MESKIPUN saat ini ada gelombang pesimisme terhadap Indonesia, setidaknya tanah dan air tempat dimana kita lahir dan kembali pada ilahi kelak ini masih tetap dikenal sebagai kawasan yang kaya, bukan hanya pada persoalan sumber daya alamnya, namun juga keberagaman yang melekat menjadi sifat yang menyatukan kita sebagai manusia Indonesia dari masa lalu, masa kini, dan nanti.
Kalau kata seorang sahabat di platform twitter, ‘Admixture increases diversity’: percampuran genetik kelompok-kelompok yang berbeda pada akhirnya meningkatkan keberagaman yang harus menjadi paradigma ketika mengungkap sejarah manusia Indonesia dengan segala problematikanya.
Karena beragam tadi, pada akhirnya kita bukan hanya dapat hidup bersama, namun juga ikut merayakan ritus-ritus dalam konteks sosial dari mereka yang berbeda. Seringkali perayaan antara umat satu dengan umat lainnya berdekatan. Mungkin sebuah kebetulan, namun dari yang kebetulan itu dapat dijadikan momentum untuk merefleksikan kembali kondisi keberagaman kita di tengah tantangan multidimensi seperti intoleransi, kesenjangan sosial, dan polarisasi.
Sekali lagi pada tahun 2025 ini, perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1446H dan Nyepi (1947 Saka) dirayakan berdekatan di akhir bulan Maret 2025. Sepertinya kita diingatkan kembali bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan yang mampu menjembatani perbedaan sekaligus menjawab tantangan dengan berpijak pada kekuatan spiritual yang kita yakini.
Jadi sudah selayaknya ada proses refleksi tentang spirit Nyepi dan Idul Fitri, yang berakar pada ajaran agama dan filsafat hidup itu untuk menjadi fondasi untuk membangun solidaritas sosial yang progresif, inklusif, dan berkeadilan.
Makna Idul Fitri dan Nyepi
Hari Raya Idul Fitri dalam pemaknaan teologis umat Islam merupakan puncak kemenangan setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan. Hari yang melambangkan kembalinya manusia kepada fitrah, yaitu keadaan suci dan murni, serta menjadi momen untuk mempererat tali persaudaraan melalui saling memaafkan.
Dalam Al-Qur’an, esensi Ramadan dan Idul Fitri tercermin dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa puasa bertujuan membentuk takwa—kesadaran akan Allah yang tercermin dalam perilaku penuh kasih dan hormat kepada sesama. Idul Fitri, dengan tradisi halal bihalal-nya, menjadi wujud nyata dari semangat rekonsiliasi dan toleransi.
Sebaliknya, Hari Nyepi adalah hari keheningan yang unik dalam tradisi Hindu, khususnya di Bali. Sependek pengetahuan saya hanya Hindu di Indonesia saja yang melaksanakan tradisi Nyepi—ini jika dibandingkan dengan Hindu di Malaysia, tempat saya berdomisili saat ini yang mayoritasnya berasal dari etnis tamil itu. Perayaan Hindu yang dirayakan di Malaysia seperti Deepavali dan Thaipussam sangat jauh dari keheningan seperti Nyepi, namun sama-sama menarik secara ritus di mana Hindu dipraktikkan mengikuti tempat di mana dia berpijak.
Nyepi yang selama 24 jam mengharuskan dihentikannya aktivitas duniawi di tengah budaya yang hustle atau terburu-buru pada akhirnya membawa situasi yang mendorong kita bermeditasi untuk mengenalikan diri dan mencari kedamaian batin, sebagaimana tertuang dalam Bhagavad Gita 6.6.
“Bagi orang yang telah menaklukkan pikirannya, pikiran adalah sahabat terbaiknya; tetapi bagi orang yang gagal melakukannya, pikiran akan menjadi musuh terbesar.”
