APA jadinya jika sebuah event sastra diambil alih sementara oleh sekumpulan kecil para begundal seni rupa?
Tentu jika dibayangkan rasanya seakan-akan kita diajak untuk menaiki sebuah wahana roller coaster. Tensi yang naik turun menjadi hal yang cukup saya rasakan selama perbincangan yang dihelat di Gedung Graha Yowana Suci, Sabtu 22 Maret 2025 itu.
Hari itu menjadi hal yang cukup spesial bagi saya sendiri ketika diminta untuk mengisi satu forum diskusi bersama rekan-rekan senior lainnya. Dengan mengusung judul yang agaknya sedikit menantang, sebuah event dua tahunan bertajuk Bali Berkisah mengajak para penikmat sastra dan budaya untuk sejenak melihat dan mendengar tentang apa yang bisa kurator serta para perupa muda katakan tentang bagaimana seni di Bali hari ini dapat dibicarakan.
Sebuah topik yang saya rasa cukup abstrak untuk kemudian dibawa ke dalam perbincangan berdurasi 1 jam 30 menit ini, namun sangat sayang jika hal tersebut dilewatkan begitu saja.
Forum ini sendiri terbilang unik karena menghadirkan kombinasi narasumber yang terbilang baru dalam mengisi per-skena-an seni rupa Bali. Di antaranya tak lain seorang perupa yang kini namanya begitu sering kita jumpai dalam beberapa event seni rupa di jagad Bali, yaitu Kuncir Sathya Viku, dan turut hadir pula dua kurator muda Savitri Sastrawan dan Vincent Chandra. Tak ketinggalan saya sendiri, Made Chandra, menjadi salah satu bagian dari empat pembicara yang hadir dalam panel diskusi ini.

Dwi S Wibowo dan Kuncir Sathya Viku
Untuk melengkapi sesi perbincangan ini, hadir pula seorang penulis yang kerap bersinggungan dengan dunia sastra dan seni rupa, tak lain ialah Dwi S Wibowo, yang langsung ikut andil dalam memoderatori sebuah diskusi kecil yang sedikit tidaknya menjadi hal yang urgentuntuk saya dan 3 pembicara lainnya dalam membicarakan seni di Bali.
Dibuka oleh Dwi S Wibowo selaku moderator, perbincangan yang cukup cair Ini menyasar beberapa poin penting yang kemudian saya catat dalam satu memoar kecil yang terbagi dengan fokus pembahasan oleh masing-masing pembicara.
Diskusi ini dimulai oleh satu pantikan yang dilontarkan oleh Mas Dwi pada perupa Kuncir Satya Vikhu tentang apa yang mendesak untuk dibahas dalam perbincangan seni yang ada di Bali.
Sebagai seorang perupa yang getol menggeluti tradisi dalam ungkapan berkeseniannya, ia menyampaikan kegundahannya tentang kondisi Bali hari ini melalui humor-humor satir yang menjadi fokus dalam karya-karyanya.
“Kita selalu disibukkan dengan tradisi yang seakan tanpa henti, mulai dari perayaan upacara, tradisi membuat ogoh-ogoh, sampai pada semaraknya langit-langit Bali pada musim layangan nanti, ya kadang sampai kita lupa ada beberapa pihak yang mengangkangi kita yang sedang asik ini,” ujar Kuncir kepada kami soal apa yang ia rasakan dengan kondisi Bali hari ini.
Sebagai orang Bali tulen ternyata Kuncir memiliki pandangan yang cukup kritis pada prilaku orang Bali itu sendiri. Ia mengingatkan kita untuk lebih peka dalam menyikapi hal-hal yang sering kali terabaikan dalam pusaran laku tradisi yang seakan tanpa henti.
Di kala kesibukan masyarakat Bali hari ini mereka seakan tak sadar, ada banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk mengambil celah dalam mengubah tatanan alam serta sosial yang kini diam-diam melanda sebagian besar wilayah yang ada di Bali.

