi jurnalis apa? “Reporter TV, Pak,” kata mereka. Wartawan koran jelas tak menjadi pilihan. Media cetak satu persatu pamit undur diri. Reporter televisi nampak masih keren, wajahnya sering nampang di layar. Entahlah apakah sedikit mahasiswa itu masih ingin bekerja di televisi sekarang, ketika belakangan televisi pun tak bernasib baik.
Setelah Net TV dan ANTV mem-PHK massal karyawannya, kini menyusul Kompas TV, CNN Indonesia, dan TVOne. Lembaga penyiaran publik TVRI dan RRI pun memutus tenaga lepas, kontributor, dan pegawai kontrak di berbagai daerah, menyusul kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah.
Jadi, bahkan televisi—media bintangnya generasi X, kini pun sulit menghadapi gempuran disrupsi dunia media. Mau bagaimana lagi, cara orang menikmati media kini jauh berbeda. Terutama generasi muda, mereka enggan menunggu jam tayang. Mereka penonton ‘on-demand’. Mereka kini menikmati konten audia visual di Youtube, TikTok, atau Netflix.
Ketika penonton berkurang, pengiklan pun berpaling. Padahal, iklan adalah nyawa industri televisi. Belanja iklan televisi terus menurun. Apa yang terjadi di Net TV bisa jadi gambaran. Pendapatan PT MDTV Media Technologies Tbk (NETV) turun pada kuartal I 2025. MDTV mencetak pendapatan Rp 32,6 miliar pada kuartal I 2025. Pendapatan tersebut turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 81,7 miliar.
Di sisi lain, belanja iklan untuk platform digital mengalami kenaikan signifikan. Menurut Nielsen, pada 2024, 54% dari total belanja iklan di Indonesia dialokasikan untuk media digital, mengungguli televisi yang memperoleh 39%, dan radio 7%. GroupM memproyeksikan, pada 2025, 75% dari total belanja iklan di Indonesia akan didominasi oleh media digital.
Platform media sosial dan video streaming kini menjadi pilihan utama bagi pengiklan di Indonesia. Jangkauan media sosial memang luar biasa. YouTube memiliki sekitar 139 juta pengguna, menjangkau 75% pengguna internet di Indonesia. TikTok yang datang belakangan kini digunakan oleh sekitar 126,8 juta pengguna dewasa, mencakup 68,5% dari seluruh pengguna internet. Instagram memiliki sekitar 109 juta pengguna, dengan jangkauan iklan sebesar 54,5% dari pengguna internet. Sedangkan Facebook digunakan oleh sekitar 117,6 juta pengguna, menjangkau 63,5% pengguna internet di Indonesia.
***
Wajah periklanan itu memang menggambarkan apa yang terjadi pada dunia media. Ada shifting, baik pada aspek produksi, konsumsi, ataupun distribusi pesan. Media baru jelas unggul dalam kecepatan. Konsumen berita kini tak mau menunggu (waiting for), tapi mencari (searching for). Media baru mengafirmasinya dengan kemelimpahan informasi, dengan pintu masuk mesin pencari (search engine).
Produksi pesan pun kini berubah drastis. Modal besar perusahaan televisi kini harus bersaing dengan sistem produksi personal yang murah dan lincah dalam produksi konten. Uniknya buah kreasi para amatir di dunia medsos seringkali lebih kreatif dan mudah viral. Popularitas para broadcaster kini kalah dengan para selebgram atau influencer.
Wajar jika kini mahasiswa lebih ingin menjadi content creator ketimbang reporter televisi. Kurikulum Prodi Ilmu Komunikasi mestinya juga adaptif. Materi pembelajaran tentang televisi dan koran tak harus hilang, tapi porsinya tentu jauh berkurang. Atau bahkan sekadar cukup masuk dalam mata kuliah sejarah komunikasi massa?
Dunia kerja sarjana komunikasi tak hilang, hanya berubah lahan. Ada beberapa profesi lama yang kian sedikit dibutuhkan, namun profesi baru bermunculan. Mereka mungkin enggan jadi wartawan dan kini lebih tertarik jadi Content Strategist, Social Media Specialist, Digital Marketing Specialist, Content Designer, Podcast Producer, Public Relations Digital Analyst, Influencer Manager, Corporate Communication Specialist, atau Media Data Analyst.
Suka atau tidak, teknologi memang seringkali mendeterminasi, seperti dikatakan Marshall McLuhan. Kehadiran internet pun ada di balik disrupsi dunia komunikasi ini. Teknologi tak bisa disalahkan atau dilawan, tetapi bisa dikonstruksi pemanfaatannya. Kita mungkin shock dengan segala perubahan ini, tapi semata mengurut dada tak ada artinya. Saatnya move on bagi semua, terutama para profesional atau calon pekerja media. [T]
Penulis: Edi Santoso
Editor: Adnyana Ole