PADA pukul 21.47, Rabu 16 April 2025, pengumuman juara LCP (Lomba Cipta Puisi) Piala Kebangsaan bertema Pagar Laut diumumkan. Dalam pengumuman tersebut juga disertakan pertanggungjawaban dewan juri yang terdiri dari Hasan Aspahani, Sofyan RH. Zaid, dan Wayan Jengki Sunarta. Pertanggungjawaban tersebut berisi harapan dari dewan juri untuk menemukan puisi yang sampai seberang.
Nah, apa yang disebut puisi yang sampai ke seberang ialah sebagai berikut:
Yang kami ingin temukan adalah puisi yang mampu menyeberang merenangi selat. Ibaratnya ada ombak besar yang harus ditaklukkan.
Kami memilih puisi yang sampai di seberang. Itu artinya, tema digarap dengan baik, terucapkan dengan utuh. Kompleksitas dihadirkan dengan kemahiran memberdayakan perangkat puitika yang mungkin, dan yang cocok.
Jika diringkas, maka apa yang dimaksud puisi yang sampai ke seberang adalah puisi yang temanya digarap dengan baik, terucapkan dengan utuh. Kompleksitas dihadirkan dengan kemahiran memberdayakan perangkat puitika yang mungkin, dan yang cocok.
Di situ dewan juri mengeluhkan banyak puisi peserta yang menurut mereka seperti menunjukkan kemampuan menyelam. Itu bagus, tapi bukan itu yang diperlukan. Ada juga puisi yang seperti menunjukkan berselancar dengan indah. Itu juga bagus, tapi sekali lagi bukan itu yang dituntut oleh tema puisi ini.
Nah, yang dimaksud menyelam dan berselancar dijelaskan lebih konkret sebagai berikut:
Kami, para juri, membayangkan akan bertemu dengan sajak-sajak yang dengan baik mengolah ironi itu. Mungkin seperti sajak Sutardji Calzoum Bachri “Jembatan” atau “Taman”, atau sajak-sajak yang meminjam bentuk pamflet seperti yang dilakukan Rendra dalam “Potret Pembangunan dalam Puisi”. Atau tentu saja juga berbagai kemungkinan lain yang dengan penguasaan pada perangkat puitika, kekuatan imajinasi puitik, lalu bekerja dengan semua bahan yang tersedia, menaklukkannya menjadi medan teks puisi yang tak sekedar menyalin realitas.
Akan tetapi sebagian besar puisi yang kami baca masih berenang di wilayah dangkal, seakan ya itu tadi, hanya menyalin realitas dengan cara yang bahkan lebih buruk dari sebuah berita. Atau jika ada upaya lebih hanya sampai pada kolase atau tempelan yang tidak padu. Lebih parah lagi beberapa puisi bahkan tidak paham apa bahan yang dipuisikan. Mengira pagar laut adalah benteng yang menjaga pantai dari gempuran ombak.
Banyak puisi yang berhias jargon, yang terasa menempel, tanpa misalnya bisa diberdayakan sebagai alusi untuk menambah lapisan makna pada teks.
Maka yang disebut menyelam dan berselancar adalah puisi yang hanya menyalin realitas, berhias jargon, dan tidak diberdayakan sebagai alusi untuk menambah lapisan makna pada teks.
Dari pertanggungjawaban dewan juri tersebut, mencuatlah satu judul puisi yang mampu sampai ke seberang. Puisi tersebut berjudul Pagar Bambu dan Pasar yang Bergejolak karya Adrian (Bandi Robin). Dewan juri kemudian melengkapi pertanggungjawabannya dengan mengulas mengapa puisi Adrian layak jadi pemenang.
Adrian mengucapkan ketiba-tibaan mencuatnya isu pagar laut dengan larik “pagar bambu tumbuh dari laut /bukan dari akar”. Lalu dia melengkapi “reportase”-nya atas ironi itu, dengan segala paradok, kontras yang bisa ia tangkap, hingga sampai pada penutup yang mengutuhkan “membawa pagar-pagar bambu ini / pulang ke tempat asalnya: istana”. Istana? Pilihan metafora yang seperti ujug-ujug tapi ibarat joke ia adalah twist atau punchline yang sudah didahului premis. Larik ini memastikan memang Adrian dengan puisinya telah membawa kita ke seberang, kenyataan yang kita tahu tapi tetap saja mengganggu pikiran kita. Itulah keistimewaan puisi Adrian dan layak menjadi pemenang terbaik dalam lomba ini.
Ulasan dewa juri tersebut mengandung beberapa kata kunci, yaitu ketiba-tibaan, ironi, paradoks, premis, twist atau punchline. Kemudian, pertanggungjawaban dewan juri juga ulasan tentang mengapa puisi Pagar Bambu dan Pasar yang Bergejolak menjadi juara, membuat saya tertarik membaca puisi yang oleh dewan juri dikultuskan sebagai puisi yang mampu membawa ke seberang, yang temanya digarap dengan baik, terucapkan dengan utuh. Kompleksitas dihadirkan dengan kemahiran memberdayakan perangkat puitika yang mungkin, dan yang cocok. Saya membacanya dan saya kecewa. Ternyata apa yang diklaim dewan juri atas puisi tersebut tidak saya temukan.
Adrian mengucapkan ketiba-tibaan mencuatnya isu pagar laut dengan larik “pagar bambu tumbuh dari laut /bukan dari akar”. Lalu dia melengkapi “reportase”-nya atas ironi itu, dengan segala paradok, kontras yang bisa la tangkap, hingga sampai pada penutup yang mengutuhkan.
Jika merujuk pada kohesi gramatikal (-nya) yang dipakai dalam kutipan tersebut, maka kata “reportasenya” merujuk kepada larik “pagar bambu tumbuh dari laut /bukan dari akar.” Mengapa digunakan kata reportase? Reportase artinya pemberitaan, apakah larik tersebut seperti pemberitaan yang hanya sekadar menyalin realitas? Tentu tidak demikian jika melihat kata “reportase” yang diberikan tanda kutip. Salah satu fungsi tanda kutip adalah mengapit kata yang memiliki arti khusus. Berdasarkan fungsi ini, boleh jadi kata “reportase” bukan berarti pemberitaan yang hanya sekadar menyalin realitas. Namun, apakah larik tersebut sudah berhasil menjadi reportase dalam tanda kutip tersebut? Mari kita baca larik-larik berikutnya sekaligus bait pertama puisi Pagar Bambu dan Pasar yang Bergejolak.
Di Pantai Indah Kapuk, pagar bambu tumbuh dari laut,
Bukan dari akar, tapi dari noktah-noktah tinta di kontrak yang tak terbaca oleh tangan nelayan yang terkelupas garam.
Apa yang istimewa dari bait tersebut? Bukankah puisi itu masih sekadar menyalin realitas? Memberi tahu pembaca jika di Pantai Indah Kapuk ada pagar yang diprakarsai oleh noktah-noktah tinta di kontrak dan tidak diketahui (tak terbaca) oleh (tangan) nelayan. Ini mirip dengan berita di laman CNN Indonesia.com, yang dimuat pada Sabtu, 11 Januari 2025, berikut.
Seorang nelayan yang namanya disamarkan untuk alasan keamanan menyebut pembangunan pagar itu sudah berlangsung sekitar satu tahun. Mereka pertama kali menyadari saat ada orang dari luar desa memasang tiang bambu sekitar 100 meter dari pelabuhan Ketapang.
Mereka semula tidak curiga karena mengira tiang bambu itu bagian dari program pemerintah. Lalu sekitar Agustus 2024, pagar yang dibangun mulai masif hingga membentang 30 km.
“Kaget sih, ‘Loh ini untuk apa? Semua juga kaget di sini nelayan. Ini untuk apa nih?'” kata nelayan yang namanya disamarkan dengan alasan keamanan saat ditemui CNNIndonesia.com, Jumat (10/1).
Kemudian jika dicermati kembali, dalam bait tersebut juga terdapat ketidaksesuaian antara apa yang disebut sebelumnya dengan yang disebut setelahnya.
Di Pantai Indah Kapuk, pagar bambu tumbuh dari laut,
Bukan dari akar, tapi dari noktah-noktah tinta di kontrak yang tak terbaca oleh tangan nelayan yang terkelupas garam.
Sebelumnya disebutkan bahwa pagar bambu tumbuh dari laut. Kemudian dilanjutkan bukan dari akar, tapi dari noktah-noktah tinta. Konjungsi tapi menunjukkan pertentangan, bahwa pagar bambu tumbuh dari noktah-noktah tinta, bukan dari akar. Jika hanya ditulis seperti itu tidak jadi masalah, tetapi sebelumnya ditulis, pagar bambu tumbuh dari laut. Nah, jadilah pertanyaan, sebetulnya pagar bambu tersebut tumbuh dari laut atau dari noktah-noktah tinta? Di sinilah letak ketidakkonsistenannya. Dari laut dan dari noktah-noktah tinta tentu dapat dimaknai berbeda. Jika ingin dimaknai sebagai sesuatu yang saling mendukung arti sehingga ketidakkonsistenannya terobati, maka tidak ada saling mendukung di sana. Pagar bambu tumbuh dari laut saling terhubung dengan, bukan dari akar. Bukan dari akar, terhubung dengan tapi dari noktah-noktah tinta. Ketidakkonsistenan tersebut bisa terobati jika bait tersebut ditulis begini.
Di Pantai Indah Kapuk, pagar bambu tumbuh bukan dari laut, Bukan dari akar, tapi dari noktah-noktah tinta di kontrak yang tak terbaca oleh tangan nelayan yang terkelupas garam.
Sehingga menegaskan posisi noktah-noktah tinta sebagai yang menumbuhkan pagar bambu. Atau bisa juga terobati jika ditulis seperti berikut.
Di Pantai Indah Kapuk, pagar bambu tumbuh di laut, Bukan dari akar, tapi dari noktah-noktah tinta di kontrak yang tak terbaca oleh tangan nelayan yang terkelupas garam.
Mengganti kata dari dengan di di awal kata laut membuat laut bukan sebagai sebab yang menumbuhkan pagar bambu, melainkan hanya sekadar latar pagar bambu tersebut berada.
Ini tentu mengganggu saya sebagai pembaca. Saya menemukan kerancuan di awal puisi. Apakah jangan-jangan ini yang dimaksud paradoks seperti ulasan dewan juri dalam pertanggungjawabannya?
Lalu dia melengkapi “reportase”-nya atas ironi itu, dengan segala paradok, kontras yang bisa ia tangkap, hingga sampai pada penutup yang mengutuhkan.
Paradoks artinya pernyataan yang seolah-olah bertentangan, tetapi mengandung kebenaran. Maka, boleh jadi saya belum menemukan kebenaran dalam pernyataan tersebut. Mungkin karena bait tersebut terlalu bertentangan antara satu larik dengan larik yang lain. Sehingga kebenarannya begitu susah terbaca!
Lantas bagaimana dengan bait-bait lain dari Puisi Pagar Bambu dan Pasar yang Bergejolak? Apakah poin “reportase” yang ternyata tidak dalam tanda kutip karena yang puisi ini tawarkan sebetulnya menyalin realitas saja juga tersaji dalam larik atau bait berikutnya? Nah, cobalah baca beberapa kutipan berikut.
Di sini, garis batas bukan lagi tanah dan laut—
Tapi jarak antara pemilik modal dan mereka yang menggantungkan hidup pada ombak.
Sementara di luar, jerit janda muda melebur jadi statistik bulanan.
“Tanah ini bukan milik investor!”
Tentang tanah yang berubah menjadi brosur investasi,
Tentang nasib yang digantung pada fluktuasi harga global.
Betapa sangat reportase tanpa tanda kutip kutipan puisi di atas. Puisi tersebut secara sengaja menghiasi dirinya dengan jargon, yang terasa menempel, tanpa misalnya bisa diberdayakan sebagai alusi untuk menambah lapisan makna pada teks.
Tapi jarak antara pemilik modal dan mereka yang menggantungkan hidup pada ombak.
Konfrontasi antara kaum pemilik modal dan orang miskin adalah kejadian yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun yang lalu. Sudah terlalu banyak dan seabrek puisi yang membicarakan hal tersebut. Pun menggunakan frasa “pemilik modal” dalam puisinya. Hal ini membuat frasa “pemilik modal” begitu klise. Selain puisi, frasa tersebut juga sudah banyak ditemui dan dipakai dalam buku-buku ekonomi atau berita.
Sementara di luar, jerit janda muda melebur jadi statistik bulanan.
“Tanah ini bukan milik investor!”
“Tanah ini bukan milik investor!” Astaga, membaca bagian ini membuat saya terperanjat. Bukan karena tanda pentung di akhir larik tersebut, melainkan karena ketidakpercayaan akan penggunaan larik tersebut dalam puisi yang mampu membawa ke seberang! Betapa terasa sekali bagian itu sebagai jargon yang hadir sebagai tempelan. Sesuatu yang luar biasa menjemukan karena tidak menawarkan hal yang baru. Hal ini semakin diperparah dengan cara ungkap berupa repetisi yang berulang dilakukan dalam puisi itu.
Mengubah karang menjadi kode QR,
Mengubah perahu menjadi kurva yang terdampar di spreadsheet.
Ia melihat dinding yang perlahan menelan laut.
Ia bertanya, apakah ombak masih bersuara?
Harga adalah pisau yang mengukir ulang garis pantai,
Nilai adalah mantra yang mengubah meja dapur jadi lelang.
Tentang tanah yang berubah menjadi brosur investasi,
Tentang nasib yang digantung pada fluktuasi harga global.
Seperti roda pedati yang menggilir sawah jadi pabrik,
Seperti arloji yang mengunyah detik jadi abad,
Seperti transaksi yang tak terlihat,
Bukankah ini justru berkebalikan dengan apa yang dimaksud dengan puisi yang sampai ke seberang seperti yang diungkapkan oleh dewan juri yang terhormat?
Kami memilih puisi yang sampai di seberang. Itu artinya, tema digarap dengan baik, terucapkan dengan utuh. Kompleksitas dihadirkan dengan kemahiran memberdayakan perangkat puitika yang mungkin, dan yang cocok.
Di mana letak kemahiran memberdayakan perangkat puitik itu? Perangkat puitik itu, seperti yang dikatakan oleh Wayan Jengki Sunarta dalam workshop penulisan puisi, yang diselenggarakan oleh Bali Berkisah, pada 22 Maret 2025, tempo lalu, salah satunya adalah majas atau gaya bahasa. Repetisi adalah salah satu macam majas. Salah satu jurus yang bisa dipakai oleh penyair dalam mengungkapkan maksudnya. Dan dalam puisi tersebut, satu jurus bernama majas repet diulang berkali-kali. Barangkali karena si penyair terlalu mengimani jurus “repetisi” tersebut. Repetisi artinya pengulangan. Maka, akrab dan dekatlah si penyair dan puisinya dengan mengulang-ulang.
Hal tersebut membuat puisi ini gagal ke seberang, setali tiga uang dengan puisi-puisi yang tidak masuk kategori apa pun dalam lomba ini. Puisi yang hanya menyelam dan berselancar atau boleh jadi hanya berenang di wilayah dangkal seperti yang disebut dewan juri berikut.
Akan tetapi sebagian besar puisi yang kami baca masih berenang di wilayah dangkal, seakan ya itu tadi, hanya menyalin realitas dengan cara yang bahkan lebih buruk dari sebuah berita.
Kemudian, dewan juri dalam pertangungjawabannya, juga mengambil istilah twist atau punchline. Keduanya adalah teknik dalam menyampaikan. Keduanya juga menghasilkan efek yang serupa, yaitu kejutan. Pembaca akan terkejut karena ternyata ada sesuatu yang ditampilkan menyimpang, bahkan bertentangan dengan harapan pembaca. Namun, sebagai sebuah teknik, tidak ujuk-ujuk hal yang menyimpang dan bertentangan dengan harapan pembaca dapat disebut twist atau punchline. Twist atau punchline dibangun dengan detail-detail yang sebetulnya telah diuraikan dari sebelumnya agar ketika bermaksud mengahdirkan twist atau punchline, dapat membuat pembacanya kaget, tetapi sekaligus memaklumi karena memang apa yang mengagetkan bukan sekadar perkara yang tiba-tiba ada, melainkan telah dibangun sebelumnya sebagai kerangka utuh.
Sebut saja plot twist dalam film Fight Club, di mana sebenarnya Tyler Durden (Brad Pitt) adalah alter ego dari narator (Edward Norton). Artinya, semua tindakan yang dilakukan oleh Tyler sebenarnya adalah perbuatan narator sendiri. Twist tersebut dibangun dengan detail yang menunjukkan bahwa si narator berkepribadian ganda. Contohnya, Tyler Durden (alter ego narator) yang muncul secara sekilas ketika narator berkonsultasi tentang insomnia yang dideritanya. Kemunculan sekilas ini juga muncul beberapa kali sebelum narator bertemu dengan Tyler Durden di dalam pesawat terbang.
Nah, hubungan dari uraian panjang kali lebar di atas dengan puisi Pagar Bambu dan Pasar yang Bergejolak adalah pernyataan dari dewan juri dalam pertanggungjawabannya berikut.
Adrian mengucapkan ketiba-tibaan mencuatnya isu pagar laut dengan larik “pagar bambu tumbuh dari laut / bukan dari akar”. Lalu dia melengkapi “reportase”-nya atas ironi itu, dengan segala paradok, kontras yang bisa ia tangkap, hingga sampai pada penutup yang mengutuhkan “membawa pagar-pagar bambu ini / pulang ke tempat asalnya: istana”. Istana? Pilihan metafora yang seperti ujug-ujug tapi ibarat joke ia adalah twist atau punchline yang sudah didahului premis.
Larik terakhir dari puisi Adrian adalah “membawa pagar-pagar bambu ini / pulang ke tempat asalnya: istana”. Hah? Apa? Istana? Woww, di mana letak twist atau punchlinenya? Alih-alih mengagetkan karena kejeniusan si penyair dalam menyusun premis dan detail yang membangun twist atau punchline yang dikatakan oleh dewan juri, larik tersebut justru mengangetkan akibat ketidakjelasannya. Mengapa tiba-tiba pulang ke istana? Di bagian mana pembaca diberikan serangkaian detail yang pada akhirnya mengarah kepada istana? Sesuatu yang tidak terduga, tapi sebetulnya sudah dibeberkan sedari mula dengan begitu lihai dan rapi sehingga sangat tersembunyi.
Dalam puisi Andrian itu, dari mulai awal sampai akhir tersaji konfrontasi antara pemilik modal dan nelayan, antara kapitalisme dan masyarakat miskin, sehingga berseraklah larik-larik atau bait berikut.
Ia menjulang seperti ritme jantung pasar yang tak bernyawa.
Tapi jarak antara pemilik modal dan mereka yang menggantungkan hidup pada ombak.
Sementara di luar, jerit janda muda melebur jadi statistik bulanan.
“Tanah ini bukan milik investor!”
Tapi suara protesnya terserap seperti kredit gagal bayar,
Tertelan dalam kalkulasi laba yang tak berpihak.
Laut masih berbicara, tetapi suaranya terkubur di antara angka dan laporan pasar.
Tidak ada satu pun ungkapan yang mengarah kepada istana. Jika istana di larik tersebut diartikan sebagai rumah kediaman resmi raja (kepala negara, presiden) dan keluarganya sesuai dengan pengertian kata istana di Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka, di bagian mana seorang raja (kepala negara, presiden) dan keluarganya serta tempat tinggal mereka disisipkan dalam larik-larik atau bait-bait sebelumnya? Atau jika istana tersebut diartikan sebagai metafora kekuasaan dan kekuasaan dalam hal ini adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh kapitalisme, maka mengapa harus digunakan “membawa pagar-pagar bambu ini / pulang ke tempat asalnya: istana”, sedangkan di larik pertama yang katanya reportase dalam tanda kutip, yang menangkap dengan baik ironi ketiba-tibaan isu pagar laut itu tertulis,
pagar bambu tumbuh dari laut /bukan dari akar
Pagar bambu itu dari awal sudah dikisahkan sebagai sesuatu yang tumbuh dari laut atau dari noktah-noktah tinta seperti yang sudah saya paparkan. Ibarat pohon cemara yang tumbuh di hutan, apakah hutan tersebut bukan tempat asalnya? Jika ada yang bertanya, “Di mana asal pohon cemara ini?” Kemudian dijawab, “Pohon cemara ini berasal dari hutan.” Apakah dialog tanya jawab tersebut terlihat tolol jika mengikuti logika yang dipakai dalam puisi Andrian tersebut? Jika jawabannya adalah, iya, maka amat dalamlah kekecewaan saya terhadap puisi ini dan klaim-klaim dewan juri dalam pertanggungjawabannya. Betapa setiap klaim ternyata tak terbukti dan melawan balik klaim yang telah dilontarkan. Betapa puisi Adrian belum mampu membawa saya sebagai pembaca ke seberang.
Esai panjang kali lebar ini akan saya tutup dengan pernyataan bahwa saya tidak kecewa dengan puisi saya yang ternyata tidak mendapatkan kategori apa pun dalam lomba tersebut, melainkan kekecewaan saya timbul akibat tidak sesuainya harapan saya terkait klaim dewan juri dalam pertangungjawabannya dengan puisi si juara. Betapa saya sangat berharap membaca puisi yang mampu membawa ke seberang. Yang ditulis dengan tema yang digarap dengan baik, terucapkan dengan utuh. Kompleksitas dihadirkan dengan kemahiran memberdayakan perangkat puitika yang mungkin, dan yang cocok. Betapa ini jadi kabar gembira buat masyarakat sastra Indonesia kita. Bahwasanya ada puisi yang menangkap dengan baik ironi ketiba-tibaan isu pagar laut dan menjalinnya menjadi “reportase” dengan segala paradok, kontras yang bisa ia tangkap, hingga sampai pada penutup yang mengutuhkan. [T]
Penulis: Fani Yudistira
Editor: Adnyana Ole