INI tulisan untuk mengenang kembali pementasan fragmentari “Manik Pangkaja” dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2024. Fragmentari ini dimainkan Sanggar Tugek Carangsari sebagai duta Kabupaten Badung. Pentas di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, di Denpasar.
Dalam seni pertunjukan, fragmentari bukanlah konsep yang asing. Namun, dalam sajian Manik Pangkaja, yang mengangkat kisah heroik I Gusti Ngurah Rai, penerapan pola fragmentari menciptakan lanskap baru yang berbeda dari eksplorasi serupa sebelumnya, terutama dalam gelaran Pesta Kesenian Bali. Formulasi dalam garapan ini tidak hanya menawarkan perbedaan teknis, tetapi juga membuka ruang eksplorasi yang lebih luas, di mana setiap elemen menjadi bagian dari pertaruhan artistik yang penuh perhitungan.
Sebagai konseptor, I Gusti Ngurah Artawan menghadirkan visi yang kuat dalam struktur fragmentari ini. Dengan pendekatan eksperimental, ia menginstruksikan agar pertunjukan langsung menuju inti cerita, tanpa narasi yang bertele-tele, namun tetap setia pada esensi kisah aslinya. Kejelasan dalam penyampaian topik menjadi kunci utama, memastikan setiap adegan memiliki dampak dramatik yang optimal.
Perubahan signifikan terlihat dalam peran dalang. Jika dalam fragmentari sebelumnya dalang berperan sebagai pengendali dan penghidup tokoh, dalam garapan ini perannya berkembang lebih jauh.
Agung Ade Dalang, selaku art director sekaligus narator, tidak hanya menjadi perancang dan penyampai cerita, tetapi juga fasilitator imajinasi, memberikan stimulus bagi penonton untuk membangun pemahaman mereka sendiri terhadap adegan yang berlangsung.
Dalam aspek musikal, garapan ini menawarkan pendekatan yang lebih mendalam. Di bawah arahan Wayan Muliyadi sebagai music director, musik tidak hanya berfungsi sebagai ilustrasi atau pengiring, melainkan menjadi perangkat utama dalam membangun atmosfer.
Eksplorasi terhadap suasana zaman perjuangan (1945–1946) melahirkan komposisi yang mampu menyelaraskan diri dengan berbagai emosi dan situasi, menjadikannya kekuatan utama dalam membawa penonton ke ruang imajinasi yang lebih luas. Kehadiran vokalis Tina, Ayu Citta,danYayang semakin memperkaya warna dramatik pertunjukan, memperkuat nuansa emosional yang ingin disampaikan.
Salah satu perbedaan mendasar dalam fragmentari Manik Pangkaja adalah absennya “angsel” atau aksentuasi penari yang biasanya menjadi jembatan menuju dialog antar tokoh. Konvensi yang lazim menghadirkan jeda atau transisi dalam struktur dramatik dihilangkan, menciptakan dinamika yang lebih cair dan mengalir. Tanpa angsel, perpindahan antar adegan tidak lagi bergantung pada gerak yang eksplisit, melainkan lebih mengutamakan kesinambungan atmosfer dan suasana.
Dari segi koreografi, peran Gusde Yodhie sebagai penata tari dan Ngurah Dharma sebagai pembina tari sangat krusial dalam menciptakan pergerakan yang tidak hanya estetis, tetapi juga mendukung narasi serta atmosfer keseluruhan.
Koreografi dalam fragmentari Manik Pangkaja lebih menitikberatkan pada ekspresi tubuh sebagai medium komunikasi, tanpa bergantung pada pola dramatari konvensional yang kerap menggunakan aksentuasi gerak sebagai penanda dialog. Pendekatan ini memberikan kebebasan interpretasi bagi penonton dalam menyerap makna dari setiap adegan yang disajikan.
Capaian dramatik dalam garapan ini pun diformulasikan dengan presisi. Alih-alih membangun ketegangan secara bertahap seperti dalam dramatari konvensional, fragmentari Manik Pangkaja menata setiap puncak dramatik dengan akurat, memastikan bahwa setiap momen memiliki daya pukau yang kuat serta mendukung pengalaman estetis secara menyeluruh.
Dengan berbagai inovasi yang dihadirkan, fragmentari Manik Pangkaja bukan sekadar penyegaran dalam seni pertunjukan Bali, tetapi juga menjadi bukti bahwa seni terus berkembang melalui dialog antara tradisi dan kreativitas.
Pola yang diterapkan dalam garapan ini membuka kemungkinan baru dalam bagaimana sebuah pertunjukan dapat dibentuk, memberikan ruang bagi imajinasi yang lebih luas, sekaligus menegaskan bahwa dalam seni, keberanian mengambil risiko adalah bagian dari perjalanan menuju pencapaian artistik yang lebih baik. [T]
Penulis: I Gusti Made Darma Putra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis I GUSTI MADE DARMA PUTRA