Ayat ini menggarisbawahi bahwa harmoni dengan diri sendiri adalah langkah awal menuju harmoni dengan orang lain. Nyepi, dengan keheningannya, menciptakan ruang untuk merenungkan hubungan kita dengan Tuhan, alam, dan sesama.
Idul Fitri dan Nyepi: Dua Ritus Perlawanan terhadap Krisis Kemanusiaan.
Kita memahami Idul Fitri sebagai momen bermaafan dan merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Namun, hakikatnya, Idul Fitri adalah revolusi kesadaran.
Puasa Ramadan mengajarkan empati terhadap jutaan orang yang dipaksa “berpuasa” sepanjang tahun karena kemiskinan yang seringkali diakibatkan oleh yang struktural.
Sementara, tradisi zakat fitrah yang wajib dikeluarkan sebelum salat Id itu merupakan manifestasi dari instrumen redistribusi kekayaan yang mewajibkan orang berada untuk berbagi dengan yang membutuhkan apalagi ditengah kesenjangan yang semakin Nampak.
Kalau kita cermati lebih mendalam, konsep fitrah dalam Islam bukan sekadar kembalinya manusia ke keadaan suci, tapi juga seruan untuk membongkar struktur yang menghambat kemurnian itu.
Dalam teologi Islam, setiap manusia lahir dengan potensi kebaikan (fitrah), tetapi sistem yang korup, keserakahan, dan ketidakadilan bisa menguburnya. Idul Fitri mengajak kita membersihkan diri dari “sampah” duniawi—bukan hanya dosa pribadi, tapi juga kezaliman sistemik.
Persoalan ketertindasan dalam konteks Islam memang menjadi keutamaan, Surah Al-Ma’un (107:1-7) mengingatkan bahwa mendustakan agama adalah mengabaikan anak yatim dan fakir miskin. Ayat ini bukan hanya kritik terhadap individu, tetapi juga terhadap sistem yang membiarkan kemiskinan menjadi takdir.
Sementara itu, Nyepi yang dirayakan dengan empat prinsip Catur Brata Penyepian (Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan) adalah bentuk resistensi kultural. Di Bali, di tengah gempuran pariwisata massal yang mengomersialisasi setiap ruang hidup .
Nyepi menjadi pengingat bahwa budaya, alam, bahkan agama itu sendiri bukanlah komoditas, melainkan warisan, nilai, dan kekayaan yang harus dijaga. Prinsip Amati Geni (tidak menyalakan api) dan Amati Karya (menghentikan aktivitas) mengajarkan kesadaran ekologis, manusia tidak boleh menjadi penguasa alam, melainkan mitra yang menjaga keseimbangan.
Kitab Upanishad menyatakan “Tat Tvam Asi” (Engkaulah itu), yang dalam bacaan teologi pembebasan menegaskan kesatuan manusia dengan alam sebagai basis perjuangan ekologis . Krisis iklim dan deforestasi di Indonesia—dari Sumatera hingga Papua—adalah bukti bahwa kapitalisme telah merusak keseimbangan ini. Nyepi mengajarkan bahwa ketenangan batin hanya mungkin tercapai jika ada keadilan ekologis dan penghapusan dominasi manusia atas alam .
Nyepi memang tak bisa dipisahkan dari Tri Hita Karana—filosofi Hindu Bali tentang harmoni tiga hubungan: dengan Tuhan (Parhyangan), sesama (Pawongan), dan alam (Palemahan). Saat listrik padam dan aktivitas terhenti, kita diingatkan bahwa manusia bukan penguasa alam, tapi bagian darinya. Ritual ngerupuk (mengusir roh jahat) sebelum Nyepi adalah metafora untuk mengusir keserakahan yang merusak lingkungan.
Sekali lagi, yang hening dan yang fitri hadir bersamaan selain sebagai romansa toleransi juga menjadi momentum refleksi untuk menghidupkan kembali spirit keagamaan yang melampuai ritus ditengah problematika bangsa yang semakin hari semakin menjadi-menjadi. [T]
Penulis: Mansurni Abadi
Editor:Adnyana Ole