FENOMENA menarik terjadi saat perayaan Nyepi beberapa waktu lalu di Bali. Di tengah gegap-gempita kreasi ogoh-ogoh yang memukau, sebuah melodi sayup-sayup kerap kali hadir sebagai latar musik dalam berbagai konten visual yang beredar di media sosial. Lagu tersebut tak lain adalah “Return to Innocence” dari Enigma.
Sebuah kebetulan semata? Mungkin bagi sebagian orang. Namun, bagi mereka yang memiliki kepekaan terhadap semesta, setiap fenomena memiliki makna mendalam. Nyepi 2025, dengan iringan lagu ini, seolah menjadi sebuah seruan universal untuk kembali merenungkan hakikat paling mendasar dari eksistensi manusia: kepolosan.
Di dalam khazanah kearifan lokal Bali, konsep kepolosan ini terangkum dalam frasa “belog-polos”. “Belog” yang berarti bodoh, dalam konteks ini tidak merujuk pada kekurangan intelektual, melainkan lebih kepada ketiadaan pretensi dan kompleksitas. “Polos” menggarisbawahi sikap apa adanya, tanpa topeng, layaknya seorang anak kecil yang lugu, jujur, dan spontan.
Sikap ini kontras dengan konstruksi identitas yang seringkali kita bangun seiring dengan bertambahnya usia dan tuntutan sosial. Pendidikan modern, dengan penekanannya pada kecerdasan intelektual dan pencapaian materi, seringkali secara implisit menggeser kepolosan menjadi sebuah kekurangan yang perlu diatasi. Kita didorong untuk menjadi rasional, strategis, dan kompetitif, yang terkadang menjauhkan kita dari inti diri yang murni.
Mari kita telaah lebih dalam lirik lagu “Return to Innocence” yang, bagi penulis dan mungkin juga bagi Anda, terasa bagaikan pesan inti dari perayaan Nyepi tahun ini:
“Return to Innocence” – Enigma
Love Devotion Feeling Emotion (Cinta Pengabdian Perasaan Emosi)
That’s not the beginning of the end (Ini bukanlah awal dari sebuah akhir) That’s the return to yourself (Ini adalah kembalinya dirimu sendiri) The return to innocence (Kembalinya kepolosan)
Don’t be afraid to be weak (Jangan takut untuk menjadi lemah) Don’t be too proud to be strong (Jangan terlalu bangga untuk menjadi kuat) Just look into your heart my friend (Lihatlah ke dalam hatimu, temanku) That will be the return to yourself (Itulah kembalinya dirimu sendiri) The return to innocence (Kembalinya kepolosan)
And if you want, then start to laugh (Dan jika kau ingin, maka mulailah tertawa) If you must, then start to cry (Jika kau harus, maka mulailah menangis) Be yourself don’t hide (Jadilah dirimu sendiri, jangan bersembunyi) Just believe in destiny (Percayalah pada takdir)
Don’t care what people say (Jangan pedulikan apa kata orang) Just follow your own way (Ikuti jalanmu sendiri) Don’t give up and use the chance (Jangan menyerah dan gunakan kesempatan ini) To return, to return to innocence (Untuk kembali, untuk kembali ke kepolosan)
That’s not the beginning of the end (Ini bukanlah awal dari sebuah akhir) That’s the return to yourself (Ini adalah kembalinya dirimu sendiri) The return to innocence (Kembalinya kepolosan)
Don’t care what people say (Jangan pedulikan apa kata orang) Just follow your own way (Ikuti jalanmu sendiri) Don’t give up and use the chance (Jangan menyerah dan gunakan kesempatan ini) To return, to return to innocence (Untuk kembali, untuk kembali ke kepolosan)
And if you want, then start to laugh (Dan jika kau ingin, maka mulailah tertawa) If you must, then start to cry (Jika kau harus, maka mulailah menangis) Be yourself don’t hide (Jadilah dirimu sendiri, jangan bersembunyi) Just believe in destiny (Percayalah pada takdir)
Lirik awal lagu ini, “Love, Devotion, Feeling, Emotion,” mengingatkan kita pada esensi dasar kemanusiaan. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali didominasi oleh rasionalitas dan ambisi materialistis, kita diingatkan akan pentingnya menghargai dan menghidupi emosi serta perasaan kita. Nyepi, dengan atmosfernya yang tenang dan introspektif, memberikan ruang bagi kita untuk kembali terhubung dengan emosi-emosi yang mungkin selama ini terabaikan.
