— Catatan Harian Sugi Lanus, 14 Pebruari 2024
Parwata bersimbah darah. Dadanya ditusuk orang yang ia tidak kenal secara tiba-tiba.
Parwata di malam itu memakai kain kamen hitam, dengan udeng hitam, di tengah malam yang naas itu, berpakaian adat Bali madya. Ia seakan paham di dalam batinnya malam gelap di warung Madura itu akan menjadi titik akhirnya.
Parwata bersimbah darah. Dibonceng ke rumah sakit, tidak tertolong, menghembuskan napas akhirnya.
Parwata, saya tidak mengenalmu, tapi merasa demikian dekat.
Parwata, kata yang demikian dekat dengan saya, artinya gunung.
Parwata berpulang mengantar saya pada karya Jawa Kuno yang ternama: Agastya Parwa: “saṅ tumahap agra niṅ Windhyaparwata”
Dalam Agastya Parwa yang melahap gunung Windhya adalah mahamulia Bhagawan Agastya: “bhagawān Agastya, saṅ tumahap agra niṅ Windhyaparwata, sambaddha ri denya n ahyun tumunto dalan saṅ hyaṅ Āditya…”
Begitu disebutkan dalam karya besar yang ditulis sejaman dengan era pendirian Candi Prambanan dan Candi Borobudur, di abad IX.
Parwata dalam parwa tersebut tidak bersimbah darah, tapi ditelah lindap oleh Rsi Agastya yang mahasuci.
Parwata identik dengan kesucian, keagungan para dewata, kemuliaan para pertapa.
Disebutkan juga dalam naskah lain, Kakawin Arjuna Wijaya, bahwa gelar Bhatara Śiwa adalah: Śrī Parwatarājadewa.
Kakawin Sumanasantaka menyebutkan 7 parwata yang mulia: “saptaparwata kadînayun agrah olah / pātāla sapta kadudut kagiriṅ kagiṅgaṅ / nyāṅ saptasāgara katumpĕk arok bañunya”
Hampir semua khazanah kitab kakawin Jawa Kuno dan Hindu Bali memuliakan ‘parwata’. Cita-cita orang tua Parwata yang kemarin berpulang bersimbah darah, pastilah mengarapkan putranya seagung gunung suci, Parwata.
Tidak ada bayangan buruk dalam nama Parwata yang dipenuhi kesucian. Tapi begitulah, Bali, pulau yang dipenuhi taksu sesaji dan berbagai ritus upakara mantra-mantra suci, disimbah darah sang Parwata yang ditusuk amukan bhuta-kala malam buram gelap Bali.
Parwata berpulang bersimbah darah, tidak tertolong di malam gelap; tidakkah ini sebuah pertanda gunung suci dan simbol keagungan pulau yang diberi jejuluk Pulau Dewata ini “taksunya telah berpulang”?
Saya tidak mengenal Parwata yang berpulang bersimbah darah di gelap malam kemarin. Tapi saya merasa dekat. Sangat dekat. Terlalu tragis untuk diuraikan panjang lebar. Parwata berpulang penanda “berpulang taksu Bali”?
Saya berdoa terbaik dan terdalam untukmu Parwata. Darahmu yang tumpah di tanah Bali tidak akan kita biarkan sia-sia. Tabik pikulun semoga jalan terang dan Dewata memberikan tempat terbaik untukmu, Parwata. Darahmu tumpah untuk mengingatkan Bali, ‘awignamastu’, darahmu tetabuh yang akan dikenang sebagai “tanda-tanda Bali tidak baik-baik saja”. Selamat jalan gunung suci yang disematkan pada namamu, Parwata.
Masihkah Bali terlena ketika sudah dibukakan mata ‘kadundun’ sang Parwata bersimbah datang dan gugur di tengah malam buta yang naas?
Penulis: Sugi Lanus
Editor: Adnyana Ole