Vincent
Menyambung topik tersebut, kini giliran saya yang mencoba untuk mengutarakan pendapat dalam diskusi ini. Selaku perupa yang punya pandangan terkhusus menyoal tradisi, saya mencoba untuk menitik beratkan topik bahasan pada satu paradigma yang sering disematkan pada seni tradisi, dimana kita sendiri cenderung menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang primordial, seakan tak layak untuk dilakoni dalam kehidupan modern hari ini.
Bagi saya sendiri anggapan yang terjadi soal seni tradisi ternyata tidaklah sesederhana itu, dimana tradisi ialah lapisan ilmu yang tentu sangat kontekstual dengan ruang dimana tradisi itu tumbuh, ia hanya perlu diselami dan disikapi sebagai mana setaranya ia dengan modernitas itu sendiri.
Lalu kurator serta penulis Savitri Sastrawan menyambung hal tersebut dengan pembahasan menyoal laku tradisi Ogoh-ogoh yang kini sedang marak dilakukan oleh para Kumpulan anak muda yang tersebar di seluruh Bali.
“Kita kerap kali menganggap remeh perayaan ogoh-ogoh sebagai aktivitas tradisi belaka, sehingga mengesampingkan aspek-aspek vital yang membentuk perkembangan ogoh-ogoh sampai saat ini, dari yang awalnya hanya sebagai patung yang diarak keliling desa, kini dihiasi berbagai macam variasi atas perkembangannya,” kata Savitri.
Seraya ia bercanda kepada kami, tentang begitu gawatnnya seni kontemporer dengan seni partisipatorisnya, yang ternyata sudah terimplementasi secara organik merasuk ke dalam setiap lini kehidupan sosial para pemuda di setiap banjar yang ada di Bali, hal yang agaknya cukup remeh untuk kita bayangkan sebelumnya.
Hal itu kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Vincent Chandra selaku kurator dan pekerja museum dalam melihat fenomena tersebut. Ia mengungkapkan bahwa “Upaya untuk membaca Bali adalah upaya untuk melihat tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan.”
Di mana kedua aspek tersebut, kata Vincent, sesungguhnya tak berada dalam dikotomi oposisi biner. Kita bisa melihat perkembangan tradisi yang ada di Bali khususnya, selalu tak terlepas dari kondisi tarik menarik antara tradisi dan modernitas, sehingga sangat tak bijak untuk menempatkan tradisi sebagai sesuatu yang sudah lalu, usang, dan lapuk. Ia adalah sebuah ilmu yang punya kontekstualisasi paling muktahir dalam menjembatani relasi antar manusia, dan alam itu sendiri, sebuah kenyataan yang mungkin sebagaian dari kita tak pernah cukup berpikir tentang hal tersebut.

Peserta diskusi
Pada akhirnya setelah mengikuti perbincangan yang cukup sangat padat tersebut, saya terkejut menyadari waktu perbincangan yang telah berlangsung cukup lama, sampai-sampai panitia yang berjaga memberi tahu kami bahwa waktu diskusi telah habis.
Tak sangka pembahasan tentang apa yang bisa kami bicarakan tentang seni di Bali harus dibatasi oleh ringkasnya waktu, Namun setidaknya ini bisa menjadi pemantik untuk kita bisa melihat bahwa seni di Bali tak ubahnya jembatan untuk masuk lebih jauh dalam pergulatan sosial yang tengah terjadi di Bali, menyoal tradisi dan modernitas adalah hal yang tak bisa diselesaikan dalam satu perbincangan.
Saya sendiri sebagai penulis berharap diskursus ini harus terus berlanjut dalam memantik perbincangan-perbincangan selanjutnya, sehingga pembacaan atas konteks seni yang ada di Bali hari ini dapat diakses oleh lebih banyak kalangan di luar para pegiat seni itu sendiri. [T]
Penulis: Made Chandra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis MADE CHANDRA