Frasa “That’s not the beginning of the end / That’s the return to yourself / The return to innocence” menjadi inti dari pesan lagu ini. Bahwa melepaskan ego dan kepura-puraan bukanlah sebuah kemunduran, melainkan sebuah perjalanan kembali ke diri kita yang paling murni.
Dalam konteks Nyepi, “mati suri” aktivitas duniawi selama sehari penuh dapat diartikan sebagai kesempatan untuk “kembali pada diri sendiri” dan merenungkan nilai-nilai kepolosan yang mungkin telah tergerus oleh tuntutan kehidupan.
Lirik selanjutnya mengajak kita untuk merangkul kerentanan dan melepaskan keangkuhan. “Don’t be afraid to be weak, don’t be too proud to be strong.” Dalam masyarakat yang seringkali mengagungkan kekuatan dan kesuksesan materi, mengakui kelemahan dianggap sebagai sebuah aib. Namun, kepolosan mengajarkan bahwa menjadi rentan adalah bagian alami dari kemanusiaan. Kekuatan sejati justru terletak pada keberanian untuk menerima diri apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Ajakan untuk “just look into your heart my friend” menekankan pentingnya introspeksi. Kembali ke dalam diri, menjernihkan pikiran dari segala kebisingan eksternal, adalah kunci untuk menemukan kembali kepolosan yang mungkin telah tertimbun oleh berbagai pengalaman dan ekspektasi.
Lirik “And if you want, then start to laugh, if you must, then start to cry, be yourself don’t hide, just believe in destiny” mengingatkan kita pada spontanitas dan kejujuran emosi seorang anak kecil. Mereka tidak ragu untuk tertawa riang saat bahagia dan menangis tersedu saat sedih.
Kepolosan berarti membebaskan diri dari tuntutan untuk selalu terlihat kuat atau tegar. Menerima dan mengekspresikan emosi secara otentik adalah bagian dari menjadi diri sendiri. Kepercayaan pada takdir di sini tidak berarti pasrah tanpa usaha, melainkan lebih kepada menerima alur kehidupan dengan hati yang terbuka.
Pesan untuk “don’t care what people say, just follow your own way” adalah inti dari kemerdekaan batin yang ditawarkan oleh kepolosan. Sejak kecil, kita seringkali dihadapkan pada berbagai ekspektasi dan penilaian dari lingkungan sekitar. Demi diterima dan diakui, kita terkadang mengorbankan keaslian diri.
Kepolosan mengajak kita untuk melepaskan belenggu opini orang lain dan berani mengikuti suara hati nurani. “Don’t give up and use the chance to return, to return to innocence” adalah sebuah panggilan untuk tidak menyerah dalam perjalanan kembali ke diri yang polos. Setiap momen adalah kesempatan untuk melepaskan lapisan-lapisan kepalsuan yang telah kita bangun.
Korelasi antara lagu “Return to Innocence” dan semangat Nyepi 2025 terasa begitu kuat. Nyepi, dengan segala ritual dan pantangannya, adalah sebuah momen kontemplasi mendalam. Dalam keheningan dan pengasingan diri, kita diajak untuk melepaskan segala hiruk pikuk duniawi dan kembali ke dalam diri yang paling esensial.
Sama seperti lirik lagu Enigma, Nyepi mengajak kita untuk menanggalkan topeng-topeng sosial, merenungkan kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan menemukan kembali kepolosan jiwa yang mungkin telah lama terlupakan.
Penggunaan lagu “Return to Innocence” sebagai latar musik dalam perayaan Nyepi bukanlah sekadar tren sesaat. Ia adalah sebuah pesan spiritual yang mendalam. Di tengah modernitas yang seringkali menjauhkan kita dari akar kemanusiaan, lagu ini dan semangat Nyepi hadir sebagai pengingat yang lembut namun kuat. Bahwa di dalam kesederhanaan dan keotentikan diri terletak kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.
Mari kita jadikan Nyepi 2025 yang telah berlalu, sebagai momentum untuk benar-benar “kembali ke kepolosan”. Bukan dalam artian menjadi naif, melainkan dalam keberanian untuk menjadi diri sendiri, tanpa pretensi, dan menerima segala aspek kemanusiaan kita. Inilah esensi dari “belog-polos” sesungguhnya; sebuah kebijaksanaan tersembunyi dalam kesederhanaan. [T]
Penulis: Angga Wijaya
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: