HUJAN lebat bagai tirai putih yang menyelimuti stasiun. Senja baru saja turun ketika Naya menginjakkan kakinya di aspal yang becek. Sepatunya ia biarkan basah begitu turun dari taksi daring. Dengan tergopoh-gopoh ia pun bergegas menuju pintu masuk stasiun. Beruntung tak banyak barang yang dibawanya, hanya tas ransel dan koper kecil yang ia seret dengan semena-mena. Hal itu cukup memudahkannya saat hendak memasuki peron.
Hujan makin lebat. Rinai-rinainya memukul-mukul atap baja stasiun tanpa ampun. Naya hanya mendengar suara ribut ketika menyeberangi rel menuju kereta yang hendak berangkat. Stasiun sepi. Tak banyak orang yang menaiki kereta. Dan bau pesing langsung menyergap rongga hidung saat kakinya menginjak bordes.
Susah payah Naya mencoba membuka pintu gerbong. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menggeser pintu itu tapi tetap saja gagal.
“Saya bantu, Mbak.”
Seorang lelaki tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, dan langsung menggeser pintu. Pintu terbuka. Gerbong kereta yang sepi langsung terbentang di hadapan keduanya. Naya mengucapkan terima kasih pada laki-laki itu, dan berjalan pelan menuju nomor kursi yang tertera pada tiket. Koper diletakkannya pada rak bagasi sebelum ia duduk di sebelah jendela kaca. Naya duduk menghadap arah yang berlawanan dengan arah jalannya kereta.
Laki-laki yang tadi membantunya kini berjalan ke arahnya. Sebuah topi hitam terpacak di kepala laki-laki itu. Tubuhnya kurus tinggi. Jaket kanvas yang basah karena hujan membungkus tubuh itu. Sedangkan tas ransel berwarna kelabu yang juga basah tercangklong erat di pundaknya. Dan laki-laki itu duduk di hadapan Naya. Tatapannya tajam. Namun, ketika Naya membalas tatapan itu, mata si laki-laki justru melihat ke arah jendela, menembus tempias-tempias hujan yang membasahi kaca dan kegelapan yang mulai datang. Dalam temaram Naya melihat rahangnya yang tegas. Serta jakun pada leher yang bergerak naik turun.
***
Satu jam sebelumnya, Gustam baru saja mengadali dua orang polsuska yang mengejarnya. Ia yang baru saja menggarong satu unit komputer jinjing dan ponsel pintar milik seorang penumpang kereta eksekutif berhasil lolos dari kejaran dengan menerobos pagar pembatas rel di area stasiun.
Gustam sudah sangat menguasai wilayah stasiun ini. Maka, dengan sangat licin ia mengelabui petugas. Ia berlari memasuki gang-gang sempit di seberang stasiun. Gerimis yang mulai turun tak dipedulikannya. Yang tidak disadari petugas adalah bahwa Gustam justru berbalik arah melewati gang lain. Ia kembali memasuki area stasiun, dan membeli tiket kereta kelas ekonomi.
“Polisi tolol,” gumamnya ketika memasuki peron.
Ia lalu duduk dengan santainya sembari menunggu kedatangan kereta. Perasaannya tenang, tapi tidak dengan langit di atas sana. Awan sudah begitu kelam menggumpal. Rinai-rinai hujan segera meluncur cepat, memukul-mukul atap baja stasiun tanpa ampun.
Gustam baru saja mulai mengisap rokok yang kedua ketika kereta ekonomi dari timur tiba. Rokok itu buru-buru digilasnya dengan sepatu. Baru juga ia bangkit dari kursi dan hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba perempuan bertubuh kecil itu melintas di hadapannya. Kerudung berwarna mustard menutup rapat rambut si perempuan hingga ke dada. Langkahnya terburu-buru. Koper kecilnya diseret dengan semena-mena.
Tak ada firasat atau gairah apa pun pada diri Gustam, tapi perempuan itu mengingatkannya pada perempuan yang pernah dicintainya. Maka si perempuan pun menyeretnya bagai magnet. Senyuman melalui mata dengan jelas tertangkap olehnya ketika ia membantunya membuka pintu gerbong. Ia hanya menangkap senyum melalui mata karena wajah perempuan itu tertutup masker hitam. Mata yang meneduhkan, batinnya.
Kini Gustam duduk berhadap-hadapan dengan perempuan itu setelah mencocokkan nomor kursi dengan yang tertera pada tiketnya. Ia mencoba mencuri-curi pandang. Tapi ia tak kuasa menghadapi tatapan perempuan itu ketika menatapnya. Ia gugup. Perempuan bertubuh kecil ini, dengan tatapan matanya yang teduh, mengapa begitu berkuasa atas dirinya yang seorang penjahat. Gustam hanya dapat menyimpan tanya dalam hati.
“Turun mana, Mas?” tanya perempuan itu.
“Eh… Lempuyangan,” jawab Gustam gelagapan.
“Oh, sama, saya juga,” kata perempuan itu.
***
Kereta bergerak ke arah barat daya. Suara deru lokomotif menembus jendela-jendela kaca. Suara roda baja yang menggilas rel memecah sepi. Seorang laki-laki tua kini duduk di sebelah Gustam, sehingga pria itu beringsut ke kanan, lekat ke jendela. Naya juga bertanya kepada laki-laki tua itu akan turun di mana. “Klaten, Mbak” jawabnya.
Sembari meletakkan barang bawaannya di bawah kursi, laki-laki tua itu balas bertanya kepada Naya akan turun di mana. Naya menjawab, dan keduanya pun terlibat obrolan basa-basi tentang cuaca, Kota Yogyakarta, dan hidup kaum papa yang penuh derita. Sementara Gustam hanya mendengar saja sambil sesekali menyunggingkan senyum kaku. Selang beberapa menit, laki-laki tua itu mengertak-ngertakkan badannya. Mungkin ia begitu lelah. Ia pun tertidur.
Suasana kembali sepi. Gustam masih mengedarkan pandangan ke arah jendela, menembus kegelapan dan cahaya yang berkelebatan. Namun sesekali ia melirik perempuan di hadapannya. Dan kini perempuan itu duduk tegak dan bersedekap. Ia salat.
Untuk sesaat Naya tenggelam dalam kekhusyukan. Sedekapnya yang lembut mengisyaratkan bahwa ibadah itu ia lakukan dengan kesungguhan hati. Seolah ia telah memasrahkan seluruh hidupnya. Tak peduli lagi dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Tak peduli lagi dengan baik buruknya dunia. Dan tak peduli lagi dengan bahaya yang mengancam. Matanya yang teduh memandang ke bawah. Asma-asma Tuhan ia ucapkan dengan lirih di balik masker.
Untuk kesekian kali Gustam melihat lagi sorot mata Naya yang teduh, dan bulu matanya yang lentik. Namun, hanya dalam hitungan detik, tiba-tiba saja pria itu merinding. Ia bergidik. Ia merasa ada yang melumat-lumat jiwanya. Apakah perempuan yang di hadapannya itu sedang menghukumnya?
Gustam merasa dirinya kotor. Sungguh kotor. Ia juga merasa kalah. Kebinatangan dalam dirinya seolah tak ada artinya lagi. Kini, di dalam hati ia melontarkan sumpah serapah kepada diri sendiri. Tapi, meski begitu, ia tetap tak bisa mencegah datangnya pikiran yang menyuarakan pembelaan; bahwa kesuraman nasib yang menderanya bukanlah semata-mata salahnya. Ia teringat lagi hari-hari berat di masa lalu, yang membuatnya memutuskan menjadi binatang.
Gustam masih sangat ingat perasaannya tatkala sindiran demi sindiran datang dari mulut mertuanya lantaran ia hanya berdagang ayam krispi yang jarang laku. Ketika itu ia sudah sepuluh bulan dipecat dari perusahaannya, dan tanpa pesangon. Di sisi lain ia telah memiliki dua anak usia balita. Keduanya perlu susu yang harganya mencekik. Juga makanan, pakaian, dan perawatan dokter jika si anak menderita sakit.
“Sampean kan sudah punya banyak pengalaman, masa sih ndak bisa cari kerja lain?”
Kini kata-kata istrinya semakin membuatnya meradang, seperti cambuk yang mendera batinnya. Deraan itu makin menjadi-jadi ketika tanpa meminta izin kepadanya, si istri memutuskan kembali bekerja di kantor lamanya. Karena Gustam tidak cakap mengurus balita, maka kedua anaknya yang masih mungil diurus mertuanya. Gustam makin merasa dirinya kecil dan terkucilkan.
Hari demi hari ia habiskan dengan melamun di sebelah gerobak ayam krispinya di tepi jalan. Cuaca panas, deru kendaraan, dan debu-debu yang berterbangan kian membuatnya gerah dan sesak. Dan di penghujung hari, bukan untung yang didapat, tapi kerugian tak terkira karena saking tak adanya yang membeli dagangannya.
Hingga tibalah malam itu, malam yang menjadi titik tolak keputusannya menjadi binatang.
“Bener katanya ibuk, sampean itu memang ndak bisa diandalkan.”
Kata-kata istrinya itu meremukkan martabatnya sebagai suami dan laki-laki. Malam itu Gustam ke luar rumah. Hari demi demi hari ia lalui dengan berpindah-pindah. Dari rumah seorang teman ke rumah teman lain; dari rumah seorang kenalan ke kenalan lain. Panggilan telepon dari istrinya tak ia pedulikan. Ia mencoba menyelamatkan harga diri yang masih tersisa. Hingga ketidakjelasan nasib itu membawanya pada pertemuan dengan kelompok gali. Gustam langsung hilang akal, dan segera ia menjadi pencoleng.
Gustam dan seorang gali beraksi di kawasan ring road yang sepi dan minim penerangan. Mereka membegal siapa saja yang menurut mereka lemah. Gustam rupanya punya insting kuat dalam menilai apakah seseorang itu punya kemampuan membela diri ataukah tidak dari caranya berkendara. Bermodalkan insting itulah ia pun dengan mudah menggasak barang apa pun dari korbannya: uang, ponsel pintar, perhiasan, jam tangan, dan sepeda motor.
Gustam pun tak ragu melukai korbannya jika mencoba melawan. Ia bahkan pernah menebas tangan seorang perempuan dengan golok hingga putus, karena si perempuan mati-matian mempertahankan arloji di pergelangan tangannya. Jerit kesakitan dan tangisan perempuan itu kadang menghantui Gustam ketika ia tenggelam dalam lelap malam.
Hingga akhirnya polisi pun menggelar patroli skala besar. Hampir setiap malam petugas menyisir dan mengitari ring road dan ruas-ruas jalan di pinggir kota. Gustam dan gerombolan gali awas dan waspada. Mereka kemudian sepakat berhenti membegal dan berpencar untuk sementara waktu. Gustam pun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Hidupnya tak menetap, namun sesekali ia masih menyempatkan pulang ke rumah. Dan berbekal pengalaman kejahatan bersama para gali, ia pun menjadi pencoleng di banyak tempat; di terminal-terminal, di bus-bus antarkota, di stasiun, dan di kereta api.
***
Setelah mengucap dua kali salam tanda berakhirnya salat, Naya merogoh-rogoh tas ranselnya yang diletakkan di bawah kursi. Ada panggilan masuk di ponselnya. Detik itu juga Gustam tersadar dari lamunannya.
“Halo, Mas Bagas,” kata Naya sambil melambai-lambaikan tangan di depan layar ponsel. “Baru bangun, ya?” katanya lagi.
Menyadari bahwa dirinya sedang berbicara lewat panggilan video, Naya lantas melepas masker. Gustam kembali mencuri-curi pandang. Cantik sekali, batin pria itu.
“Halo, Mas Bagas, halo…” kata Naya lagi, masih dengan melambai-lambaikan tangan.
“Bunda… Bunda…”
Terdengar suara dari seberang sana. Itu suara bocah laki-laki yang dipanggil “Mas Bagas” oleh Naya. Dan si ibu tak henti-hentinya tersenyum lebar dengan mata berbinar menatap si bocah melalui layar.
“Sudah sampai mana, Nduk?”
Kini terdengar suara lain, seorang perempuan.
“Sampai Caruban, Bu”, sahut Naya.
Kini Naya terlibat obrolan macam-macam dengan perempuan itu. Sementara Gustam merasa resah. Ada gejolak dalam diri yang tak bisa ia jelaskan. Detik demi detik gejolak itu makin mendesak-desak dalam relung hatinya. Ia ingin melawan, tapi tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia hanya bisa pasrah. Dilihatnya laki-laki tua yang duduk di sebelahnya yang masih tertidur pulas. Lalu diliriknya Naya yang masih menebar senyum di depan layar ponsel. Perempuan itu memantik nalurinya sebagai pria, tetapi juga menyiksa nuraninya sebagai manusia. Suatu kontradiksi yang tak bisa ia mengerti.
“Yo wis, hati-hati, ya, Nduk,” pungkas perempuan di seberang tadi mengakhiri obrolan.
“Iya, Bu,” sahut Naya. “Mas Bagas sama Mbah Uti dulu, ya,” katanya lagi, “Bunda kerja dulu. Jangan nakal lho, ya.”
Gustam makin tak tahan. Batinnya kian tersiksa. Dan di tengah-tengah perasaannya yang bergemuruh, laju kereta tiba-tiba melambat, lalu berhenti. Stasiun Madiun.
Gustam beranjak dari kursinya dan segera menuju pintu keluar. Naya hanya memandangi pria itu. Matanya bahkan tak bisa lepas dari punggung si pria yang sedang berjalan ke arah pintu. Namun, Gustam sama sekali tak menyangka kalau ada dua polsuska yang sedang berjaga ketika ia sampai di bordes. Sial bagi Gustam karena dua polsuska itu mengenali wajahnya. Tapi, kali ini ia benar-benar pasrah. Sedikit pun tak ada dorongan untuk melawan. Ia pun langsung diborgol dan digelandang.
Naya yang berada di dalam kereta masih sempat melihat Gustam yang kini telah menjadi pesakitan. Melalui jendela kaca yang diselimuti tempias hujan, Naya menatap mata pria itu, yang kini tidak lagi menghindari tatapannya. Gustam sendiri tak tahu dari mana ia mendapat keberanian menatap mata Naya. Yang ia tahu, tatapan mata itu akan selalu lekat di ingatannya; tatapan mata dari seorang perempuan yang bahkan ia tak akan pernah tahu siapa namanya. [T]
Penulis: Anggit Rizkianto
Editor: Adnyana Ole