DI BINAR MATAMU
: Ibu & Dua Ilalang
Sejauh mana pun tualangku
Pada akhirnya
Pemberhentian kata-kata
Tertuju binar matamu
Yang sempat lekang
Redup padam
Seperti musim tak berbunga
Memaku desa
Sebab aku hujan
yang panjang
Hingga datang
Dua ilalang
Tumbuh di antara gulma
Di kebun sukma kita
Butiran anggun embun
Di ujung matanya
Merupa tirta
Penawar duka
Dari luka yang paling luka
Seperti musim yang lalu
Derai air matamu luruh
Hingga akar-akar dusta
Serupa padang rahwana
Tercerabut dari tubuhku
Kini, pada matamu
Purnama di puncak bukit tunggal
Kupersembahkan canang wangi
Sesaji jiwa
Agar terang jalan
Terang pandang
Ke binar mata ilalang
yang berpendar-pendar
Bersama hangat pagi
dan sahaja senja
(2024)
GERIMIS
Seperti derai gerimis
Kau yang perlahan turun
di antara ujung jari-jariku
Aku cakupkan kedua tangan
Di hadapan meru tumpang pitu
Rapalan mantra
Tak seputih jubah para pinandita
Tak senyaring denting genta pandita
Seperti derita musim
Kehilangan arah angin
Hujan yang pangling
Di atas kemarau yang parau
Aku tak lagi mengenali diri
Hingga lupa jalan pulang
Larut dalam tualang-tualang malam
Setelah kupersembahkan
Lalu kusuntingkan
Akankah wangi bunga
Kau terima dengan lapang?
Hanya padaMu
Mekar bunga
Membuah di tubuhku yang tak lagi harum
Menjelma pucuk-pucuk baru
Hanya padaMu
Gerimis kapat
yang telah kembali pulang
Siapkan sesaji purnama kalima
Memecah tubuhku
Gumpalan awan hitam
(Tajun, 2024)
SIANG TELAH HILANG
Harus kemana lagi aku cari
Binar matamu
yang memantul bersama cahaya matahari
Bergelayut pada ranting-ranting kayu
Pada siang yang lapang dulu
Mungkinkah larut dalam secangkir kopi
yang kau reguk bersama binal matanya
Lalu mengabu bersama tembakau
yang kau isap dalam gelap
Atau mungkin menyelinap
di balik sepilihan kata-kata
Serupa puisi
yang hanya bisa kau tafsir sendiri
Aku terus melangkah
Di atas rekah tanah
Luka bernanah
Rumput-rumput liar
Bahkan enggan menjalar
Yang tersisa
Setumpuk surat cinta
Dari jiwa-jiwa batu apung
Pada entah menunggu balas
Menebal di dinding-dinding pertapaan
Merupa hitam
Memaku jalan
Aku benar-benar telah kehilangan
Kehilangan binar matamu
yang riang
Pada siang
yang telah hilang
(2024)
DOA ULANG TAHUN
Jika puisi
Ungkapan hati
Paling jujur
Maka sajak ini
Rapalan doa
Paling getar
Untuk jiwamu
di tubir getir
(2024)
MEMBACA SUDUT KOTA
Seperti daun-daun
Tak ingin kehilangan dekap cahaya
Aku di bawahnya
Membaca sudut kota
Bukan!
Ini bukan sudut kotaku
Tak kulihat
Bayang kepak sayap
Juga kuat cengkram kuku
dan tajam putih taringmu
Jika iya
Mengapa tak kau teduhkan
Suara, canda, dan tawa
Anak-anak tak berdosa
di bawah kedalaman jiwa
(2024)
TERIK MUSIK
Setelah anak-anak riang
menari bersama terik
Musik kembali diderukan
Tikus-tikus kantor
dan bongkar
Mengusik keceriaan
(Bungkulan, 2024)
YANG KUTEMUKAN DAN YANG HILANG
Sepuluh angka
Dalam kotak
Di depan dua tiang
Bunga Tuhan
Hadiah orang-orang yang datang
Petiklah sebanyak-banyaknya
Ikatlah sesuka hati
Bawalah pulang
Bunyi spanduk terbentang
Aku tak banyak waktu
Satu per satu
Kucobakan pada gembok kotak itu
Sampai kunci keempat puluh
Satupun tak membuatnya luluh
“Kau belum membawa kunci emas
Yang telah Kukemas
Di tempat biasa kau berlari”
Samar-samar kudengar
Di antara riuh yang terus terlontar
Esok hari
Aku lekas mencari
Dari sudut ke sudut
Sampai ke tempat yang paling sunyi
TempatNya berdiri melihatku berlari
Jalan terakhir
Saat nasib di tubir getir
Aku duduk bersila
Merapal doa tanpa bunga
Mata kubuka tergesa
Aku berdiri lagi
Melangkah penuh tatap
Di tengah-tengah tersingkap
Kunci kutemukan
Tapi tak berkilau lagi
(2025)